Kepergian Orang-orang Terkasih

Sekali lagi kami tersentak. Baru 5 bulan lalu kami ditinggal Wa Atin. Kepulangannya keharibaan Sang Pencipta masih membekas. Kemarin, giliran adik kami Fathullah Yassir menyusul.

Wa Atin orang yang merawat Yassir selama hidupnya. Yassir memang adik kami yang memiliki keterbatasan fisik dan mental. Ia sangat bergantung pada kesabaran Wa Atin. Semua “kebutuhan” Yassir, Wa Atinlah yang memenuhinya. Kini keduanya telah kembali kepada penciptanya. Semoga Allah menerima mereka berdua dengan baik.

Kematian memang misteri. Kadang ia datang di saat semua Kita tidak menyangka. Sebaliknya, kadang logika dan perasaan Kita malah menyangka bahwa kematian telah menjemput seseorang, tapi nyatanya ia masih bernafas hidup. Sebagaimana terjadi pada seorang wanita hamil yang tertimbun reruntuhan  gedung pada gempa di Haiti kemarin. Siapa menyangka, setelah tiga jam usaha evakuasi, ia selamat dan hidup.

Saya percaya, setiap muslim-mukmin sadar sepenuhnya bahwa mati lambat atau cepat akan mengakhiri hidupnya. Bahkan taraf keyakinan mereka sampai pada haqqul yakin, bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Bahwa kemana pun ia berlari kencang dan berusaha bersembunyi di benteng yang kokoh untuk menghindari perjumpaannya dengan Malaikal maut, ia tetap tidak berdaya dan pasti menyerah pada takdirnya. Suka atau tidak suka, maut  akan mengetuk pintu dan mengajak ruh kembali kepada Sang Khaliq. Hanya soal waktu saja.

Semuanya tidak berdaya menolak mati, apakah dia penguasa atau rakyat jelata. Miskin atau kaya. Tampan, cantik atau biasa-biasa. Bahkan kematian datang kepada seorang nabi sekali pun.

Ada yang pernah menyampaikan pesan kematian yang sangat berarti dan lugas. Katanya:

”Sebenarnya yang perlu Kita khawatirkan bukanlah soal matinya. Sebab sebarapa pun besar rasa takut dan khawatir akan kedatangannya, toh mati tetap datang. Sebab itu, hidup sesudah matilah yang perlu Kita takutkan. Apakah Kita akan bahagia di alam baqa? Ataukah justru kesengsaraan hidup tiada akhir? Di sinilah timbangan iman dan amal kebajikan yang akan menentukan nasib selanjutnya. Karena itu, betulkanlah iman dan perbanyaklah amal soleh”.

Saya merenung. Benarlah pesan itu.

Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Al Jumu’ah, 62: 8)

Kebanyakan manusia menghindari berpikir tentang kematian. Dalam pesatnya arus peristiwa sehari-hari, seseorang biasanya menyibukkan diri dengan hal-hal yang sama sekali berbeda: di mana hendak kuliah, di perusahaan mana akan bekerja, apa warna pakaian yang akan dikenakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam; inilah macam isu utama yang biasa kita pikirkan. Hidup dipandang sebagai proses rutin dari masalah-masalah kecil sedemikian. Usaha untuk berbicara tentang kematian selalu diinterupsi oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengar tentangnya. Karena menganggap kematian hanya akan datang setelah tua, orang tidak ingin merisaukan hal yang tidak menyenangkan seperti itu. Namun, harus tetap diingat bahwa tidak ada jaminan bahwa seseorang akan hidup sekadar satu jam lagi. Setiap hari, manusia menyaksikan kematian orang-orang di sekitarnya, tetapi hanya sedikit berpikir tentang hari ketika kematiannya disaksikan orang-orang lain. Dia tidak pernah mengira akhir seperti itu sedang menunggunya!

Soal yang juga sering menghantui Kita akan mati adalah gelapnya kubur. Mendengar kata ”gelap” saja, naluri Kita sudah tersiksa. Apa lagi gelapnya di dalam tanah. Ngeri. Maka banyak pula orang yang enggan meskipun sekedar menengok kuburan.

Begitu pun cerita seram siksa kubur. Ia bukan saja membuat bulu kuduk begidik. Bahkan bisa melumpuhkan naluri makan, tidur, istirahat dan bersenang-senang. Jangankan Kita, para sahabat saja tidak kuasa menahan takut ketika Kanjeng Nabi menyampaikan berita dahsyatnya siksa kubur.

