Karena Aku Sangat Mencintaimu

Istriku,
Terus terang, aku terhenyak atas permintaanmu tadi sore. Sebuah judul engkau sodorkan kedepanku dengan seonggok senyum khasmu. "Mas , coba buat tulisan dengan judul: Karena Aku Sangat Mencintaimu". Judul itu bagiku bukan sekedar judul sebuah tulisan, tetapi tersirat sebuah harapan dan keinginan kokohmu untuk senantiasa berada disampingku, apapun kondisinya.

Dari raut muka dan senyummu aku tahu, engkau tidak mengada–ada terhadap kalimat yang engkau ucapkan walaupun engkau samarkan dengan memintaku membuat tulisan dengan judul usulanmu. Engkau ucapkan itu dengan ketulusan dan kesadaran jiwamu. Bukan sebuah tamparan bagiku Insya Allah, tapi harapanmu yang begitu besar kepada Allah agar rumah tangga yang sudah kita arungi bersama 16 tahun ini tetap dalam bingkai rahmat-Nya. Dan Alhamdulillah rasanya karunia Allah itu mengalir terus di kehidupan kita. Dan semakin hari semakin kita semakin hanyut dalam kasih sayang Allah.

Aku masih ingat beberapa waktu yang lalu engkau pernah menceritakan salah satu do’amu yang mungkin agak membingungkan bagi sebagian orang. Ternyata engkau sering berdo’a kalau Allah menghendaki memanggil duluan salah satu dari kita ke hadirat-Nya, engkau kepingin sekali disamping diberikan khusnul khotimah juga rentang waktu untuk pemanggilan yang kedua tidak jauh waktunya dari yang pertama. Saat itu aku hanya tersenyum mendengarnya. Tersenyum karena engkau mempunyai harapan besar kepada Yang Maha Besar, yang karunia-Nya teramat luas untuk kita ukur dan kita hitung.

Istriku,
Karena akupun tidak tahu kapan malaikat Izrail diutus pemilik kehidupan ini untuk memanggil hamba-Nya, akupun hanya bisa berdo’a agar doamu dikabulkan Allah SWT. Aku hanya tahu Allah melalui utusan sudah mengirimkan "tanda mata" berupa beberapa helai rambut kita yang sudah mulai tidak hitam lagi. Disamping juga umur yang semakin hari semakin mendekati umur yang diberikan Allah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Karena panggilan itu mesti datang dan tanpa bisa ditunda sedikitpun dan kita mesti siap menjemputnya setiap saat. Dan mudah-mudahan Allah memberikan jalan yang mudah untuk kita melaluinya. Jalan yang mengantarkan kita ke dalam naungan Rahmat-Nya.

Aku sering teringat anak–anak santri di musholla depan rumah kita yang dengan kepolosannya melantunkan syair/pujian dengan bahasa jawa:

Poro sederek kulo sedoyo, jaler estri enom lan tuwo, Mumpung urip no alam dunyo, saben waktu podo ilingo.

(Saudara–saudara semuanya, laki–laki, perempuan, tua, muda, mumpung masih hidup di dunia, setiap saat harus ingat)

Ngelingono yen ono timbalan timbalane ra keno wakilan, Timbalane kang Moho Kuoso gelem ora bakale lungo.

(Ingatlah akan ada panggilan untukmu dari Yang Maha Kuasa dan tidak bisa diwakilkan)

Yen lungane ora dinyono, sugih miskin bakale mrono, Dunyo brono ditinggalno, sing digowo amal ing dunyo

(Waktunya tidak bisa diperkirakan, kaya miskin sama. Semua harta bakal ditinggal, hanya amal sholeh yang dibawa)

Disalini penganggo putih yen wis budal ora biso mulih, Tumpakane kereta jawa roda papat rupa manungsa.

(Pakiannya diganti dengan kafan putih, kalau sudah berangkat tidak mungkin kembali, diantar kereta tapi rodannya manusia)

Jujukane omah guwo tanpo bantal tanpo keloso, Yen omahe gak ono lawange turu dewe gak ono rewange.

(Namanya alam kubur yang tidak mengenal bantal dan tikar, tidak ada pintu keluar, disana sendirian tidak berteman)

Ditutupi anjang-anjang, diuruki den siram kembang, Tanggo dulur podo sambang podo nangis koyo wong nembang.

(Kemudian kubur itu ditutup dan diurug dengan tanah, atasnya disiram kembang, sedangkan tetangga dan saudara yang hadir menagis sedih)

Baru sampai disitu rasanya hampir lepas raga ini. Teringat betapa alam yang akan kita tuju berikutnya adalah alam yang menjadi tanda apakah kita termasuk orang yang beruntung dengan predikat khusnul khotimah, atau justru su’ul khotimah ? Saat menulis inipun air mataku tak terbendung, ingat akan hari yang pasti akan datang kepada kita sementara kita tidak pernah tahu apakah bekal kita cukup atau tidak untuk menuju kesana.

