Ketika Malaikat Maut Menjemput

kematian“Dari Abdullah bin Umar: Aku pernah mendatangi Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam sebagai orang kesepuluh dari sepuluh orang yang mendatangi beliau pada saat itu. Kemudian seseorang dari kaum Anshar berdiri dan bertanya, “Wahai Nabi Allah, siapakah orang yang paling cerdik dan terkuat pendiriannya?” Beliau menjawab, “Orang yang terbanyak mengingat kematian dan yang terbanyak persiapan untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang yang paling cerdik di mana mereka berangkat dengan kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat” (HR Thabrani)

Bulan November 2006. Sudah lebih satu minggu berlalu. Saat itu, Bandung mulai diguyur hujan. Langit mendung dan gelap adalah hampir menjadi teman dalam keseharian beraktivitas. Suasana dingin juga menyergap relung badan. Saat itu, belum sederas seperti saat-saat ini. Hanya berupa rintik-rintik. Namun, cukup mampu membuat basahnya tanah. Cukup mampu juga memberi minum pada tanaman-tanaman. Rasa syukur yang terperikan, bagi yang membutuhkan.

Sama seperti saat itu. Seakan mendung juga menyelimuti suasana kantor saya. Hampir tiga minggu berturut-turut, keluarga besar kantor dihadapkan pada suasana duka. Kematian. Peristiwa pertama terjadi pada minggu kedua di bulan November basah itu. Buah hati tercinta seorang rekan kantor menghadap Sang Penciptanya. Masih kecil dia. Bahkan masih balita. Sedang lucu-lucunya. Namun, waktu yang berbicara. Masanya sudah tiba. Sang buah hati meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Menuju tempat peraduan abadi. Penyakit bawaan dari lahirlah yang menjadi penyebab. Masih ada goresan luka di wajah kedua orang tuanya saat kami berkunjung ke sana. Masih tersisa sembab di kedua pelupuk mata. Terbata-bata sang bunda bercerita tentang si buah hati. Ketika proses kehamilan. Ketika proses kelahiran. Ketika proses pengobatan yang menguras tenaga dan pikiran. Ketika munculnya harapan untuk bisa sembuh. Ketika keduanya –rekan kerja dan isterinya- menunggu si buah hati di rumah sakit. Dan ketika proses kematian menjelang. Runtut saya mendengarnya. Kesedihan menyelimuti ruang tamu rumahnya. Tempat kami bertamu.

Kematian memang meninggalkan duka. Apalagi, oleh kepergian orang yang dicintai. Apalagi, bagi rekan kerja saya, yang pergi adalah sang buah hati. Bukankah, bagi kedua orang tua, sang buah hati adalah setetes embun di padang pasir? Bukankah, bagi kedua orang tua, sang buah hati adalah pengobat rindu bagi kelelahan jiwa? Bukankah, bagi kedua orang tua, sang buah hati adalah harapan? Bukankah, bagi kedua orang tua, sang buah hati adalah penyemangat? Karena itu, adalah wajar ketika saya melihat duka di wajah rekan kerja saya dan isterinya. Sejarah mencatat, hal yang sama juga dirasakan oleh junjungan kita, Nabi Muhammad, ketika ditinggal putra-putra tercintanya yang belum beranjak dewasa. Tengoklah penggalan syair yang dikumandangkan oleh Abu Bakar Ath-Tharthusi tentang perasaan kedua orang tua ketika berpisah dengan anaknya.


keduanya menelan beban derita atas kematian anaknya dan tersingkap kerinduan-kerinduan yang mereka sembunyikan terhadap anaknya niscaya ia akan meratapi sang ibu yang sesak nafas terkena…

Sama. Minggu terakhir di bulan yang sama, kembali saya mendengar peristiwa yang sama. Kematian. Saat itu, saya usai menunaikan shalat Ashar di masjid kantor. Seorang rekan kerja bercerita tentang peristiwa itu. Sore itu, ternyata, isteri tercinta seorang rekan kerja yang lain sudah berpulang ke Rahmatullah. Tak diduga secepat itu. Pagi tadi, masih ada rekan kerja saya yang masih bertemu dengan rekan kerja saya itu. Artinya, pagi tadi, ketika menuju ke kantor, rekan kerja saya meninggalkan sang isteri yang mungkin dalam keadaan baik. Memang, beberapa bulan terakhir ini, kondisi isteri tercinta rekan kerja saya itu tidak dapat dikatakan dalam keadaan sehat wal’afiat. Penyakit ginjal telah bersemayam di dalam tubuhnya.

