Kematian Itu Pasti Datang

Aku masih ingat pantai yang indah, menjelang senja, dan terus menikmatinya. Pinggiran pantai yang diterpa deburan ombak laut Selatan, yang tinggi, terkadang membuat aku takut.

Tapi, entah mengapa setiap sore hari menjelang terbenamnya matahari (sunset), aku selalu berada di pinggir pantai itu. Aku melamunkan kehidupanku, yang sejak beberapa tahun ini, tinggal di sebuah kepulauan, yaitu Mentawai.

Rumahku tak begitu jauh dari pantai. Terkadang malam hari, terdengar suara ombak, dan bahkan aku dan adik-adikku sempat terbangun, karena mendengar kerasnya deburan ombak, yang menghempas tepian, yang tak jauh dari rumahku.

Kemudian semuanya menjadi biasa, tak pernah lagi kaget saat mendengar kerasnya suara ombak. Kota kecil yang ada dipinggir pantai itu, selalu menjadi teka-teki bagiku. Entah berapa lama aku akan tinggal di tempat ini? Selamanya kah aku akan tinggal di tempat ini? Mungkin juga pergi dari tempat ini. Semuanya tak ada yang tahu. Perjalanan kehidupan itu, tak pernah ada yang tahu, dan bagaimana kesudahannya.

Senja hari yang disertai hujan yang rintik itu, aku berlari-lari bersama-sama dengan adik-adikku, menikmati rintik hujan, dan gemuruhnya ombak, serta melihat burung-burung, yang mencari makan ikan laut. Burung-burung itu dapat menangkap ikan kecil-kecil yang terombang-ambingkan oleh ombak, dan kemudian mereka terbang dan pergi.

Setiap sore hari aku memperhatikan burung-burung itu, berkelompok-kelompok, dan saling berterbangan diantara ombak, yang kadang-kadang tinggi. Tapi burung-burung itu, tetap saja dapat menangkap ikan. Betapa ini pelajaran yang berharga bagi kehidupanku. Tak ada makhluk yang tidak mendapatkan rezeki.

Aku dan keluarga meninggalkan tanah kelahiranku di sebuah kota di Aceh, dan sebelum ke Mentawai, singgah di sebuah kota di Sumatera Barat. Panjang rasanya perjalanan kehidupanku ini. Menelusuri relung-relung kehidupan, dan kini aku dan keluargaku berada di Mentawai.

Perlahan-lahan kehidupan keluargaku mulai berbentuk. Ayah dan ibuku mendapatkan sebuah pekerjaan, dari sebuah usaha yang akhirnya dapat menghidupiku dan juga adik-adikku. Kota yang mula-mula sangat asing bagiku, kini aku dapat menikmatinya dengan kegembiraan.

Aku mulai akrab dengan lingkunganku. Bergaul dengan orang-orang yang dahulu masih asing denganku. Perlahan-lahan mereka, sekarang menjadi karibku. Sungguh sebuah kehidupan yang nyaman, kehidupan pantai, berteman, bermain, dan kadang-kadang pergi bersama-sama. Hampir semuanya menjadi sempurna. Karena aku mempunyai banyak teman, selain adik-adikku, yang menjadi tempat aku menumpahkan perasaan kasihku.

Entahlah kehidupan ini. Segala yang mesti terjadi akan terjadi. Manusia dari tidak ada menjadi ada,dan sebaliknya, manusia dari ada menjadi tidak ada. Begitulah keyakinan akan takdir baik dan buruk, yang pasti akan bakal terjadi. Semuanya itu menyebabkan aku pupus, sekalipun, aku tidak menjadi putus asa, ketika peristiwa itu terjadi.

Peristiwa yang sebenarnya, tak pernah aku bayangkan,dan mungkin tidak banyak mepahami,yaitu ketika terjadi gempa dan tsunami, yang sangat dahsyat. Laut yang nampak indah, menakjubkan, dan banyaknya burung-burung, yang berterbangan mencari ikan laut itu, dan aku selalu menikmatinya setiap senja hari, tiba-tiba berubah menjadi sebuah prahara, yang meluluh-lantakkan, tempat yang sudah aku huni bersama keluargaku itu.

