Kwitansi Hitam-putih

Sabtu sore, Jaziila anak bungsu kami sakit. Nafasnya memburu dan sesak. Gelisah, rewel dan menangis terus. Suhu badannya hangat dan perlahan semakin tinggi.

Dengan telaten, isteri saya terus melayaninya. Menghibur, mengajaknya bercanda, dinyanyikan, tetapi semuanya tidak menjadikannya tenang. Ia tetap rewel. Kami berdua sudah maklum bila Jaziila kambuh. Ini bukan yang pertama. Namun karena Sabtu sore dokter yang biasa menangani Jaziila tidak praktek, kami jadi khawatir. Kesabaran kami seolah menipis. Nafas saya seperti lebih sesak dari Jaziila.

“ Kita bawa ke mantri saja Bunda”, kata saya memecah kebingungan.

“ Saya khawatir beda obatnya, Yah. Terlalu banyak beragam obat yang kita beri, takut malah tidak bagus buat Jaziila”.

“ Kemungkinan seperti itu tetap ada, Bunda. Sekarang yang kita inginkan supaya anak ini mendapatkan sesuatu yang insya Allah dapat meringankan sakitnya. Kita juga tidak boleh terlalu percaya dan bergantung pada obat dokter atau mantri. Pintu kesembuhan hanya milik-Nya. Semoga Allah membukakannya untuk Jaziila. Kita minta pada-Nya. Masih ingat kan, wa idzaa maridhtu, fahua yasyfiin?”.

 Isteri saya hanya mengangguk pelan.

“ Sabar ya sayang, yu kita menjemput kesembuhanmu. Semoga Allah berkenan”, isteri saya masih saja berusaha menghibur bungsu kami. Lalu diraihnya baju hangat, kaus kaki, topi dan kain gendongan. Di atas motor, Jaziila tertidur hingga di ruang tunggu.

 

***

“ Pak, saya bisa mendapatkan kwitansi biaya pengobatannya?”. Kali ini saya meminta kwitansi pengobatan untuk Jaziila. Baru sebulan terakhir saya sertakan asuransi kesehatannya.

“ Bisa. Tunggu sebentar ya, Pak”.

Sementara mantri sibuk menyiapkan kwitansi, saya penasaran atas keadaan Jaziila.

“ Pak, maaf. Sebenarnya keluhan anak saya apa sih?”. Pertanyaan yang entah berapa kali saya lontarkan ketika mengantarnya ke tempat pengobatan. Padahal dokter yang biasa menanganinya pernah memberikan penjelasan soal itu. Reflek, pertanyaan yang sama saya lontarkan lagi.

“ Putra Bapak alergi cuaca. Kemungkinan cuaca yang tidak stabil saat ini, panas, hujan, panas, lalu hujan lagi menjadi pemicunya”.

“ Kalau boleh tahu, seberapa banyak keluhan ini diderita balita dan kemungkinan sembuhnya?”.

“ Beberapa diantaranya mengalami hal yang sama seperti putra Bapak. Bergantung pada ketahanan fisiknya. Biasanya semakin dia besar, semakin kuat fisiknya, semakin tahan cuaca. Balita memang rentan. Sementara hindari cuaca dingin. Usahakan jangan kena angin malam. Makan dan minumnya hangat terus. Dan minumkan obatnya. Yaa …,mudah-mudahan dalam satu dua hari kondisinya pulih”.

Jawaban yang sama; Alergi. Alergi cuaca, debu, asap dan aroma yang mengganggu pernafasannya.

“ Ngomong-ngomong, kwitansinya mau ditulis berapa?’,

Saya terdiam. Mau ditulis berapa?. Lagi-lagi saya menemukan pertanyaan yang seragam setiap kali berobat dan meminta kwitansi. Entah di dokter, rumah sakit sampai ke mantri. Apakah di tempat lain semuanya demikian?

“ Pak, mau ditulis berapa?”, Pak mantri mengulangi.

