Ketika Sang Idola Membuat Kecewa

idolJangan melihat siapa yang membicarakan, tapi lihatlah apa yang dibicarakan. Mungkin pesan bijak inilah yang perlu kita perhatikan dalam menghadapi suatu masalah sebelum komentar. Bersikap objektif dalam menerima dan memberikan respon tanpa harus melibatkan ego yang terkadang justru memancing emosi.

Sebuah telur, (maaf) meski keluar dari dubur binatang, dia tetaplah telur yang kita sukai karena manfaatnya. Sebaliknya, meski keluar dari mulut seorang yang dianggap tinggi, terpandang atau mulia sekalipun, tidak ada seorangpun yang mau menerima muntahannya. Seekor ayam, meski dia hanyalah hewan yang derajatnya lebih rendah dari manusia, seringkali memakan sampah, kotoran, bergonta-ganti pasangan, namun tetaplah ketika dia mengeluarkan telur, kita semua setuju, itu semua tidak mengurangi manfaat dari telur itu sendiri. Seorang tokoh terpandang, dianggap mulia, ketika dia mengeluarkan ucapan-ucapan kotor, bertentangan dengan norma-norma susila, agama, apakah lantas kita membenarkannya lantaran yang mengucapkannya orang yang kita hormati, kita segani? Tentu saja tidak.

Kita seringkali menempatkan seseorang sebagai tokoh idola kita, entah karena profesinya, kepintarannya atau juga karena fisiknya yang kita anggap lebih dari kita dan bisa kita jadikan sebagai acuan untuk langkah kita menjalani kehidupan sehari-hari. Ucapan, gaya hidup dan segala yang ada pada tokoh idola kita sedikit banyak membawa pengaruh dalam kehidupan kita.

Mengagumi seorang tokoh sampai kepada mengidolakan, secara berlebihan bisa menyebabkan kekaguman yang membabi buta sehingga seringkali mengakibatkan kita menjadi subjektif dalam menyikapi satu permasalahan. Manakala sang idola masih kita puja-puja, segala tutur kata yang dia keluarkan seolah semua menjadi benar dan perlu bahkan wajib untuk kita ikuti, segala gaya hidup dan tingkah laku menjadi tolak ukur dan patokan untuk kehidupan sehari-hari.

Namun Ketika sang idola melakukan satu keputusan, atau tindakan atau kebijakan yang tidak sesuai dengan hati kita (dan memang tidak selamanya harus sesuai ) maka muncullah sifat arogan kita, yang kemudian merubah kekaguman itu menjadi kebencian.Dari yang semula ucapan penuh pujian tiba-tiba berubah menjadi cacian dan hujatan yang bertubi-tubi tertuju pada sang idola padahal belum tentu itu kesalahan sang idola. Bisa jadi tindakan sang idola itu wajar-wajar saja, manusiawi bahkan tidak bertentangan dengan aturan manapun, tetapi terkadang kebenaran memang tidak bisa langsung diterima khususnya bagi yang belum mengerti dan memahaminya. Rasa simpatik berganti menjadi permusuhan atau paling tidak hilang sudah, bahkan sifat oragan mengantarkan kita pada hujatan-hujatan yang merendahkan, seolah-olah kita jauh lebih mulia dari orang yang kita hujat.

Pernahkan kita berfikir, manakala sang idola begitu kita percaya, kita kagumi bukan saja karena kepribadiannya, kesopanannya, kesantunannya namun karena nasihat yang memang benar adanya, sejauh mana kita bisa mengikuti, melaksanakan nasihat-nasihatnya? Bisa jadi baru sebagian kecil dari nasihat-nasihatnya yang kita pahami, kita laksanakan, atau bahkan baru kita dengarkan saja. Berbagai keterbatasan menjadi alasan kita membenarkan diri untuk tidak mengikuti nasihatnya. Tapi ketika kita tidak setuju dengan pilihan sang idola, kita berubah menjadi penghujat yang seolah-olah jauh lebih mulia. Kita begitu senangnya mengeluarkan statemen-statemen yang memojokan.

Terlepas dari benar tidaknya pilihan sang idola, terkadang kita lupa bahwa seorang yang kita idolakan itu hanyalah seorang manusia biasa, sama seperti kita, penuh dengan khilaf dan dosa. Bisa saja pilihannya salah, namun bisa saja benar, hanya saja justu kita yang belum memahami serta terlalu banyak berharap dan menuntut dari sang idola.

Sebenarnya apabila kita ingin mengidolakan seseorang, tidak ada satu manusiapun yang patut untuk kita jadikan idola selain Rosululloh SAW, satu-satunya manusia paling mulia, baik dimata Allah maupun di mata makhluk. Ada satu jaminan bahwa apabila kita mengidolakan Rosululloh SAW, tidak ada kekecewaan dan kekeliaruan. Tidak ada keraguan akan mulianya akhlak beliau. Tidak ada kesesatan selama kita mengikuti jejak langkahnya. Tidak ada permusuhan selama kita ikuti nasihat-nasihatnya. Tidak ada kebencian selama kita istiqomah di belakangnya. Beliaulah manusia yang memiliki akhlak Al-Qur’an. Beliaulah manusia yang patut dan sudah seharusnya menjadi idola sejati kita, bukan mereka yang memiliki suara bagus, rupa yang menawan, prestasi yang tinggi, karir yang mapan, yang sebenarnya masih ada kesamaan dengan kita yaitu tidak pernah lepas dari khilaf dan dosa.