Filosofi Sakura

Saat ini, masyarakat Jepang sedang berpesta menikmati keindahan bunga sakura. Hanami istilahnya. Terbayang saat-saat saya berhanami untuk yang pertama kalinya, bertahun silam.

Kala itu salah seorang keluarag Indonesia di Jepang, bu Ella dan pak Sarinanto syukuran karena pak Sarinanto sudah lulus dari program Doktor. Dan sekaligus merayakan ulang tahun kelima Fida, putri mereka. Pak Sarinanto adalah teman suami saya di Tokyo Institute of Technology.

Acara syukuran ini diadakan di kampus Tokyo Institute of Technology di Ookayama, Tokyo. Acara yang menarik dan berkesan, karena selain bisa bersilaturahmi dengan teman-teman sesama pelajar Indonesia, untuk pertama kalinya dalam hidup saya bisa berfoto dengan latar belakang sakura, bunga kebanggaan rakyat Jepang.

Namun ada sesuatu yang membuat saya heran. Yaitu ekspresi orang Jepang dalam mengagumi sakura. Ada tiga orang nenek-nenek Jepang. Salah satu dari mereka berusaha meraih dahan sakura yang rendah dan berseru,”Kirei ne!” yang artinya duh, cantiknya.

Saya heran karena mereka kan tinggal di Jepang, dan bunga ini mekar setiap tahun. Kenapa mereka takjub terhadap sesuatu yang setiap tahun muncul, dan bukan lima tahun sekali.

Saya lalu berusaha memperhatikan sosok bunga itu dengan seksama. Sebenarnya sakura adalah bunga yang sederhana. Bentuknya mungil, kelopaknya halus warnanya pun merah muda pucat. Tidak seperti bunga mawar yang merekah indah, elegan dan berwarna cerah. Sakura begitu berbeda. Dia begitu bersahaja. Namun itu kalau kita melihatnya secara individual. Akan berbeda halnya jika kita melihat sakura yang bergerombol. Tampak indah dan anggun sekali. Tergantung di dahan-dahan, baik tinggi maupun rendah. Menghiasi taman-taman, jalan-jalan kota, bahkan tepian sungai. Seakan berlomba-lomba memamerkan keindahannya. Ya! Sakura baru terlihat indah kalau dia bergerombol. Kalau dia `berjamaah`.

Prinsip ini sangat sesuai dengan kita, para manusia. Apalah artinya kita, kalo cuma seorang diri. Jati diri kita sebagai manusia baru terasa kalau ada orang lain. Kita baru merasa berguna jika kita menolong orang lain. Begitupun dalam mengerjakan sesuatu. Memasak misalnya, sayurnya mesti ada yang menanam, mesti ada yang menjual di pasar. Pancinya juga mesti kita beli dulu. Artinya kita memerlukan orang lain. Dalam dunia kerja prinsip ini lebih kentara lagi, antara satu divisi dengan divisi lain saling berkaitan dan saling membutuhkan. Tidak bisa kita mengklaim divisi kita yang paling berjasa. Tanpa dukungan divisi yang lain, apa artinya?

Jadi, sakura juga melambangkan kekompakan. Suatu prinsip hidup yang dapat kita teladani. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Atau, bersama kita bisa. Jangan lagi kita mengedepankan ego, namun kita harus bekerja sama dan bergotong –royong dalam mencapai tujuan yang kita inginkan.

Saya memperhatikan lagi ketiga orang nenek tadi. Juga orang-orang di sekitar saya. Mereka begitu bergembira. Memuas-muaskan diri menikmati sakura dengan cara piknik ataupun berfoto ria. Tak ingin kehilangan momen penting: mekarnya sakura. Suami saya memberi info, sakura berumur hanya satu minggu. Satu minggu! Pantas saja orang-orang Jepang itu begitu menikmati sakura. Sebentar lagi dia akan gugur dan jatuh ke tanah. Tak ada lagi sakura yang indah dan menawan itu.

Umur sakura yang singkat ini melambangkan kefanaan, atau ketidak abadian. Kefanaan ini lagi-lagi cocok sekali bila dikaitkan dengan manusia. Hidup manusia di dunia ini sangat singkat. Selanjutnya dia akan meninggal dan kembali kepada Sang Khalik. Hendaknya kita mempergunakan waktu yang singkat ini dengan sebaik-baiknya. Isilah dengan mengerjakan amal yang berguna, jangan melakukan kemaksiatan, maupun kemungkaran. Sayang sekali kalau hidup ini dihambur-hamburkan dengan melakukan hal-hal yang tidak jelas dan yang sia-sia.

Terima kasih sakura. Filosofimu telah mengingatkan saya agar bersikap sederhana, bergotong-royong dan lebih menghargai hidup ini.