“ Ya Pak. Sesuai dengan harga yang harus saya bayar”. Jawab saya cepat di tepi lamunan.

“ Biayanya tiga puluh ribu rupiah”.

“ Ditambah dengan biaya konsultasi ya, Pak”, kataku menyambung.

“ Itu sudah biaya obat dan konsultasi”.

“ O, ya sudah, tulis saja tiga puluh ribu”.

“ Benar nih, Pak. Hanya tiga puluh ribu saja?”, saya menangkap tatapan pak mantri. Sepertinya ia tidak yakin. Pulpennya belum bergerak menuliskan satu angka pun.

Saya maklum dengan dugaan saya. Dugaan yang meyakinkan, bahwa tidak semua kwitansi minta ditulis sesuai angka kejujuran. Ada banyak kwitansi bodong. Kwitansi fiktif. Kwitansi jadi-jadian. Kwitansi yang tidak menjelaskan objektifitas angka satu, dua, tiga bahkan angka nol sekalipun.    

“ Memangnya kenapa, pak?”, saya bertanya hal yang sebenarnya tidak perlu dijabarkan lagi.

“ Ah, tidak. Hanya meyakinkan saja. Jadi tiga puluh ya”. Saya kecut dengan penegasan berulangnya. Pengulangan itu bahkan mengalihkan perhatian saya pada Jaziila. Kulihat, anak itu masih terlelap di pelukan isteri saya. Mudah-mudahan pertanda baik bagi kesehatannya.

“ Jarang sekali Pak yang begini. Kadang sudah dinaikkan dua retus persen, ada saja yang masih minta tambah. Tambah lagi Pak, kurang kalo segitu”.

Saya tercenung. Kalimat inilah rupanya yang membuatnya menunda angka tiga puluh ribu untuk kwitansi saya. Saya sama sekali tidak tersanjung. Entah. Hati saya semakin hambar. Senyum saya pun tawar. Mengapa kebaikan terasa semakin terasing di lingkungan kita. Seolah-olah nilai luhur itu sudah menjadi barang usang yang orang sudah tidak ingin memakainya. Kebaikan seperti tengah mengalami ambiguitas makna. Orang menjadi ragu kalau berbuat jujur dan begitu dan amat ‘pe de’ dengan kecurangan. Hitam-putih menjadi samar. Haq dan batil mengalami kerancuan identitas. Entah apa lagi sebutannya.

“ Manusia membawa tabiat masing-masing, ya Pak. Saya kadang malu. Apalagi hari ini. Tambah malu. Ada banyak pasien memaksa saya untuk menjadikan sakit sebagai alat menipu dan terpaksa saya turuti. Hari ini saya yang memulai ketidakjujuran, tapi Bapak tidak berkenan ”.

Saya mencoba menangkap arti di balik kalimatnya. Tanpa kata-kata. Hanya mirror dan gestur, mantri ini sudah paham sikap saya. Semakin banyak ia bercerita. Terbongkarlah kejernihan.

Hatinya tidak sepenuhnya senang menuruti kwitansi permintaan. Ia merasa bersalah memberi andil atas coretan angka yang diminta pasiennya. Kalau angka yang dimintanya masih rasional, ia tidak terlalu gundah. Pasalnya, apabila angka yang diminta terlampau tinggi, ia tambah pusing. Maka, mengubah atau menambah daftar resep dan diagnosa, menjadi jalan keluar mengatasi kepusingannya.

Kasihan. Batin saya meracau. Ia terjebak pada aksioma dusta. Bahwa sebuah dusta kecil, harus ditutupi dengan dusta yang dua kali lebih besar. Untuk berkelit dari kebohongan, ia harus mendisain kebohongan yang baru. Begitu seterusnya. Ia seperti terjerat lingkaran setan yang tak berujung kesudahan.

