Kelak Einstein di Surga atau Neraka?

PERTENGAHAN bulan Nopember 2005. Bertepatan dengan pencanangan Tahun Fisika Internasional dan peringatan 100 tahun munculnya teori fotoelektrik Einstein yang ditetapkan UNESCO, serta menyambut Tahun Ilmu Pengetahuan Internasional 2006, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengundang salah seorang dari tiga pemenang Nobel Fisika tahun 1996: Douglas Dean Osheroff. Untuk berceramah dan berdialog dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu di negeri kita.

Osheroff adalah seorang profesor fisika dan fisika terapan di Stanford University yang “tidak sengaja” bersama dua koleganya, pada tahun 1972, mendapati bahwa satu dari dua isotop helium yakni helium-3, dapat dijadikan supercair (superfluiditas) pada suhu hanya sekitar dua per seribu di atas nol mutlak.

Pada perkembangan selanjutnya, Osheroff tercatat sebagai penggagas utama teknologi kriogenik. Yaitu fisika terapan kontemporer yang termasuk jajaran teknologi paling sophisticated abad ini. Memanfaatkan cara pendinginan di bawah suhu nol derajat celcius, kriogenik telah mengantar manusia pada kemampuan-kemampuan luar biasa, seperti misalnya menangkap cahaya. Cahaya yang memiliki kecepatan luar biasa itu (~ 3×108 meter per detik) dapat diperlambat pergerakannya lewat mekanisme pendinginan kriogenik, lalu “ditangkap” ke dalam sebuah wadah. Juga menciptakan bank sperma dan aplikasi teknologi kriogenik pada proses pencairan gas alam (LNG).

Teknologi kriogenik juga sangat diperlukan untuk menghasilkan hidrogen cair yang digunakan untuk fuel-cell. Salah satu kandidat sumber energi alternatif unggulan masa depan pengganti bahan bakar fosil.

Saat itu, saya berdiskusi dengan seorang kawan yang kebetulan menghadiri langsung ceramah sang Nobelis. Tentu, kami tidak hanya membahas tentang hasil kerja kerasnya di laboratorium semata. Juga tentang fakta bahwa ternyata di usianya yang ke-60 saat itu, pada sosok fisikawan kelahiran Aberdeen, Washington, berdarah Rusia dan Slovakia keturunan Yahudi itu tidak pernah terlintas di pikirannya untuk memiliki anak.

“Tidak. Tidak memiliki anak membuat orang tetap muda. Karena memiliki anak membuat orang harus bertanggung jawab. Padahal saya sering kali harus berada di laboratorium sampai dini hari. Begitu juga istri saya—Phyllis Liu, ilmuwan biokimia, yang harus bepergian ke berbagai kota di Amerika sampai berhari-hari. Saya rasa, kalau kami jadi orang tua, istri saya akan menjadi ibu yang sangat disiplin. Sedang saya akan menjadi bapak yang terlalu memanjakan,” begitu alasannya saat menjawab pertanyaan, “Apakah Anda memiliki anak?” yang dilontarkan seorang pewawancara dari sebuah surat kabar nasional.

Diskusi kami merembet ke fisikawan lain. Yaitu ilmuwan nyentrik, yang lagi-lagi juga seorang Yahudi, Albert Einstein. Pendiri Universitas Hebrew, Jerusalem, dengan teori-teori ilmiahnya di bidang fisika teoretis yang sangat fenomenal itu. Hingga salah satunya mengantarkannya meraih Nobel Fisika 1921 untuk penyelidikannya tentang hukum efek fotoelektrik.

Dan di akhir diskusi kami, saya melontarkan sebuah pertanyaan usil tentang ilmuwan yang mempunyai tiga kewarganegaraan (Jerman, Swiss, dan Amerika) dan juga menulis karya non-sains berjudul About Zionisms, 1930 ini.

“Banyak fisikawan men-Tuhan-kan Einstein karena jasa-jasanya. Kelak ia di surga atau neraka?” tanya saya waktu itu.

Tidak sampai lima menit, kawan saya itu menjawab diplomatis dengan mengutip pendapat beberapa pakar muslim, “Surga atau neraka adalah otoritas Allah. Teori Einstein bisa menjelaskan relativitas waktu perjalanan Nabi pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan buroq. Ilmu modern secara akal bisa diterima dan membenarkan Al-Qur’an.”

Saya hanya diam dan mencoba memaknai apa yang diutarakannya itu tanpa berniat untuk mendebatnya. Dan diskusi kami berakhir sampai di situ.

***

Pekan lalu, di forum liqo’at—belajar agama dalam sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 5-10 orang. Saat membahas tentang tiga amalan yang akan terus mengalirkan pahala bagi pelakunya, pertanyaan senada dengan redaksi yang berbeda kembali mencuat dari bibir saya.

Dengan definisi ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang secara aplikatif berguna bagi umat manusia dan membawa perubahan-perubahan ke arah positif dan kebaikan. Saya mengambil contoh sosok yang lebih mudah untuk dibayangkan berkaitan dengan hasil penemuannya yang sangat bermanfaat bagi umat manusia dewasa ini.

Thomas Alva Edison, si penemu bola pijar. Bagaimana wajah dunia saat ini di malam hari jika saja bola lampu tidak “diciptakan” olehnya? Atau George Brayton, penggagas pertama siklus Brayton yang kini digunakan pada turbin gas untuk “menerbangkan” pesawat di angkasa. Juga para pionir jaringan nirkabel yang membangun piranti untuk menghubungkan tempat-tempat di ujung dunia tanpa ada eliminasi waktu sedikitpun.

“Coba buka surat Ibrahim [14] ayat 18,” jawab ustad kami kalem.

Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka ibarat abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan di dunia. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Tiba-tiba terbersit rasa kasihan diam-diam pada mereka—para ilmuwan jenius yang ingkar kepada Tuhannya (baca: bukan seorang Muslim), menyelusup di sanubari saya membaca vonis di atas. Namun juga tak bisa digambarkan, betapa bersyukurnya ketika menyadari diri ini termasuk orang-orang yang dapat merasakan indahnya hidayah Islam, yang ternyata begitu mahal eksistensinya.

Kini, setidaknya saya mempunyai alternatif jawaban sendiri untuk pertanyaan pada kawan saya dua tahun silam itu.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia). (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 8)

Allahu a’lam bish-shawab.

***

16 Juni 2oo7 o3:51 a.m.

http://setta81.multiply.com/