Lelaki Setia Itu Bang Urip Namanya

Lelaki setengah baya ini namanya Bang Urip—dan begitulah setiap orang terdekatnya memanggil. Entah itu pelanggannya, istrinya, tetangganya sampai anak-anak. Begitu juga dengan saya. Semua setia memanggilnya demikian.

Lelaki setengah baya ini pekerjaan rutinitasnya sehari-harinya adalah penjul es kelapa di tepi jalan raya. Pukul 10 pagi barulah Bang Urip membuka dagangannya itu. Begitulah setiap harinya.

Tanpa beban. Tanpa paksaan Bang Urip melakukannya seorang diri. Hanya sewaktu-waktu jika di atas langit tempat ia mengais rezeki—dengan berjualan es kelapa terdengar kumandang adzan barulah ia meminta digantikan oleh istri tercintanya. Di alihkan ke istrinya untuk bergantian menjaganya.

Biasanya jika adzan zuhur istrinya itu selalu membawa upeti uantuk sang suami tercinta, Bang Urip. Biasanya upeti yang dibawa istri Bang Urip itu tidak lebih hanya berupa nasi dan lauk-pauk seadanya untuk makan siang.

Selalu begitu. Maklum Bang Urip harus membiaskan lidahnya untuk memanjakan masakan istrinya di rumah. Bukan! Bukan! Bukan Bang Urip tidak mampu makan di warung Padang atau pun warung Tegal. Lagi pula sebagai penjual es kelapa ia juga bisa membeli sebungkus nasi beserta lauk-pauknya yang wah. Sebungkus nasi dengan ayam goreng, paruh ati serta sambal ijo.

Bang Urip mampu untuk membelinya—untuk makan siangnya. Tetapi Bang Urip sudah berjanjipada dirinya biar bagaimana pun masakan istrinya tidak membuat ia beselera makan tetap ia harus menjaga persaaan istrinya itu. Itu yang harus—dan sudah ia tanam sejak awal pernikahannya. Karena ia tak mau membuat istrinya kecewa lantaran masakan yang tak membuat selera makannya meningkat.

Ia harus rela perutnya di masukan masakan dari istrinya yang benar-benar tak membuat ia lagi-lagi tak beselara makan. Tapi apa dikata ia tak mau membuat istrinya terluka hanya lantaran makanan yang dibawainya setiap harinya itu tak bisa membuat lidah terkecap. Enak dan sedap. Ia urungkan untuk memprotesnya apalagi menegur istrinya itu.

Begitulah kehidupan Bang Urip ketika saya mengetahuinya. Itu pun saya tahu ketika ia tak sengaja membeli es kelapa di tempat ia berjualan saat saya sedang kehausan. Kebetulan tempat ia berjualan persis dekat tempat keponakan laki-laki saya membuka kios sepatu di tepi jalan. Bang Urip menceritakan bagaimana hidupnya yang saat itu ia jalani. Saya sebagai pendengar sejati hanya manut-manut saja seperti burung pelatuk. Mengiyakan apa yang dikatakan kepada saya.

“Lu udah nikah belum?” tanya Bang Urip disela ia melayani pelanggannya menanyakan status saya saat itu.

“Belum, Bang!” seru saya.

“Oh, ga pa pa lagi. Lagi pula masih muda. Pokoknya kalo belum siap nikah jangan dulu deh. Banyak banget ujiannya.” Lanjut Bang Urip.

Entah saat Bang Urip bercerita tentang kehidupan saya merasakan sudah dekat saja dengannya. Seperti layaknya abang dan adik bercerita tanpa ada sungkan lagi. Tapi saya tahu dari apa yang ia bicarakan ternyata ia memang perlu teman untuk bicara. Halnya saya saat itu ketika secara kebetulan membeli es kelapa di tempat ia berdagang.

“Abang punya anak berapa?” kini giliran saya bertanya.

Mungkin karena ia yang selalu banyak bertanya saya jadi tidak enak akhirnya saya pun mencoba memberanikan bertanya kepadanya. Dan ternyata ketika saya bertanya seperti itu betapa terkejut saya dan juga merasa tak enak hati karena menanyakan begitu privasi kepadanya.

“Ma’af Bang kalo saya bertanya kayak begitu!”

“Oh, ga pa pa. Lagi pula ngapain nggak enak segala. Lagi pula yang bertanya kan Abang duluan. Lu nggak perlu merasa nggak enak,” jawab dengan kental bahasa Betawinya.

“Iya, udah lima tahun nikah abang belum juga punya anak. Tapi biar bagaimana pun abang tetap setia kok sama bini abang walo memang ada hati kecil ingin menikah lagi. Tapi itu tadi abang udah janji sejak awal menikah biar bagaimana tetap setiap sama bini abang.” Bagai sebuah dialog sinetron saya mendengarkan ucapan Bang Urip di gendang telinga saya. Bijak sekaligus contoh lelaki yang patut untuk contoh kesetiaannya. Tidak sepeti zaman sekarang bisa-bisa sudah menikah lagi tanpa merasakan perasaan istri.

Lama. Saya menyempatan duduk di tempat Bang Urip berjualan sambil membeli dagangannya yang ia jajakan tak terasa hari itu sudah hampir siang. Hingga saya pun mengakhiri perbicangan saya kepadanya. Karena saya takut memerepotkannya lagi serta tak enak dengan istrinya jika ia datang. Tapi saya cukup tahu dan ikut prihatin dengan keadaan Bang Urip walau hanya seorang pedagang es kelapa tanpa seorang anak di kehiidupannya ia tetap setiap pada istrinya. Tak seperti apa yang dijualnya es kelapa. Manis dan enak. Tidak semerta dibarengi dengan kehidupan Bang Urip.[]

***

FB:[email protected]
MP:sebuahrisalah.multiply.com

Ulujam—Jakarta, 31 Januari 2010