Lambung yang Jauh dari Tempat Tidur

”Sesungguhnya, orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami adalah mereka yang apabila diperingatkan (ayat-ayat itu) mereka menyungkur sujud seraya bertasbih dan memuji Rabb-nya dan mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya. Mereka selalu berdoa kepada Rabb-nya dengan penuh rasa takut dan penuh harap serta menginfakkan rezeki yang Kami berikan kepada mereka, ” (QS as-Sajdah 15–16)

Ruang redaksi sudah lengang pukul satu pagi. Yang tersisa hanya kesunyian dan beberapa rekan layout dan office boy yang shift malam. Sedangkan saya masih asyik di depan komputer membaca ulang naskah berita yang sudah tercetak.

Hujan mengguyur Surabaya dini hari itu. Beberapa buku yang tergeletak di meja dan secangkir kopi menemani kesendirian saya. Malam makin jauh hendak menggalkan jubahnya.

Seorang petugas cleaning service menyapa dan membuyarkan pikiran saya. ”Maaf, Mas permisi, ” ujarnya seraya mengepel sekitar tempat saya bekerja. ”Iya, monggo, Mas, ” jawab saya.

Memang, kebersihan adalah hal amat diperhatikan betul di ruang redaksi. Bahkan, para atasan di redaksi tidak memiliki kamar kecil khusus. Semua sama. Mulai office boy sampai pemimpin redaksi. Yakni, memakai kamar kecil di ruang pojok sebelah selatan. Ada pula tempat wudu di situ. Selain agar intesitas atasan dengan bawahannya makin akrab, kamar kecil tersebut dipakai oleh semua supaya para atasan bisa mengecek kebersihannya. Bukankah kebersihan memang merupakan sebagian dari iman? Islam begitu indah mengatur segala sesuatunya bagi kemaslahatan umatnya.

Hujan masih mengguyur tampak di balik kaca lantai empat. Suasana hening dan dingin. Kemudian, saya beranjak ke kamar kecil untuk membasuh wajah yang mulai mengantuk. Tak sengaja, saya berpapasan kembali dengan petugas cleaning service tadi di kamar kecil tersebut.

Sejurus kemudian, saya terhenyak saat hendak kembali ke meja kerja. Tampak, pemuda cleaning service tadi sedang salat. Rupanya ketika berpapasan tadi dia baru selesai wudu. Setelah usai salat, saya menghampirinya. ”Mas, tadi opo sampeyan sholat tahajud?” tanya saya. ”Oh mboten, Mas. Saya cuma sholat hajat, ” jawabnya halus.

Mendapat jawaban tersebut, saya menjadi malu pada diri sendiri. Ternyata, di kota besar yang padat penduduk dengan kehidupan keras seperti ini, masih ada hamba Allah yang begitu rendah hatinya bersujud dalam hening. Membingkai dingin malam dengan salat hajat.

Bumi dan seisinya memang diciptakan Allah SWT sebagai tanda bagi orang-orang yang berfikir. Betapa lalainya kita selama ini. Kita hanya merajuk dan memohon kepada Allah di kala susah. Sedangkan saat senang, kita lupa memohon ampunan dan ampunan.

Pemuda tadi seolah mengajarkan kepada saya untuk rendah hati dan tak alpa untuk selalu bermohon kepada Allah SWT.

Kala seorang hamba Allah menunaikan salat malam, ia tak seakan tak suka meletakkan lambungnya di atas peraduan dan tak nyaman berada di tempat tidur. Hatinya merasa gundah dilanda kerinduan kepada Rabb azza wa jalla. Karena itu, tak ada kebahagiaan, ketenangan, dan kenyamanan, kecuali bermesraan dengan Allah dan bermunajat di hadapan-Nya.

Malam semakin larut. Gerimis pun masih menyapa di luar sana. Dalam hening dan cuaca yang basah ini, semoga saya bisa mengambil hikmah sederhana dari pemuda tersebut. Wallahu alam bisshawab.

Graha Pena, April 2008