Mampu Berhaji Tetapi Merasa Belum Terpanggil

Saya, anak sulung dari 4 bersaudara. Ayah ibu masih lengkap, tetapi sejak kecil kami dipisahkan karena keterbatasan ekonomi orang tua, kami dititipkan pada Pakde dan Bude/kakak ibu yang kebetulan hanya dikaruniai 1 orang putra dan ekonomi mereka cukup mapan.

Meski demikian pakde, bude dan kakak sepupu sangat baik dan sayang pada kami. Bahkan sampai saat ini pun setelah saya menikah, lepas dari orang tua dan mampu berdiri sendiri, saya masih merasa bahwa orang tua saya tidak hanya 1 ayah dan ibu saya, tapi 2 pasang dengan pakde dan bude, 3 ditambah mertua.

Ketika berembuk soal rencana pernikahan saya dengan seorang pria teman kuliah saya pun, bukan hanya ayah dan ibu kandung saja yang saya ajak bicara tetapi pakde dan bude juga ikut saya libatkan.

Beberapa tahun lalu, kakak sepupu saya mengalami kecelakaan kerja yang menyebabkan ia berpulang ke Rahmatullah. Itu terjadi 1 bulan sebelum hari pernikahannya dengan seorang wanita, adik angkatannya.

Kepergian putra semata wayang membuat mereka kehilangan harapan dan semangat, apalagi setelah pakde pensiun sebagai PNS di sebuah Departemen, kehidupan ekonomi mereka semakin menurun, bahkan usaha taksi yang mereka rintis sejak puluhan tahun lalu terancam gulung tikar.

Sebulan yang lalu, bude menelepon saya, beliau mengutarakan maksudnya untuk pergi berhaji mumpung masih diberi umur, beliau agak menyesal juga tidak pergi berhaji sejak dahulu ketika kondisi finansial mereka masih baik, dahulu sudah pernah diingatkan oleh almarhum kakak sepupu saya tetapi jawaban pakde waktu itu belum merasa terpanggil.

Pakde telah menjual usaha taksinya, tetapi uangnya belum cukup untuk biaya haji berdua. Beliau masih mempunyai sebidang tanah seluas 300 m2 dan sebuah rumah tipe 21 kopel untuk dijual selain rumah yang di tempati sekarang.

Sudah hampir 3 tahun mereka berusaha menawarkan rumah dan tanah itu tetapi sampai saat ini belum laku juga. Beliau minta tolong kepada saya agar sudi membeli salah satu dari tanah atau rumah itu, tentu dengan harga yang sangat miring.

Sebenarnya saya kasihan pada pakde bude, dan untuk membeli salah satu dari tanah atau rumah itu, suami saya sangat mampu, tetapi ketika saya berusaha menjelaskan kepada suami, suami saya tidak setuju dengan alasan tidak cocok pada lokasinya. Saya sendiri sebenarnya bukan memikirkan lokasi tapi lebih condong pada keinginan untuk membantu pakde dan bude.

Selain itu, dengan cara menceritakan permasalahan pakde dan bude pada suami, saya berharap suami terbuka pula hatinya untuk segera menunaikan haji mumpung masih diberi kelapangan oleh Allah. Namun suami mengatakan belum merasa terpanggil.

Apakah benar demikian adanya? Benarkah orang2 yang pergi berhaji itu harus merasa dipanggil Allah? Lalu apa ciri2nya orang terpanggil itu? Apakah harus menunggu seperti pakde dan bude saya yang merasa sudah kehilangan harapan karena ditinggal oleh putra semata wayang yang jadi tumpuan masa depan? Atau sudah merasa ajal akan menjemput tubuh yang renta baru terpanggil? Atau sudah hampir bangkrut baru terpanggil untuk berangkat haji?