Ketika Dada Telah Begitu Sempit…!

“Pikirkanlah lagi” kataku. “Pekerjaanmu sangat menyita waktu, belum lagi kuliah malammu. Sangat riskan kalau kau tinggal di Ciputat!”
“Insya Allah aku siap menanggung resikonya. Jika itu semua bisa membawa keluargaku menuju kondisi yang lebih baik, aku rela bersusah payah,” sahabatku menjawab mantap. Kulihat kesungguhan di matanya. Aku tahu, aku tak akan dapat mencegahnya lagi.

Panggil saja ia Lina. Seorang perempuan muda yang sejak kecil harus berjuang menaklukkan hidup, bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk keluarganya. Orang tuanya transmigran gagal yang kembali pulang ke Jawa. Adiknya yang sedari kecil diasuh neneknya akan kuliah di Jakarta atas tanggungannya. Dan kakaknya yang telah berkeluarga hanyalah seorang ibu rumah tangga yang bersuamikan pengangguran pula. Ketika adiknya masih di kampung dan orang tuanya di tanah seberang, ia kost bersamaku. Namun kini, dengan adik, orang tua –dan keluarga kakaknya- dalam tanggungannya, ia memilih untuk bergabung bersama kakaknya yang menempati rumah seseorang sekaligus menjadi penjaganya. “Aku bisa lebih berhemat, sekaligus dekat dengan dan membantu keluargaku,” begitu alasannya. Meski itu berarti ia harus berangkat pagi-pagi dan pulang saat malam telah jauh beranjak dengan mengendarai motor kreditan sejauh 40km tiap hari. Terlebih, ia masih harus kuliah malam di dekat kost-an kami.

Enam bulan kemudian “Aku tak yakin akan sanggup bertahan lebih lama lagi di rumah itu. Sudah lewat dari enam bulan, namun nyaris tak ada perubahan pada keluarga kakakku. Bahkan kini suasana semakin tidak harmonis. Aku nyaris tiap hari bertengkar dengan kakakku. Bapak ibu pun mulai kasihan padaku,” perempuan itu mengaduk-aduk makanan di depannya. Aku menatapnya dalam diam. Ini adalah kesekian kali dia menceritakan karut marut yang terjadi di keluarganya. Dan aku tidak tahu lagi harus berkomentar apa. Aku sangat tahu, enam bulan lalu, dia membawa harapan besar untuk merubah keluarganya dengan berkorban banyak hal. Uang, waktu, tenaga, kuliah dan kebebasannya. Tapi apa lacur? Semua pengorbanannya nyaris tidak membuahkan hasil. Bahkan kulihat tubuhnya kian tipis saja oleh beban batin yang demikian mendera.

“Mungkin memang sudah tiba waktunya kau melepas keluarga kakakmu. Mereka memang harus sudah mandiri. Sebaiknya kau fokus pada ibu-bapak-adik dan hidupmu sendiri,” cuma itu yang bisa kusarankan. Maka beberapa minggu kemudian, aku menemaninya berkeliling Jakarta Pusat untuk mencari kontrakan baginya. Namun ternyata perburuan itu sesulit berburu di padang pasir. Rumah yang sekedar petakan sedemikian langka, dan ketika ada, harganya jauh lebih mahal dari batas kesanggupannya. Tujuh juta setahun!

Atasannya di kantor menyuruhnya untuk kredit rumah, agar uang yang ia keluarkan menjadi investasi, bukan biaya untuk mengontrak. Maka kemudian, hari harinya di luar kerja ia gunakan untuk berburu rumah berpandukan brosur dan iklan koran. Tapi apa lacur, angsuran bulanan rumah baru di komplek yang jauh dari kota pun telah jauh di atas jangkauannya. Sementara, ia masih harus membayar uang kuliahnya, uang kuliah adiknya, angsuran motor dan menanggung makan empat mulut. Bagaimana ia akan membagi penghasilannya yang tak dapat dibilang besar bagi standar hidup orang Jakarta? Tapi jika jalan itu tidak ditempuhnya, bagaimana lagi ia akan mencari tempat berteduh bagi diri dan keluarganya?

“Mbak, mau tidak engkau tinggal bersamaku, jika aku mengambil cicilan rumah nanti. Tidak usah bantu angsuran bulanan, cukup biaya rutin saja seperti listrik dan air,“ katanya padaku suatu hari. Ia telah memutuskan untuk nekat mengambil cicilan rumah di pelosok Bekasi. Sungguh aku ingin bersamanya jika itu dapat meringankan bebannya. Namun aku harus realistis. Aktifitasku yang padat tampaknya sangat tidak memungkinkan bagiku untuk tinggal jauh dari pusat kota Jakarta. Dengan berat hati, aku menolaknya.