Ketika itu, aku hanya dapat melihat sisa bangunan dan tempat tinggalku, yang sudah luluh, dan sirna oleh air laut. Sedihku, bukan karena tempat tinggalku yang punah, diterjang air laut, tetapi aku juga kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku, ayahku dan adikku, sirna bersama dengan air laut, yang sampai saat aku meninggalkan kota itu, tak pernah lagi aku dapat menjumpainya. Kematian ayahku dan adikku, membuat keluargaku menjadi sangat sedih.

Ibuku yang sudah letih dengan kehidupan ini, tetap menjalani dengan tabah. Ibuku menunjukkan sifatnya yang sabar, tabah, dan teguh, dan menunjukkan jiwanya yang kuat,dan membuatku menjadi optimis melihat kehidupan ini. Sekalipun tetap tidak mudah melupakan orang-orang yang aku kasihi itu, yang sudah pergi. Ayahku dan adikku.

Sampai di ujung senja di sebuah dipan yang tua, aku dan adikku, serta ibuku, duduk sambil tetap menikmati temaram senja, walau hanya melihat sisa-sisa puing reruntuhan bangunan dan kehidupan.

“Myrna, ibu mengusulkan, bagaimana kalau kita pindah ke Bukittinggi, dan di sana masih ada keluarga, dan kita mulai kehidupan baru”, ucap ibunya. Gadis itu, tak menjawab, matanya hanya berkaca-kaca, sambil melihat temaramnya langit, yang sudah masuk senja. “Kalau itu menjadi pilihan yang terbaik, aku akan mengkikuti ibu”, sahut Myrna.

Hanya dengan berberkal seadanya, ibu yang disertai anak gadis dan anak lelakinya itu, di pagi hari menaiki kapal, yang akan membawanya ke pantai pelabuhan kota Padang.

Menjelang malam, kapal yang sudah mengarungi laut, yang membawa ibu dan anak-anaknya itu, sampai dan berlabuh di pelabuhan Teluk Bayur, dan merapat. Dari kapal kota Padang berkilau. Lampu-lampu nampak dari atas kapal, berpendaran, menghiasi kota Padang. Indah.

Aku belum pernah menginjakkan kakiku di kota itu. Perlahan-lahan aku, adikku dan ibuku meninggalkan kapal, yang telah membawaku meninggalkan Mentawai. Meninggalkan adiku, dan ayahku, yang tak akan pernah bertemu lagi selama-lamanya. Mentawai telah memisahkanku dengan ayahku dan adikku, akibat tsunami.

Ketika malam, tak ada lagi kendaraan yang akan berangkat ke Bukittinggi. Terpaksa aku, adikku, dan ibuku menginap di sebuah hotel yang sangat sederhana di kota Padang. Sekadar untuk menunggu pagi hari, dan melepaskan lelah, sesudah berada di kapal, selama perjalanan, dan terasa diombang-ambingkan ombak, yang membuat tak nyaman di dalam kapal itu. “Myrna cepatlah tidur, kita pagi-pagi harus berangkat, dan jangan terlalu siang”, ucap ibunya.

Pagi itu hujan mengguyur kota Padang, suara halilintar bersahutan, kabut menyelimuti pagi hari. Tak terasa aku sudah berada di kota Padang, yang jauh dari tempat tinggalku yang dulu. Lamunanku tak hilang-hilang, mengingat kota mentawai, dan pantainya yang indah di kala senja.

Ibuku dan aku serta adikku bergegas menuju terminal kota Padang, dan bus yang aku tumpangi itu, mengantarkanku ke kota diatas bukit yang indah, Bukittinggi. Berjalan perlahan-lahan, sambil melihat jam ‘gadang’, yang semakin tua, dan masih nampak anggun, yag dibelakangnya ada sebuah hotel.

Orang-orang berlalu lalang menikmati indahnya kota Bukittinggi. Ramai sekali orang yang berjualan. Pasar Bukittinggi terasa penuh orang yang berjualan, dan para pembeli menikmati, masakan kapau, yang aku sendiri tak begitu suka, karena terlalu pedas.

“Anakku, Myrna, ayolah kita pergi ke rumah paman yang ada di bukit, dan sedikit lagi, kita akan istirahat”, ucapnya. Lalu, aku, adikku, mengikuti ibuku yang menuju sebuah dusun, yang tak jauh dari kota. Aku bertiga menggunakan delman,menyisiri kampung, yang disela-selanya sungai kecil, yang airnya jernih, dan nampak mengalir deras.

