Ketika Nasionalisme Dipertanyakan..

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Bagaimana dengan Indonesia? Jawabannya dikembalikan kepada diri masing-masing.

Mungkin saya adalah contoh warga negara Indonesia yang kurang baik. Mengapa? karena saya tidak mengenal para pahlawan bangsa dengan baik. Memang, saya mempelajari dan menghafal nama-nama pahlawan dalam pelajaran sejarah ketika duduk di bangsku sekolah dulu. Tapi tentu saja itu hanya sekedar untuk lulus ujian dan mendapat nilai sejarah yang bags di rapor. Lalu bagaimana kita bisa meneladani beliau bila hanya sekedar mengenal nama?

Rasanya sangat memalukan ketika saya baru tahu dan menyadari bahwa saya bersekolah di almamater yang sama dengan Bung Hatta setelah 5 bulan berada di sini. Saya benar-benar terhenyak ketika mendapatkan email yang ditulis oleh seorang saudari (terimakasih kepada ukhti Niken Iwani Surya Putri) yang berjudul "Bung Hatta dan refleksi akhir tahun mahasiswa Erasmus University Rotterdam".

Berikut sedikit cuplikannya;

Di perpustakaan kampus Woudestein Erasmus Univ Rotterdam, ada sebuah ruangan yang bernama Hatta room. Terdengar familiar? Saya sendiri tidak pernah ingin mencari tahu apakah ruangan tersebut dinamai dari nama salah satu proklamator RI atau hanyalah kebetulan saja. Yang pasti, Muhammad Hatta, salah satu putra kebanggaan bangsa Indonesia, juga menjejakkan kaki di Erasmus Universitas Rotterdam untuk bersekolah. Sama seperti yang kini kita lakukan.

Hatta dan Masa Kuliahnya

Sukarno’s cohort was Mohammad Hatta, studiously humble, deeply Muslim yet open to all faiths, and unfailingly direct. Indonesians may worship Sukarno, Indonesia’s first President, but they love his former deputy Hatta, not just for what he did for his country but for what he, rather than Sukarno, still represents. Today, 26 years after his death, Hatta remains a symbol of what Indonesia aspired to become but has yet to fully achieve: an egalitarian and tolerant land with dignity for all. -Time Magazine-

Hari Rabu, tepat tanggal 5 September 1921, pemuda Hatta kelahiran Bukittinggi yang berusia 19 tahun ini menjejakkan kakinya di Rotterdam untuk belajar ilmu ekonomi negara di Handelshogeschool Rotterdam (Rotterdam School of Commerce). Sejak 1973 hingga kini, sekolah ini dikenal dengan nama Erasmus University Rotterdam. Hatta tercatat resmi jadi mahasiswa pada pagi hari Senin 19 September 1921 dengan beasiswa dari pemerintah Belanda. Siangnya ia memesan buku-buku pegangan di sekolah tinggi, langganan majalah-majalah ekonomi, dan memasang iklan cari kamar.

Pelajar Indonesia ketika itu tidak hanya sekedar belajar, tetapi mereka aktif memantau perkembangan tanah air dan berdiskusi hampir tiap malam untuk perbaikan dan kemerdekaan negara, yang pada saat itu bahkan belum dinamai Indonesia. Isu politik etis yang dilontarkan Prof Dr Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) mewarnai pembicaraan para pelajar Hindia Belanda ketika itu. Ketika itu, perjumpaan dan pertarungan alam pikir Hatta dengan alam pikir Belanda di markasnya sendiri sudah mulai.

Kuliah, baca, berjuang, bergaul, organisasi, mengamati kehidupan dan menikmati kehidupan, semuanya dengan kebebasan dan tanggung jawab terlihat jelas polanya dalam paparan di atas. Ketika itu terdapat perkumpulan pelajar Indonesia Belanda, yang bernama Hindie Vereeniging (Perhimpunan Hindia), atas usulan Hatta dan teman-temannya, para pengurus organisasi itu sepakat mengganti nama Hindie menjadi Indonesische, sebagai sebuah simbol bangkitnya kesadaran akan kemerdekaan.

Karena aktivitas organisasi, orasi dan tulisan-tulisan beliau yang membuat pemerintah kolonial panas, akhinya pada 23 September 1927, setelah beberapa hari di Den Haag, Hatta ditangkap di pondokannya. Ia dibawa ke penjara Casiusstraat. Perjuangan Perhimpunan Indonesia mencapai puncaknya pada tanggal 22 maret 1928 setelah dibebaskannya Bung Hatta dan beberapa aktivis lainnya. Pada tanggal 5 Juli 1932, Bung Hatta lulus ujian doktoral, dan memperoleh gelar Drs Belanda. Pada 20 Juli 1932 Hatta meninggalkan Rotterdam menuju Paris dan Genoa. Dari Genoa ia naik kapal Jerman Saarbruecken ke Singapura. Pada 24 Agustus 1932 Hatta tiba di Batavia.

