Semangat Dakwah yang Terus Menyala

Dakwah baginya tidak mengenal tempat, ruang dan waktu. Di mana kaki dipijak, di mana nafas dihirup disana amar ma`ruf harus ditegakkan. Tidak ada waktu yang terlewat kecuali harus diisi dengan dakwah ke jalan Allah SWT. Hal itulah yang selalu saya tangkap dari Abu Muhammad. Api semangat dakwah seolah tidak pernah padam menyala dalam jiwanya.

Hari itu bakda shalat maghrib di mesjid samping apartemen saya, dia menelpon saya. Mengabari saya tentang rencana silaturahmi ke rumah seorang saudara fillah di kawasan Hay Tsamin. Saat itu saya juga ada tamu di rumah. Satu sisi saya merasa agak keberatan untuk mengiyakan ajakannya karena beberapa hal.

Namun di sisi lain hati saya seolah mendorong saya untuk menyambut baik ajakan itu. Setelah berbincang sesuai keperluan, sang tamu minta izin karena ada satu keperluan lain ke rumah temannya di kawasan Tajammuk Awwal.

Saat turun dari apartemen ia kembali menelpon saya, memberitahukan untuk bertemu di halte Musallas dan dari sana naik tramco ke Hay Tsamin. Tidak berapa lama kemudian saya bertemu dengan Abu Muhammad dekat halte Musallas. Saya mendapati dia dengan dua orang laki-laki. Satu orang bernama Abu Faiz dari Thailand dan satu lagi bernama Muslim -nama samaran- dari Sumatera.

Setelah sampai di halte Musallas, kami menyeberang jalan. Di seberang jalan kami menunggu mobil tramco lewat jurusan Hay Tsamin. Cukup lama kami menunggu mobil tramco. Tapi tak kunjung datang. Sampai akhirnya azan isya berkumandang di mesjid Al-Faruq yang terletak di dekat halte Musallas. Mobil tramco tak juga datang.

“Kita harus sampai di Hay Tsamin sebelum shalat isya didirikan,” ucap Abu Muhammad.

“Shalat lebih utama untuk kita jaga tepat waktu, jangan sampai kita masbuq,” lanjutnya.

Akhirnya kami berempat sepakat untuk naik taxi demi mengejar takbir pertama bersama imam. Beberapa taxi lewat. Abu Faiz mencoba melambaikan tangan sebagai isyarat untuk menghentikan satu taxi. Setelah ada kesepakatan harga dengan sopir akhirnya kami menaiki taxi tersebut.

Dalam perjalanan dengan taxi Abu Muhammad tidak tinggal diam. Ia berbicara pada sopir taxi tentang ajakan-ajakan pada jalan Allah, semangat untuk meningkatkan ibadah. Mengenal Allah dan menjadikan hidup ini senantiasa dalam ketaatan. Sopir taxi terlihat merespon baik perkataan Abu Muhammad.

Saya hanya mendengarkan saja dan menguatkan kebenaran yang disampaikan. Tak sampai sepuluh menit taxi yang kami tumpangi telah sampai di tujuan. Kami meminta sopir taxi untuk berhenti di halaman mesjid Riyadus Solihin.

Pada saat ingin membayar ongkos kami semua berebut untuk membayar, tapi ternyata Abu Muhammad telah menyiapkan uangnya terlebih dahulu untuk membayar ongkos taxi. Akhirnya beberapa orang merasa sedikit kecewa karena kalah duluan dari Abu Muhammad dalam kebaikan.

Sopir taxi sepertinya ingin melanjutkan perjalanannya mencari penumpang yang lain. Abu Muhammad seolah paham akan hal itu. Ia pun tidak tinggal diam, ia dekati si sopir lalu mengajaknya untuk shalat dahulu di mesjid baru kemudian melanjutkan mencari penumpang.

“Yuk kita shalat dulu,” ajak Abu Muhammad.

“Gimana ya, saya shalat nanti saja,” jawab sang sopir.

“Apa anda bisa menjamin anda masih hidup setelah lima menit ke depan? Andaikan malaikat maut datang menjemput sedang anda belum shalat, bagaimana?”

“Iya, tapi..”

“Ayolah saudaraku, shalat itu lebih utama didahulukan, dunia itu tidak akan ke mana. Setelah shalat anda bisa kembali melanjutkan pekerjaan,” sahut Abu Muhammad tak mau kalah.

“Baiklah. Betul apa yang telah anda katakan. Terima kasih telah mengingatkan saya,” jawab sopir seraya bersiap ke luar taxi untuk ikut shalat di mesjid.

Dalam hati saya merasa iri pada Abu Muhammad, ia telah berhasil mengajak satu orang pada kebaikan yakni shalat berjamaah di mesjid. Terbayang bagi saya berapa pahala yang akan mengalir ke dalam lembaran amalnya.