Ada isak tangis ketika sore itu kami melayat. Hampir seluruh rekan-rekan di kantor melayat sore itu. Suasana duka terlihat di sekeliling rumahnya. Ramai. Dipenuhi oleh tetangga dekat rumah. Cuaca sore itu seakan mendukung. Langit mendung. Tidak hujan memang. Sang anak, masih dengan mengenakan pakaian seragam sekolah, terlihat menangis. Tidak hanya berupa tangis sesenggukan. Lebih dari itu. Sang bapak memegang erat tubuh si anak. Mencoba menyabarkannya. Namun, bagi sang anak, kehilangan sang bunda untuk selama-lamanya adalah suatu beban yang berat. Kami menunggu beberapa saat. Agak cukup lama. Saat itu, sang mayit sedang dimandikan.

Setalah sang mayit dimandikan, lalu dibawa ke rumah duka dan disemayamkan. Beberapa pelayat terlihat menyalami rekan kerja saya. Menyampaikan belasungkawa. Begitu juga dengan kami. Ada sembab di wajahnya. Ada tangis di wajahnya. Ada sedih di wajahnya. Begitulah yang saya lihat. Sang isteri tercinta telah mendahuluinya. Menuju Penciptanya. Suatu hal yang wajar. Bukankah Rasulullah juga bersedih ketika sang isteri tercinta, Siti Khadijah, mendahuluinya menjemput kematian? Bagi Rasulullah, wanita agung itu adalah sang penguat. Bagi Rasulullah, wanita mulia itu adalah teman berbagi dalam suasana apapun, suka dan duka kehidupan dakwah.

***

Kematian. Kata itu menyiratkan sesuatu hal. Proses akhir keberadaan kita di dunia. Tahapan menuju ke alam selanjutnya, alam kubur. Proses menuju pertanggungjawaban akan eksistensi kita selama berada di kehidupan yang fana ini. Memang, meninggalkan duka bagi orang-orang terkasih. Namun, itulah kehidupan. Ada awal. Ada akhir. Ada kelahiran. Ada kematian. Kita tidak pernah tahu kapan waktunya bagi kita. Kapan waktunya bagi saya. Kapan waktunya bagi Anda. Hanya Dia yang mengetahui, Sang Pemilik Jiwa kita. Dia hanya berpesan lewat firman-Nya. Termaktub dalam kitab suci Al-Quran. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, begitulah bunyi firman-Nya dalam Al-Quran Surat Al-Imran ayat 185. “… ketika ajal mereka tiba, mereka tiada daya menangguhkannya ataupun menyegerakannya sesaatpun”, Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 34 juga memperkuat tentang hal ini. Yah, setiap jiwa yang hidup tentu akan merasakan proses itu. Ketika malaikat maut menjemput. Siapapun dia. Saya. Anda. Saudara-saudara kita. Saudari-saudari kita. Hewan. Tumbuhan. Siapapun itu yang berjiwa.

Sore ini, ketika menuliskan cerita ini, saya merenung. Sudah cukupkah bekal saya? Sudah siapkah saya, ketika berhadapan dengan sakaratul maut yang teramat sakit bahkan akan membuat kedua betis bertaut? Sudah siapkah saya, ketika sudah tiba saatnya bagi saya untuk meninggal kehidupan dunia yang fana ini? Sudah siapkah saya, ketika malaikat maut menjemput saya?

Bandung, Desember 2006