Mengapa semakin panjang daftar kegagalan kita menyikapi hidup? Sakit dan sehat sesungguhnya sama saja. Keduanya adalah ujian, teguran, atau bahkan hukuman atas kebandelan dalam memaknainya. Kearifan iman mengajarkan, bahwa seorang mukmin ketika sakit, adalah bentuk lain kasih sayang Allah atas dirinya. Melalui sakit yang diderita, justru berlimpah kemurahan Allah yang menghampirinya. Bukankah sakit menjadi kaffarat atas dosa-dosa kecilnya? Pernahkan terbayangkan, bahwa hampir semua orang terdekat memberikan care yang lebih besar dari hari-hari biasanya ketika sebelum ia sakit? Bahkan orang yang tadinya biasa-biasa saja, tiba-tiba begitu amat perhatian ketika sakit mendera bukan? Lalu, di manakah kebersihan akal budi, saat sakit datang, lalu berobat, ingin sembuh, tapi berbuat curang di hadapan Yang Maha Penyembuh? Bagaimana mungkin kita mengharap belas kasih-Nya, berbarengan dengan “menelikung”-Nya dari belakang?

“ Bapak kan bisa menolak”, kata saya datar.

“ Setiap kali saya menolak, bermacam reaksi saya terima. Dari yang halus sampai yang ketus. Semuanya berakhir dengan kalimat, Pak, saya yang tanggung jawab. Bapak tenang saja. Tulis saja sesuai permintaan”.

Ada keputusasaan yang megiringi keluhannya. Wajahnya menyiratkan hal itu dan matanya lebih banyak mengatakan yang tak terbantahkan. Seolah ia ingin memindahkan sebagian kecil dari bebannya di pundak saya. Tapi saya tidak dapat memikulnya. Yang saya bisa hanya tidak menambah bebannya bertambah berat. Semoga bebannya sedikit berkurang dengan angka tiga puluh ribu kwitansi saya. Tidak lebih.

Saya sulit menemukan ruang bijak antara profesi dan keserakahan sebagian pasiennya. Semuanya seperti liar dan tak terkendali. Anggaplah ia bersikeras tidak mau menuliskan angka pesanan, ia selamat dari perbuatan tercela. Tetapi sikap tersebut belum tentu memutus rantai kecurangan, apalagi niat untuk melakukannya sudah begitu kuatnya. Bagaimana tidak? Dengan teknologi komputerisasi sekarang, kwitansi, stempel bahkan tanda tangan akan dengan mudah dimodifikasi. Pintu-pintu menuju setan, jauh lebih canggih dari pada pintu-pintu menuju Tuhan. Semuanya karena niat dan teknologi. Hanya soal jauh dan dekat dengan Tuhan. Namun paling tidak, jika pilihan tidak mau menuruti keinginan sebagian pasiennya itu, sudahlah cukup baginya. Sebab tanggung jawabnya tidak lagi menjangkau modifikasi kwitansi, stempel dan tanda tangan gandungan.

Kejujuran memang ruang privat, tetapi efek dan pengarunya bersifat kolektif. Oleh karena itu, sikap amanah harus ditularkan hingga batas yang tidak terjangkau. Sayangnya, kecurangan di negeri ini sudah sampai pada taraf akut. Semuanya seperti ingin dipalsukan. Namun, menerapkan jiwa amanah untuk diri sendiri jauh lebih bermakna dari pada menjajakannya di mimbar retorika.

Saya sudah ingin pulang. Ingin segera mendekap Jaziila. Segera saya pamit.

“ Jangan lupa, sehari tiga kali diminumkan obatnya”.

“ Terima kasih, Pa. Do’akan, semoga Allah sembuhkan Jaziila dengan tiga puluh ribu rupiah saja”, saya pergi tanpa mau melihat ekspresi sang mantri.

Esok paginya, Jaziila sudah mau tertawa. Saya senang sekali. Panasnya berangsur normal. Nafasnya terlihat tidak lagi sesak dan memburu. Al-hamdulillah. Ya Allah, syukur atas kemurahan-Mu. Semoga kami semakin hati-hati memelihara amanah titipan-Mu.

 

 

Depok, 15 Pebruari 2009.