Kembalilah ke Jalan Allah

Hari itu menjelang siang, kami bertolak melakukan sebuah perjalanan ke sebuah titik lokasi pabrik LPG (Liquid Petroleum Gas) di Jawa Barat. Kami dijemput oleh rekan klien kami dengan menggunakan mobil dinas berupa mobil Kijang Innova berwarna hitam. Perjalanan kami ini adalah perjalanan dalam rangka observasi fisik dan pengenalan lebih mendalam tentang bisnis perusahaan klien kami, yaitu jual beli dan pemprosesan gas alam.

Lokasi yang kami tuju, berada di sebuah kawasan yang mendekati pantai utara jawa, sekitar 20 km dari pusat kota. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, kami membayangkan suasana wilayah yang masih agak tertinggal dari segi perekononian dibanding wilayah yang mendekati pusat kota. Mungkin hanya karena adanya ladang migas dan pabrik LPG di sana serta jalan aspal berbeton yang menghubungkan dengan pusat kota, menjadikan suasana wilayah menjadi lebih ramai dan hidup. Adanya semua ini cukup memberi efek positif bagi pengembangan ekonomi di daerah yang dulunya sepi dan tak terjamah itu.

Jalan-jalan yang kami lalui cukup berliku, menyusuri desa-desa yang masih akrab dengan pemeliharaan hewan ternak yang dilepas begitu saja ke tempat-tempat umum. Hingga akhirnya kami melihat sumber kobaran api dari kejauhan yang berasal dari dua pipa tinggi menjulang. Yakinlah bahwa kami akan segera sampai pada lokasi yang kami tuju.

Ada dua bangunan besar yang kami lihat. Di sebelah kanan adalah bangunan yang memiliki kobaran api dari dua pipa tinggi menjulang. Pastilah lokasi itu adalah ladang minyak, dimana kegiatan eksplorasi minyak dilakukan di sana. Di sebelah kiri adalah bangunan dengan banyak peralatan berupa turbin-turbin besar, peralatan pipa dan metring, tangki-tangki pendingin, dan tangki-tangki panampung. Ada juga kobaran api dari satu pipa yang tinggi menjulang. Tetapi sangat kecil. Itulah pabrik LPG milik perusahaan klien kami.

Ternyata lokasi pabrik LPG itu berdekatan dengan sumur minyak milik perusahaan pertambangan minyak. Nampaknya, lokasi pabrik itu sengaja dibikin berdekatan untuk menghemat investasi/biaya yang harus dikeluarkan berkait dengan pemipaan (piping) yang menghubungkan pabrik LPG dengan sumber bahan bakunya. Saya menyadari bahwa belanja modal yang harus dikeluarkan untuk membuat pipa yang mengalirkan gas dari sumur minyak ke pabrik LPG adalah belanja yang cukup besar per meternya. Wajarlah bila pabrik LPG itu didirikan mendekati sumber bakunya guna menghemat investasi peralatan pipa.

Pabrik LPG yang kami kunjungi ini penuh dengan alat-alat berbasis teknologi tinggi yang sangat mahal. Inilah aset terbesar yang dimiliki perusahaan. Perusahaan berani berinvestasi semahal itu setelah memperhitungkan perkiraan kas masuk dari investasi tersebut selama masa kontrak yang ternyata cukup memberikan profit kepada perusahaan. Masa kontrak yang dilakukan antara perusahaan pertambangan minyak dengan pabrik LPG itu memang tidak panjang, yakni 10 tahun. Namun ada harapan kontrak itu akan terus diperpanjang sepanjang bahan baku berupa gas alam itu masih terus dihasilkan dari sumur minyaknya.

Saya banyak belajar tentang pemprosesan dan bisnis gas dari perusahaan klien kami itu. Ternyata gas itu bermacam-macam jenisnya. Ada jenis gas yang bernama Lean Gas (LNG-Liquid Natural Gas atau gas alam cair). LNG ini langsung bisa dikonsumsi sebagai bahan bakar mesin-mesin industri. Klien kami mendapatkan aliran Lean Gas ini yang kemudian dipompa ke stasiun pengumpul yang berjarak 35 km dari pabrik. Dari stasiun pengumpul ini, Lean Gas disalurkan ke industri-industri yang menjadi customer klien kami. Berapa aliran lean gas yang masuk dan berapa yang keluar, semua terukur dengan peralatan metring yang terhubung dengan panel digital.

