Ketika Masjid Jadi Museum

Sebuah berita yang di posting di www.eramuslim.com sangat menarik perhatianku. Berita yang diangkat sesuai dengan gundah yang menjadi pertanyaan dan belum terjawab yang timbul dalam hatiku. Berita itu berjudul "Imam Masjid Istiqlal: Banyak Masjid Megah yang Tidak Dipakai Shalat Berjamaah."

Berita tersebut merupakan realitas nyata yang terjadi di negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, sungguh ironi. Berita ini mengingatkanku pada sebuah hadits nabi yang mulia di mana ia berbicara mengenai keadaan umat Islam pada akhir zaman. Ia mengatakan bahwa pada akhir zaman nanti umat Islam ramai mendirikan masjid namun isinya kosong. Apa yang dikatakan rasulullah memang benar sekali dan sekarang aku merasakan nyatanya kebenaran sabda beliau.

Dalam perjalanan menuju kantor pun aku menemui beberapa petugas yang meminta sumbangan di tengah jalan untuk pembangunan masjid. Belum lagi di tempat-tempat yang lain, entah berapa banyak jumlahnya. Satu sisi semangat mereka untuk terus membangun sarana ibadah umat Islam tentulah sebuah perbuatan yang mulia dan aku hargai itu. Namun yang namanya sebuah pembangunan haruslah lengkap dan berkesinambungan. Tidak hanya faktor fisik yang terus dibangun dan dipercantik, faktor mental pun harus diperhatikan dengan serius.

Aku merasa fungsi masjid sudah mulai bergeser, yang tadinya masjid difungsikan sebagai sarana ibadah bagi umat Islam, sekarang bisa dikatakan hanya pelengkap atau simbol bahwa di tempat itu mayoritas warganya adalah beragama Islam. Hal ini bisa diarasakan dengan sepinya masjid dari aktivitas-aktivitas keagamaan. Masjid yang kosong dan sepi pengunjung lebih identik dengan museum di mana pengunjungnya terbatas meski harga tiket masuknya terbilang murah, bahkan gratis.

Jika shalat saja sudah mulai enggan dilaksnakan di masjid, bagaimana dengan aktivitas-aktivitas yang lain? Tentunya akan lebih sulit lagi untuk dilaksanakan. Mengingat Shalat adalah pondasi utama agama yang mulia ini. Seharusnya kita bersyukur tinggal di negara yang kebebasan beribadahnya sangat dijaga. Cobalah kita lihat saudara-saudara kita yang berada di Palestina yang kehidupan beribadah mereka tidak begitu terjamin. Untuk dapat shalat di Masjid Al-Aqsa saja mereka harus siap mengorbankan nyawa karena rongrongan kebiadaban zionis yang selalu mengintai langkah-langkah mereka ketika menuju masjid. Seharusnya nikmat ke mananan ini kita syukuri dengan memberikan nilai ibadah kita pada angka yang maksimum. Dan sebaik-baik shalat adalah berjamaah, di masjid, dan di awal waktu.

Sudah saatnya kita mengembalikan fungsi masjid sesuai yang dicontohkan oleh rasulullah dan para sahabatnya. Salah satunya adalah dengan menghidupkan kembali shalat berjamaah di masjid dan ini merupakan salah satu sunnah nabi yang utama. Tidakkah kisah seorang sahabat nabi yang buta menjadi pelajaran buat kita? Di mana nabi tidak memberikan keringanan kepadanya untuk tidak menghadiri shalat berjamaah selama ia masih mendengar adzan.

Tidakkah cukup janji Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang mengerjakan shalat secara berjamaah di masjid? Bahwa shalat berjamaah itu lebih utama 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendiri. Bukankah dengan shalat berjamaah di masjid bisa dijadikan sarana silaturahmi untuk mempererat ukhuwah di antara sesama muslim.

Bekasi 23 Maret 2008

Www.galih0302.multiply.com