Menelusuri jejak-jejak Hatta di kampus Erasmus seperti membayangkan jejak Hatta muda ketika itu, saat cap inferior seorang inlander melekat pada tiap langkahnya, namun tak menyurutkan keberanian seorang putra bangsa.Bung Hatta meletakkan keseluruhan jiwa dan raganya untuk perjuangan mencapai Indonesia merdeka. Untuk ini ia tahu besar risiko bisa ditawan, dipenjarakan, dan dibuang. Bung Hatta juga sadar bahwa berbagai kecukupan hidup material harus dikorbankan. Ia harus tahan banting untuk hidup dalam kesulitan, penderitaan, dan kesengsaraan.

Hatta dan teman-teman Perhimpunan Indonesia-nya ketika itu adalah manusia biasa, bergerombol di asrama untuk mengobrol, dan berjalan-jalan di selasar kampus Erasmus untuk mengikuti perkuliahan, berlibur keliling Eropa, dan aktif berorganisasi. Hal yang kini juga kita lakukan.Tetapi semuanya berbuah manfaat bagi bangsa. Sehingga tahun-tahun yang dihabiskannya di Eropa menjadi inkubator bagi cikal bakal pemikirannya untuk kelangsungan kemerdekaan Indonesia. Bedanya dengan kita saat ini adalah mereka telah membuktikan sesuatu, dan kita adalah generasi yang menyusul dibelakang.

Lalu saya merenung, apa yang bisa saya berikan untuk bangsa ini?

Teringat seorang teman berkomentar, "Yelvi, kalau sudah lulus dari Belanda jangan lupa pulang ke Indonesia ya, jangan sampai seperti kebanyakan orang pintar lainnya. Mentang-mentang sudah mendapatkan gelar tinggi di luar negeri, lupa dengan bangsanya. Jangan hanya karena kehormatan dan jabatan, kamu lupa siapa kamu sebenarnya."

Benarkah begitu? Apakah semua orang hebat, para ilmuwan dan profesor Indonesia yang menetap di luar negeri berarti tidak nasionalis? Tidak peduli dengan bangsanya? Lupa akan nenek moyangnya?

Rasanya saya tidak setuju dengan asumsi itu. Jangan menilai buku dari cover-nya saja. Bila kita mau menganalisis lebih dalam, apakah orang-orang hebat yang sekarang ada di Indonesia ini berarti menjunjung tinggi bangsanya? Tidak semua!! Bila kita melihat berita di koran berita tentang korupsi, pencurian uang negara, manipulasi hukum, dan kejahatan lainnya yang menginjak-injak harga diri bangsa sendiri demi kesenangan pribadi, semuanya yang melakukan adalah orang hebat yang tinggal di Indonesia. Apakah kita bisa bilang bahwa mereka yang melakukan itu memiliki nasionalisme yang jauh lebih tinggi daripada orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri? TIDAK!!

Pagi ini saya menonton acara Kick Andy episode "Ilmuwan Indonesia di Luar Negeri" dari youtube. Narasumbernya bukan hanya sembarang orang Indonesia yang ada di luar negeri, tapi para ilmuwan muda yang menempati jabatan tinggi di lembaga research internasional. Salah seorang pembicara yang merupakan dekan Universitas Waseda, Jepang, ditanya "Apakah banyak negara lain yang ingin memberikan kewarganegaraan pada anda". Beliau lalu menjawab, "Tentu saja banyak..tapi saya tidak ingin berpindah warga negara. Saya bangga menjadi orang Indonesia".

Tanpa kita sadari, orang-orang hebat itu telah mengabdi pada bangsa ini dengan cara lain; menjadi ilmuwan hebat dan diakui oleh dunia internasional. Dengan begitu secara tidak langsung mereka mengubah persepsi dan image buruk yang lekat dengan Indonesia di mata dunia internasional. Itulah bentuk nasionalisme mereka terhadap Indonesia.

Daripada mempertanyakan rasa nasionalisme kepada orang lain, lebih baik kita menanyakan hal yang sama kepada diri kita sendiri. Sudahkah kita memberi manfaat untuk bangsa Indonesia ini?