Setiap kaki yang dilangkahkan dan pahala shalat berjamaah di mesjid sopir taxi itu juga akan dicatat dalam lembaran amal baiknya. Apa yang dilakukan Abu Muhammad bagi kami bukanlah hal yang baru, sopir taxi itu adalah laki-laki yang entah sudah keberapa berhasil ia ajak shalat di rumah Allah.

Begitulah semangat dan kobaran dakwah yang memancar dari dalam jiwanya. Kecintaannya pada agama ini benar-benar ia wujudkan dalam perbuatan, tidak hanya sebatas kata-kata dan teori belaka, tapi betul-betul ia aplikasikan dalam kesehariaannya. Ia juga adalah seorang laki-laki penebar salam. Setiap berjumpa dengan orang lain ia selalu mendahului mengucapkan salam. Baik ia kenal ataupun tidak. Saya sendiri banyak belajar dari beliau.

Usai shalat kami diajak ke kedai ashir -menjual juice buah-buahan. Di sana kami ditraktir minum segelas air tebu oleh Abu Muhammad. Masya Allah, jiwa ikram-nya begitu tinggi. Tidak mau kalah berbuat baik dari orang lain. Memang demikianlah yang Allah perintahkan, “Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.”

Usai meminum segelas air tebu kami menuju rumah yang dimaksud. Tuan rumah menyambut kedatangan kami dengan penuh rasa gembira dan bahagia. Kami dipersilahkan masuk. Memasuki rumah yang cukup sederhana. Setelah berbincang dengan kami tak berapa lama, tuan rumah minta izin sebentar membuatkan minuman. Kami pun asyik dengan perbincangan di antara kami.

Setelah minuman dan makanan ringan terhidangkan, tuan rumah mempersilahkan kami menyantapnya. Di sela-sela itu, Abu Muhammad berbicara tentang mengenal Allah, mengikuti sunnah Rasul dan menjadikan beliau sebagai teladan kita dalam segala hal, mengingat mati yang datang kapan saja, dan menyiapkan diri untuk bertemu Allah di akhirat nanti.

Kata-kata yang ia keluarkan umpama cahaya yang menerangi kegelapan. Kata-kata itu begitu ber-ruh, mampu menggerakkan hati dan menggugah jiwa. Kata-kata yang sanggup memompa semangat yang melemah. Kata-kata yang menyuburkan benih–benih keimanan dalam hati.

Waktu terus berlalu. Tak terasa kami sudah hampir satu jam berada di rumah itu. Ketika kami ingin minta izin pulang, tuan rumah mencegah.

“Makan dulu ustadz, saya sudah siapkan menu seadanya,” ucapnya sambil menyiapkan piring dan menghidangkan lauknya.

“Kami sudah mau pulang ni ustadz, ” sahut Abu Muhammad.

“Makan sebentar saja kok, ustadz. Lagian kami juga ingin memuliakan tamu.”

Akhirnya kami menyambut niat baik tuan rumah, dan menyantap menu yang telah dihidangkan tuan rumah.

Setelah makan, dan sedikit ngobrol akhirnya kami minta izin pulang ke rumah. Tuan rumah seperti agak keberatan mengizinkan kami pulang. Ia berharap kami masih disana. Tapi Abu Muhamad memberikan pengertian bahwa beberapa orang dari kami juga ada keperluan yang lain.

Kami kembali menunggu mobil, menuju ke Hay Asyir di halte Hay Tsamin. Beberapa mobil yang lewat tidak menuju Hay Asyir. Akhirnya kami sepakat untuk naik taxi lagi. Itu karena satu orang dari kami telah ada janji dengan temannya dan ia harus cepat sampai di rumah.

Dalam perjalanan pulang dengan taxi Abu Muhammad kembali menggencarkan dakwahnya. Kalimat-kalimat dakwahnya membara bagai api yang menyala-nyala. Begitulah, ketika seseorang telah begitu cinta pada Allah, rasul-Nya dan pada agamanya, tak ada lagi rasa gentar dan takut untuk menyebarkan dakwah islam di mana saja dan kapan saja. Akhirnya perjalanan pulang malam itu juga penuh dengan untaian kata-kata yang membangkitkan semangat keimanan.

Saya bersyukur diajak ikut silaturahmi pada hari itu. Banyak sekali hikmah dan kebaikan yang saya dapatkan. Mengenal dan dekat dengan orang-orang soleh memang selalu memberikan nilai dan kesan yang baik dan positif dalam diri kita. Melihat wajah mereka saja mampu membangkitkan semangat beramal. Mendengarkan kata-kata mereka mampu melecut diri untuk lebih giat dalam ketaatan.

NB:

Silaturahmi dalam cerita di atas kami lakukan sekali dalam sepekan, setiap hari Senin, bakda shalat maghrib, dalam rangka saling mempererat ikatan ukhuwah islamiyah diantara kaum muslimin dan juga sebagai sarana saling mengingatkan pada kebaikan.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Ada sedikit penambahan yang penulis masukkan untuk menjadikan cerita lebih mengalir dan enak dibaca. Semoga ada pelajaran yang bisa dipetik, insya Allah.

Salam ukhuwah,

[email protected]