Ketika Allah Menyapa

Kejadian itu masih terekam dengan baik dalam ingatannya. Tanpa prasangka dan perasaan apapun, ia menaiki Bus yang akan mengantarkannya ke kantor. Penumpang tidak terlalu banyak. Namun entah kenapa, pintu masuk Bus terasa sesak. Beberapa orang sekaligus berusaha naik bersamanya. Tapi waktu itu ia tidak merasa curiga sedikitpun. Barulah, setelah lolos dari pintu masuk Bus, seseorang berkata kepadanya, “Mas, barusan itu tadi copet, coba deh periksa tasnya!”

Dengan was-was ia memeriksa tasnya. Benar saja, bagian depan tasnya telah terbuka. Ketika ia memasukkan tangan untuk memeriksa isinya, sadarlah ia bahwa isinya telah raib. Handphone kesayangannya kini telah berpindah tangan ke orang lain, secara paksa. Perasaan yang pertama muncul adalah marah, berlanjut dengan sedih, mengasihani diri, dan tidak berdaya.

Ia kemudian memutuskan untuk pulang, menenangkan diri. Sesampai di rumah, bersama sang isteri, mereka segera introspeksi diri. Adakah yang salah pada dirinya, hingga Allah memberikan teguran begitu keras kepada dirinya?

Jawaban terhadap pertanyaan itu muncul hampir seketika. Baru beberapa hari yang lalu ia terlibat ‘pertengkaran’ dengan sang ibu. Sempat terlontar kata-kata yang sesunggunya dilarang AlQuran. Masih merasa tidak bersalah, ia menunda permohonan maaf kepada sang Ibu. ‘Nanti saja!’ Pikirnya dengan ego yang melambung.

Namun kini, egonya terhempas ke bumi. Allah memutuskan tidak menunda teguran terhadap dirinya. Ridho Allah terletak kepada ridho orang tua. Demikian Allah menegaskan lewat lisan RasulNya. Ia memutuskan segera menelpon sang ibu, untuk memohon maaf. Namun kemudian tersadar bahwa handphonenya telah raib. Halangan kecil ini membuat kesedihannya semakin menusuk.
Akhirnya, bersama sang isteri, ia bergegas menuju kediaman sang ibu. Ia akan bersimpuh di kakinya.

* * * * *

Aku mendengarkan cerita tadi dengan tekun. Ini adalah pelajaran penting. Tidak semua orang memiliki kepekaan bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya ada hubungannya dengan perbuatannya yang lain. Dan uniknya, teguran ini memang hanya bisa dimaknai oleh mereka yang pada dasarnya masih memiliki keimanan yang tulus kepada Allah, yang terkadang khilaf, tergelincir, dan melakukan kesalahan.

Teguran ini tidak akan bisa dimaknai oleh mereka yang menganggap bahwa Allah tidak ada urusan dengan kehidupan mereka. Mereka paling-paling akan menganggap bahwa kejadian apapun yang menimpa mereka memang sekedar nasib saja. Memang lagi apes. Jadi tak perlu berusaha mencari-cari hikmah dari setiap kejadian.

Aku pun teringat hadits berikut ini:
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah akan menyegerakan hukuman baginya di dunia dan jika Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya niscaya Allah akan mengakhirkan hukuman atas dosa-dosanya sehingga Allah akan menyempurnakan hukuman baginya di akhirat kelak.” (HR Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu)

Kemudian ada hadits lain, “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah suatu kebaikan bagi dirinya, niscaya Allah akan menimpakan baginya musibah.” (HR Al-Imam Al-Bukhari dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa apabila Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menyegerakan hukuman baginya di dunia.

Aku pun membacakan hadits di atas kepada sahabatku yang menceritakan pengalamannya tersebut. “Maka bergembiralah, wahai saudaraku! Karena musibah ini kita harapkan sebagai bukti bahwa Allah menghendaki kebaikan untuk diri-diri kita, baik di dunia maupun di akhirat.

“Janganlah patah semangat atau berprasangka buruk atas musibah apapun yang menimpa kita, karena itu akan menjadikan besar pula pahalamu, sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
‘Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung dengan besarnya ujian/musibah yang menimpamu.’ (HR Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Anas radhiyallahu ‘anhu)

“Besarkanlah hatimu! Karena ini merupakan tanda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni dosa-dosamu, sehingga meringankanmu di hari perhitungan nanti. Sebagaimana ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

‘Cobaan akan terus senantiasa menimpa seorang mukmin, laki-laki dan wanita, baik pada jiwanya, anaknya, demikian pula hartanya sehingga ia berjumpa dengan Allah (meninggal) dan tidak ada padanya satu dosapun (tidak menanggung satu dosapun).’”

Sang sahabat mendengarkan dengan tekun. Ia menyadari, terkadang Allah menghendaki seseorang itu kembali kepadaNya dengan cara menegurNya melalui sesuatu yang tidak mengenakkan sang hamba. Namun kemudian ia bertanya, apakah tidak mungkin jika seorang beriman itu melewati hidup dengan ‘aman-aman saja’, tanpa perlu melewati banyak cobaan yang berat bahkan terkadang keras?

Dengan tersenyum, dan dengan segala keterbatasan ilmu, aku mencoba menjelaskan bahwa bukan berarti orang beriman itu hidupnya pasti susah. Bahkan Allah menjanjikan keberkahan dari langit dan bumi jika suatu kaum beriman dan bertaqwa. Namun di tengah hidup yang penuh keberkahan seperti itu, bukan berarti tidak ada satu dua kejadian ‘pembersih dosa’ yang akan dialami.

“Bukankah manusia memang tak akan luput dari kesalahan? Nah, ketika kesalahan itu terjadi, boleh jadi Allah akan menurunkan teguran kepadanya berupa cobaan.”

Malam telah mulai larut. Sang sahabat memutuskan untuk pamit.

Tinggallah aku seorang diri, merenungkan kembali percakapanku dengan sang sahabat. Mengukur seberapa dekat diriku dengan kata-kataku sendiri. Jangan sampai aku mengatakan sesuatu yang melampaui kapasitas amalku sendiri.

Naudzubillah min dzaalik!

Sabruljamil.multiply.com