Dengan berat hati pula, ia menunda niatnya untuk mengambil cicilan rumah. “Aku tak sanggung membayar cicilannya!” demikian katanya. Untuk sementara, ia mengontrak rumah petak di sebuah wilayah di barat daya Jakarta, 5km lebih jauh dari rumah kakaknya ke tempatnya bekerja. Setiap hari, empat puluh kilometer ditempuhnya dengan sepeda motor agar menghemat biaya! Tentu saja, kondisi itu makin menyulitkan dirinya. Tapi ia bisa apa? Demi kontrakan setengah harga dari pusat kota Jakarta.

Kini, bulan ketiga dari masa kembaranya. Kembara yang sesungguhnya. Mencari tempat berteduh yang dapat melindungi ia, bapak, ibu dan adiknya dari panas dan hujan. Seorang sahabat di masa lalu menawarkan rumah orang tuanya yang kosong untuk ia tinggali, sekaligus untuk menjaga rumah yang terabaikan itu. Tawaran ini bagaikan sedikit pelega bagi dadanya yang terhimpit. “Setidaknya, meskipun jauh, selama dua tahun aku menempati rumah itu, aku akan punya cukup waktu untuk menabung guna mengumpulkan uang muka cicilan rumah, “katanya berbinar-binar. Aku turut gembira mendengarnya. Akhirnya, ia akan mendapat tempat berteduh itu.

***

“Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Kepalaku mau pecah rasanya…” suara di seberang telepon itu bergetar hebat. Aku langsung tahu, bahwa sesuatu yang sangat besar pasti telah terjadi. Karena selama ini, aku mengenalnya sebagai seorang perempuan tegar.

“Aku diultimatum untuk segera pindah dari rumah yang baru dua hari kutempati…,” suaranya makin terbata, seolah sesuatu menyumbat tenggorokannya. “Kemana aku mencari kontrakan dalam waktu dua hari? Lebih lagi, uangku sudah habis, Mbak, untuk memperbaiki rumah itu…,” kini sebuah isak panjang menjeda. Aku hanya sanggup menghela napas. Rabb, masih belum cukupkah ujianmu terhadap saudariku ini? Seruku dalam hati. Aku hanya dapat memintanya untuk bersabar. Kusarankan ia untuk negosiasi dengan atasannya lagi untuk mendapat bantuan.

***

Beberapa bulan kemudian. Sebuah ahad yang cerah. Aku berdua suamiku duduk di ruang depan sebuah rumah sederhana namun asri. Di sana, Lina, kedua orang tua dan adiknya juga berada. Kami tertawa riang, bercanda gembira. Rumah itu adalah rumah Lina. Terletak di sebuah komplek BTN, berjarak sekitar 60km dari Jakarta. “Allah memberikan sesuatu dengan cara yang begitu indah. Mungkin jika tanpa jalan yang begitu berliku, aku belum akan memiliki rumah ini,” kata Lina sambil tersenyum. Aku mengangguk.

Allah Maha Besar. Allah Maha Pengasih. Ia pasti akan menolong hambaNya yang selalu berusaha sepenuh tawwakal, meski di detik-detik terakhir kesabaran. Seperti ketika sebuah tanya terlontar dari mulut sahabat kepada nabi Muhammad: Kapankah pertolongan itu datang? Ucapan itu terlepas dari mulut para sahabat tangguh itu, karena deraan coba nyaris tak tertanggungkan lagi. Dan di sanalah Allah menurunkan kuasanya. Sebuah pertolongan penjadi penyembuh bagi sakit yang demikian lara.

Demikian pula rumah itu, yang akhirnya dimiliki Lina di saat ia telah berada di ujung putus asa. Seorang tetangga yang kasihan karena Lina dan keluarganya harus keluar dari rumah yang baru saja ia benahi dan baru dua hari di tempati, memberitahu bahwa di komplek itu ada rumah yang akan dijual murah. Pimpinan perusahaan tempat Lina bekerja yang iba atas hantaman bertubi-tubi yang menderanya memutuskan membeli rumah itu dengan uang perusahaan untuk dicicil Lina di kemudian hari. Kini Lina telah dapat bernapas lega. Hidupnya akan terus berjalan. Fa idzaa faraghta fanshab! (@Azi, 30/05/06 untuk seorang Lina)