Masih lekat ingatan saya kuliah hadits sekitar tiga belas tahun lalu. Kisah tentang seorang yang mengalami azab kubur bukan oleh sebab dosa besar, tetapi karena kelalaian yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang; yaitu kencing dan namimah. Kisah tersebut kurang lebih demikian:

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu , beliau berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda, ‘Sungguh keduanya sedang disiksa, mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pKitangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari  kencing, sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namimah.’ Kemudian beliau mengambil pelepah basah, beliau belah jadi dua, lalu beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini?’ Beliau menjawab, ‘Semoga mereka diringankan siksaannya selama keduanya belum kering.” (HR  Imam Bukhari, Muslim, Tirmidzi,Abu Daud, Nasa’i dan Imam Ibnu Majah).

Kalaulah hanya karena soal air kencing saja siksaan begitu pedih, apatah lagi timbangan dosa-dosa besar? Na’udzu billah.

Adnan Okhtar pernah mendeskrisikan nasib jasad setelah dikubur dengan amat gamblang. Ilmuan muslim asal Turki itu menyatakan bahwa, sejak detik Kita mengembuskan nafas terakhir, Kita akan menjadi tak lebih dari "seonggok daging". Tubuh Kita yang diam dan tak bergerak, akan dibawa ke rumah mayat. Di sana, tubuh Kita akan dimandikan untuk terakhir kalinya. Dengan keadaan terbungkus kain kafan, jenazah Kita akan dibawa di dalam peti mati ke pemakaman. Begitu jenazah Kita berada di dalam kubur, tanah akan menutupi Kita. Inilah akhir dari kisah tentang Kita. Mulai sekarang, Kita hanyalah salah satu nama yang tertulis di nisan pekuburan.

Selama beberapa bulan dan tahun pertama, kuburan Kita akan sering dikunjungi. Seiring berjalannya waktu, makin sedikit orang yang datang. Sepuluh tahun kemudian, tak ada lagi yang datang.

Sementara itu, anggota keluarga dekat Kita akan melalui segi lain dari kematian Kita. Di rumah, kamar dan tempat tidur Kita akan kosong. Setelah pemakaman, hanya sedikit barang-barang kepunyaan Kita yang akan disimpan di rumah: kebanyakan pakaian, sepatu, dan lain-lain milik Kita akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas Kita di kantor administrasi umum akan dihapus atau diarsipkan. Selama tahun-tahun pertama, sebagian orang akan berkabung untuk Kita. Namun, waktu akan mengikis kenangan yang Kita tinggalkan. Empat atau lima puluh tahun kemudian, hanya tinggal sedikit orang yang ingat akan Kita. Tak lama, generasi baru akan datang dan tidak seorang pun dari generasi Kita yang tersisa di muka bumi. Apakah Kita diingat atau tidak, tidak akan berharga bagi Kita.

Sementara semua ini berlangsung di muka bumi, jenazah di bawah tanah akan melalui proses pembusukan yang cepat. Segera setelah Kita berada di dalam kubur, bakteri dan serangga yang berkembang biak di dalam jenazah karena tiadanya oksigen akan mulai berfungsi. Gas-gas yang dikeluarkan dari organisme-organisme ini akan menggembungkan tubuh, mulai dari bagian perut, mengubah bentuk dan penampilannya. Busa bercampur darah akan meletup keluar dari mulut dan hidung karena tekanan gas-gas pada diafragma. Begitu proses perusakan ini terjadi, rambut tubuh, kuku, telapak tangan dan kaki akan rontok. Mengikuti perubahan luar ini, di dalam tubuh, organ-organ dalam seperti paru-paru, jantung, dan hati juga akan membusuk. Sementara itu, adegan yang paling mengerikan berlangsung di dalam perut, di mana kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas-gas dan tiba-tiba meletus, menyebarkan bau busuk yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan berlepasan dari tempat-tempat asalnya. Kulit dan jaringan-jaringan lunak akan hancur sama sekali. Otak akan membusuk dan mulai tampak seperti tanah liat. Proses ini akan terus berlanjut sampai seluruh tubuh tinggal kerangka.

Tidak ada kesempatan untuk kembali lagi ke kehidupan lama. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bermasyarakat, atau memiliki pekerjaan yang terhormat tidak akan pernah mungkin lagi terjadi.

Kini, Wa Atin dan Yassir telah mendahului kami. Entah bagaiamana sekarang nasib jasadnya, bukanlah penting bagi semua yang mengenalnya. Orang-orang yang mencintainya hanya meminta kepada Rabbul Jaliil, semoga mereka diringankan segala urusannya. Dimaafkan segala kesalahannya. Dan ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya.

”Wa, Yassir, …cepat atau lambat, kami akan menyusul kalian. Berbaringlah dengan tenang. Kami mencintai kalian, tapi kami tidak bisa mencegah ajal datang. Sampai jumpa di alam keabadian nanti. Semoga Allah berkenan mengumpulkan kita di Adn …..”.

 

 

 

 

 

Depok, Januari 2010.

[email protected]