Kisah Penjual Kerupuk Mie

Pak De dan Bu De Gono, begitu kami biasa memanggil mereka. Sepasang suami isteri renta penghuni rumah di ujung gang sepit ini. Sebenarnya tak layak disebut rumah, hanya ruangan dari papan berukuran 3 x 4 meter, berpenerangan sebuah bohlam 10 watt, yang di sewa seharga dua ratus ribu rupiah per bulan. Sebuah tempat tidur dengan kasur tipis, dan lemari kayu untuk menyimpan baju sekaligus peralatan dapur, itulah furniture yang ada di rumah itu. Kompor, ember dan alat memasak di simpan di kolong tempat tidur. Untuk keperluan mandi dan hajat, mereka menggunakan MCK umum. Dengan membeli air pam seratus rupiah per ember, mereka bisa mandi, masak air, cuci baju, dan keperluan lainnya untuk mereka berdua. Hanya berdua, sebab Allah tidak mengaruniakan keturunan pada mereka.

Pak De Gono adalah seorang penjual kerupuk mie. Beliau berkeliling dari gang ke gang membawa pikulan yang terdiri dari sepanci sambal kacang dan seplastik besar kerupuk mie. Dengan uang seribu lima ratus, kita bisa menikmati dua buah kerupuk mie dengan sambal sesuka hati. Kalau pak de Gono berjualan di sekolah-sekolah, maka dia harus menyesuaikan harga dengan kantong anak sekolahan, yaitu lima ratus rupiah untuk sebuah kerupuk. Tapi beliau tak bisa selalu stand by di sekolah, sebab akan di usir oleh pihak keamanan sekolah, atau oleh pemilik kantin sekolah. Bisa di hitung kira kira berapa penghasilan beliau. Untuk dapat duit sebesar sepuluh ribu rupiah, Pak de Gono harus menjual kurang lebih 20 buah kerupuk mie, dan itu bukan hal yang mudah. Berjualan di antara gang-gang sempit, rumah yang berhimpitan, daya beli masyarakatnya sangat rendah, dan begitu banyak orang yang berprofesi serupa.

Ba’da subuh, dibantu bude Gono, sang isteri, pakde Gono menggelar kerupuk-kerupuknya di lapangan bulu tangkis depan mushollah. Kerupuk itu harus di jemur dulu agar bisa mengembang saat digoreng. Sementara sang isteri menyiapkan sambal kacang. Hari-hari belakangan ini, kerut-kerut di wajah bulat pakde Gono bertambah. Pasalnya, hujan sering mengguyur Jakarta pada pagi hari. Beliau tidak bisa menjemur kerupuknya. Seperti pagi tadi, ku perhatikan dari pintu rumah ku, Pak de membawa kerupuk-kerupuknya ke lapangan. “ Mendung, Pak De. Pasti sebentar lagi hujan.” Sapaku. “Nda papa, In. Yang penting kena angin.” Sahutnya. Dan benar saja, kurang dari 15 menit kemudian, hujan turun. Bergegas, Pakde dibantu isteri dan bapakku, yang kebetulan sedang ada di lapangan, menyelamatkan kerupuk-kerupuk itu.

Banyak sikap yang sangat aku kagumi dari sepasang suami isteri renta itu. Walaupun pemahaman agama mereka sangat terbatas, namun mereka adalah jamaah tetap mushollah kecil kami. Lima waktu selalu mereka kerjakan di mushollah itu. Yah, mungkin karna tak ada sisa ruangan di dalam rumah yang cukup layak untuk menghadap Ar-Rahman. Selain itu, harga diri mereka sangat luar biasa. Sebagai tetangga dekat, ibu ku selalu berusaha mengirim sedikit makanan atau apapun untuk mereka. Dan wadah makanan tak pernah kembali dalam keadaan kosong. Selalu terisi, apapun yang mereka miliki. Gula, beras, kacang, kerupuk mie, ubi, singkong, pisang, atau apapun selalu mereka sertakan saat mengembalikan wadah makanan. Sudah ribuan kali ibuku berusaha menolak, tapi saat melihat wajah sedih Bude Gono, maka ibuku tak mampu menampik pemberiannya.” Tolong, jangan ditolak.” Lirihnya. Maka, kami pun menerimanya. Selalu begitu.

Masih banyak yang bisa di kisahkan tentang mereka, yang mungkin di anggap biasa biasa saja, namun bagiku, yang baru belajar menumbuhkan rasa empati terhadap sesama, menjadi luar biasa. Seperti ketika Pak De bercerita pada pagi hari tahun baru, Januari 2008. Semalam, beliau berjualan ke PRJ karena tahu kalau lokasi itu akan sangat ramai. Dan benar, dalam sekejap dagangannya habis. Namun duit tak dapat, karna orang-orang yang sedang dalam eurofia itu lupa atau sengaja tak mau bayar. Apalah daya seorang lelaki tua di tengah hiruk pikuk pesta kembang api malam pergantian tahun. Pak de hanya tersenyum. “Sing sabar dan ikhlas”, katanya pada diri sendiri.

Dalam segala keterbatasan mereka, mereka menampilkan aplikasi nyata dari hadist Nabi, ” Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” Dalam segala keterbatasan mereka, tak mau harga diri mereka jatuh dengan hanya menerima tanpa memberi. Dalam segala keterbatasan mereka, ku temukan hidup yang penuh keihklasan, syukur, sabar dan pantang mengeluh. Dalam segala keterbatasan mereka, begitu banyak pelajaran hidup ku dapat.

Aku sadar, masih banyak orang yang bernasib sama atau bahkan lebih terbatas. Namun, mereka baru ku temui di media media cetak, TV, radio, milis-milis, atau cerita cerita. Sedang Pak De dan Bu De Gono adalah bagian dari hidupku. Mereka telah menjadi tetangga kami sejak orangtuaku menikah dan tinggal di gang sempit itu. Aku mengenal mereka walau tak sebaik ibu ku mengenal mereka. Mereka bukan tokoh yang kubaca dalam artikel artikel, namun sosok yang ku lewati dan ku sapa setiap pergi dan berangkat kerja. Pada akhirnya, aku bersyukur pada Illahi Rabbi, yang memberi pelajaran nyata di depan mataku, walau baru bisa ku petik maknanya saat aku sudah dewasa.