Ada jenis gas bernama CNG, Compressed Natural Gas. Gas ini adalah Lean Gas yang dikompres sehingga bisa ditabungkan dalam tabung-tabung besar. CNG ini dibawa oleh truk-truk pengangkut untuk disalurkan ke industri-industri yang lokasinya cukup jauh sehingga tidak mungkin mendapatkannya dengan aliran pipa.

Jenis gas lainnya adalah LPG. LPG ini berasal dari aliran gas dari sumbernya yang kemudian diproses (dikondensasi) sehingga bisa dikemas dalam tabung-tabung kecil. Barangkali jenis gas inilah yang sangat kita kenal karena sering dijumpai atau dikonsumsi oleh masyarakat kebanyakan.

***
Bisnis gas adalah bisnis yang baru dilirik oleh para investor, terutama investor domestik, akhir-akhir ini. Dulu, orang tidak berminat dengan bisnis gas karena dirasa tidak menghasilkan. Orang lebih berfokus kepada bisnis minyak dan pemrosesannya, karena lebih bernilai dan prospektif dibanding gas.

Karena kondisi itu, banyak gas yang terbuang percuma karena sedikitnya pabrik yang memproses gas untuk bahan bakar mesin industri. Beberapa pabrik asing lebih maju dalam mengembangkan pemprosesan gas yang nilainya bak barang buangan dibanding minyak. Dan gas yang diperolehnya itu, sebagian di ekspor ke negara asal untuk menghidupi industri-industri di sana yang mesin-mesinnya sudah berbasiskan gas.

Saat ini, gas mulai menunjukkan nilai prospektifnya. Selain lebih murah dibanding minyak dan banyak beberapa industri yang beralih menggunakan gas, pemerintah pun mulai menggalakkan penggunaan gas (terutama LPG) sebagai bagian dari program konservasi energi guna mengantisipasi kelangkaan dan kenaikan harga minyak.

Saya penasaran terhadap nilai gas yang katanya merupakan barang buangan (by product) dari bisnis eksplorasi minyak itu. Pada kesempatan bertemu dengan kepala pabrik, saya pun bertanya,
“Pak, gas yang berasal dari pengeboran minyak itu kan sudah disalurkan ke pabrik LPG ini, kok semburannya masih tetap besar?”

Ia menjawab, “Ya, Itu tandanya bahwa gas yang dihasilkan dari sumur minyak itu cukup besar, dan pabrik LPG ini berkapasitas kecil, sehingga hanya bisa menyerap sebagian kecil saja dari gas yang terbuang itu”.

Saya pun kembali bertanya,
“LPG yang dihasilkan dari pabrik ini kan selalu terserap habis oleh pasar. Demikian juga dengan LNG dan CNG. Selaku orang yang mengetahui betul potensi gas dari sumur minyak di sebelah sana itu, apakah tidak ada keinginan untuk mengembangkan kapasitas pabrik sehingga mampu menyerap gas lebih besar? atau kenapa tidak ada perusahaan lain yang membangun pabrik serupa untuk menyerap gas yang terbuang itu?”

Secara tidak terduga saya mendapat jawaban yang cukup mengejutkan,
“Bapak mestinya bertanya ke pemilik sumur minyak itu, kenapa gasnya kok dihambur-hamburkan. Wong masalahnya ada di sana.”

Lebih lanjut ia menandaskan, “Bapak coba lapor ke polisi. Laporkan bahwa perusahaan itu (yang mengeksplorasi minyak), telah menghambur-hamburkan kekayaan negara!”

Kemudian ia melanjutkan,
“Ini serius!. Asal Bapak tahu saja, bahwa gas yang terbuang setiap harinya itu bernilai satu mobil Kijang Innova, bahkan bisa dua!. Coba bayangkan jika dijejer, sebulan sudah berapa meter, setahun sudah berapa kilometer. Padahal itu sudah bertahun-tahun, Pak!”