Satu hal yang selalu aku yakini Allah tidak pernah ingkar janji untuk mengampuni hamba-Nya yang mau tobat, begitu juga rahmat-Nya. Karena titik finish kehidupan kita di dunia ini kita tidak pernah tahu, makanya aku sering bilang: "Kalau ada orang yang secara syar’i jauh dari tuntunan perlakukanlah secara wajar. Tidak perlu kita benci, apalagi kita jauhi. Justru dekatilah. Karena ibarat orang lari marathon kita tidak tahu diakah yang sampai duluan, bagaimana sampainya, sehat dan selamatkah dia dan seperti apa kita sebagai peserta yang lainnya?"

Aku juga sering membayangkan ketika tinggal ruhku yang bisa melihat jasad kaku yang sedang dipangku dan dimandikan oleh istri dan keluargaku, mereka semua pada sedih sementara perkataanku tidak bisa lagi didengarnya. Aku hanya bisa memandangi wajah mereka satu persatu, memohon pamit untuk menuju tempat persinggahan kehidupanku berikutnya sebelum dibangkitkan kelak di padang Makhsyar. Menuju tempat yang aku sendiri tidak tahu siapakah yang menemaniku, apakah amal baikku ataukah justru amal jelekku ? Ya Allah … mudahkanlah urusan alam barzah kami.

Istriku,
Salah satu kehebatan dan kelebihan yang diberikan Allah kepada kaum hawa adalah kesetiaan pada pasangan hidupnya. Aku tahu itu dan Insya Allah engkau termasuk didalamnya. Sehingga kadang–kadang perempuan seolah–olah sudah mengalami kiamat pada saat suaminya di panggil Allah. Padahal kehidupan harus tetap kita jalani apapun kondisinya sampai kita juga menerima panggilan-Nya. Bukan berarti Allah tidak sayang kepada kita pada saat sang suami dipanggil duluan. Justru Allah masih memberikan waktu bagi kita untuk menambah banyaknya bekal yang akan kita bawa kelak. Tempatkanlah kecintaanmu kepada suami dan keluargamu tetap berada di bawah kecintaanmu kepada Allah dan Rasul-Nya. Kasih sayang Allah jauh melebihi cinta dan kasih sayang makhluk apapun di dunia ini. Siapapun yang duluan dipanggilnya pada hakekatnya menuju kepada Sang Maha Rahman dan Rahim. Yang cinta dan kasih sayangnya tidak perlu disangsikan lagi.

Siapapun di dunia ini termasuk aku tentunya kepingin keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah itu tidak hanya berlangsung di dunia, tetapi berlanjut ke akherat kelak, Insya Allah. Karena alam akherat adalah kekal maka sudah semestinya kita mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya. Satu hal yang mungkin agak berbeda karena memang fitrahnya berbeda adalah keinginanmu agar kalau Allah memanggil salah satu dari kita, sebaiknya kita lanjutkan kehidupan tanpa orang lain di sisi kita. Aku tidak bisa menjawabnya, karena itu domain-Nya Allah. Rasullullah SAW setelah istri pertamanya meninggal barulah beliau menikah lagi. Itulah takdir Allah. Bahkan kalau boleh aku mengusulkan justru seandainya Allah memanggil salah satu dari kita, setelah masa idah tentunya silahkan lakukan sholat, mintalah petunjuk kepada Allah, apakah perlu kita lanjutkan kehidupan ini dengan orang lain, ataukah kita cukup bersendirian karena umur kita yang juga sudah tidak lagi muda.

Bisa jadi kehidupan berikutnya akan menjadi berkah tersendiri ketika kita tetap bersendirian atau bisa juga dengan hadirnya orang yang ditakdirkan Allah untuk mendampingi kita menjadikan bekal akhirat kita juga semakin banyak. Wallahu a’lam. Yang jelas serahkan sepenuhnya kepada kemurahan dan keadilan Allah. Karena kita semua hidup dalam bingkai takdirnya.

Sekali lagi yang ini aku tidak bisa menjawab karena aku tidak pernah tahu takdirku. Hanya aku ikuti maunya Allah saja. Walaupun aku tahu maksud judul yang engkau sodorkan kepadaku, tapi aku juga ingin mengatakan: "hal yang sama…" Wallahu a’lam. Ya Allah … berkahilah kehidupan kami di dunia, di alam barzah dan di akherat kelak.