“Kami bukan tidak ingin meningkatkan kapasitas pabrik. Membangun pabrik seperti ini mudah kok!. Masalahnya kami tidak diberi izin, Pak! Ini yang bikin kami geram!”

Yah, pada akhirnya saya menyadari bahwa kendala masuk dari bisnis migas ini selain karena padat teknologi dan padat modal, juga karena padat nuansa politis.

Cukup miris juga mengetahui adanya kekayaan alam yang terbuang secara percuma. Potensi gas yang terbuang dari kobaran api di sumur minyak itu ternyata cukup besar yakni sekitar Rp 300 juta-400 juta setiap harinya. Padahal pembuangan itu sudah berlangsung sekitar tujuh tahun sejak sumber migas itu menyembur dari sana. Jadi sudah sekitar 767 milyard hingga 1.022 milyard kekayaan yang terbuang dari satu sumur. Atau jika dikonversi menjadi Kijang Innova seperti yang dituturkan oleh kepala pabrik, jika dijejer, sudah mencapai 11,5 km hingga 23 km.

Itu baru satu sumur. Dan sumur minyak yang saya jumpai itu kandungan gasnya terbilang kecil. Ada banyak sumur lain yang bercadangan gas lebih besar hingga tujuh atau empat belas kali lipat. Subhanallah, berapa potensi kekayaan alam yang terbuang andaikan ada ribuan sumur migas yang tidak diback-up dengan teknologi pemprosesan gas di penjuru negeri ini. Sungguh besar kekayaan Allah SWT. Kita baru bicara tentang potensi gas, yang merupakan produk buangan dari minyak. Belum nilai minyaknya. Sungguh rezeki Allah SWT itu teramat luas dan tidak akan pernah habis. Hanya saja, manusia terkadang tidak mau menjemput rezeki Allah SWT yang dijanjikan-Nya itu.

Ya, andai kita mau. Pasti rezeki itu bisa kita jemput dan bukannya pihak asing yang justru menikmatinya. Andai kita mau, realita kemiskinan yang semarak di negeri ini bisa dikurangi. Dan andai kita mau, masyarakat pemilik cadangan alam ini pasti bisa hidup lebih sejahtera tanpa harus mengemis ke sana- ke mari atau berniaga secara curang.

Baru-baru ini hati saya menjadi kelu mengetahui ada pihak yang menjual nugget berbahankan daging ayam tiren (mati kemaren-alias bangkai) dan tepung kadaluarsa. Juga adanya pihak yang menjual abon dan dendeng dari daging babi. Sepertinya mereka kehilangan cara untuk mendapatkan rezeki dengan cara yang halal. Padahal saya yakin bahwa rezeki Allah SWT itu teramat luas.

Bukti keluasan rezeki Allah SWT saya saksikan ketika mengunjungi pabrik LPG itu. Dan kemiskinan boleh jadi disebabkan karena tidak adanya kemauan dari pengemban amanah di negeri ini untuk menjemput rezeki Allah SWT secara maksimal yang ada di perut bumi guna kemakmuran rakyat sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945.

Kita masih berharap akan datangnya pemimpin yang lebih amanah dalam mengelola sumber kekayaan alam dan lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat. Dan sampai dengan saat ini dan sampai batas waktu yang tidak kita ketahui, kita masih akan terus diuji. Diuji dengan kemiskinan dan kesulitan hidup. Meski tidak menikmati hasil kekayaan alam, bahkan masih harus diberati dengan aneka pungutan dan pajak, yakinlah bahwa rezeki Allah SWT itu tidak terbatas. Oleh karenanya, cara-cara yang benar harus ditunaikan guna menjemput rezeki yang dijanjikan-Nya.

Semoga kita bisa kembali ke jalan Allah, dan menyerahkan semua urusan kepada-Nya.

Wallahua’lam bishshawaab

[email protected]

muhammadrizqon.multiply.com