Menjelang magrib aku sampai disebuah kampung, yang berada di pinggiran kota Bukittinggi, dan nampak Gunung Merapi, yang anggun, dan sedang tidur lelap diselimuti kabut. Mataku tak berkedip menyaksikan lukisan yang agung, dan mulai sebuah kehidupan yang baru. Sebuah kehidupan baru, yang aku nikmati bersama dengan adikku, serta ibuku, dan berada dilingkungan pamanku. Sungguh aku menyukai kehidupan yang baru ini.

Jika ketika aku masih berada di Mentawai aku selalu menikmati senja di pantai, melihat gelombang, dan arak-arakan burung yang mencari ikan, kini aku melihat gunung Merapi dari kejauhan, yang terus diselimuti kabut, dan hanya sesekali nampak puncaknya, setelah matahari yang disiang hari. Tapi, itu hanyalah sebentar. Lagi-lagi kabut menyelimutinya. Aku hanya bisa menatapi bayang-bayang kabut, yang terus bergerak, di senja hari, menjelang malam.

Saat aku sedang menikmati tidur malam, dan aku tak tahan menahan kantukku, dan sehari aku membantu ibuku, yang membersihkan rumah paman, di saat itu, aku merasakan gerakan yang kuat, tempat tidurku bergerak, dan aku mendengar suara yang amat keras, dan rumah pamanku, gentengnya berjatuhan, dan temboknya, pecah, dan kemudian, dindingnya roboh.

Aku bangkit, meninggalkan tempat tidurnya, di tengah-tengah goncangan itu, semakin keras. Sampai sebagian rumah pamanku itu luruh, dan pagi hari aku melihat rumah itu, sudah rata. Tapi, aku masih bersyukur, karena aku, adikku, ibuku, dan keluarga pamanku selamat, meski rumah yang aku tempat itu roboh. Ternyata, gempa yang semalam, dan berkekuatan 6,7 skala richter itu, membuat pamanku kehilangan rumah.

“Myrna, ibu akan kembali ke kota Padang, mungkin akan menetap di sana”, ucap ibunya. “Mengapa harus kembali ke Padang”, tanya Myrna. “Kita harus mulai hidup baru lagi, dan jangan memberatkan paman, yang sudah terkena musibah ini”, tukar ibunya. “Baik ibu”, ucap Myrna perlahan.

Hanya kurang dari tiga bulan, Myrna, adik, serta ibunya meninggalkan kota Bukittingi, dan rasanya baru saja menikmati kota yang sejuk itu. Ironi. Sungguh, keluarga Myrna harus meninggalkan pamannya, yang sudah kehilangan rumah. Tapi, mereka tak ingin memberatkan paman dan bibinya, yang terkena musibah itu. Keluarga kecil itu dengan berat hati, membuat pilihan pergi, dan meninggalkan keindahan dan duka yang dialami di kota Bukittinggi itu.

Bagaikan hidup dalam sebuah khayalan, yang tak pernah berhenti, dan terus menyelimuti kehidupan, dan terus bertemu satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Dari kota Mentawai ke Bukittingi, dan kini harus kembali ke kota Padang.

Kota Padang terasa terik. Matahari menyengat. Selalu terasa gerah. Udara pantai, yang berada di khatulistiwa itu, ikut membawa nuansa kehidupan, yang terasa amat keras.

Myrna, adik, dan ibunya, kini berada di sebuah rumah, kecil di pinggiran pantai, yang memang masih milik keluarganya. Rumah itu didapatkan dari alamat yang diberikan oleh pamannya, sebelum meninggalkan kota Bukittingi.

Keluarga kecil itu, mulai menyesuaikan diri, dan mengarungi kehidupan dengan penuh kesabaran. Seperti rasanya cobaan itu, tak pernah henti-henti, bagi keluarga kecil itu. Sejak kehilangan ayah, dan adiknya, terasa Myrna, terkadang pikirannya menggelayut kembali ke masa lalu, di mana mereka masih bersama-sama dan dapat menikmati kehidupan.

Suatu sore Myrna, dan ibunya, mendapatkan kabar, bahwa seorang bibinya, yang kini tinggal di Singapura akan datang ke kota Padang. Bibinya akan menggunakan pesawat Garuda yang berangkat sore hari. Keluarga Myrna itu sudah mendapatkan kepastian, dan akan bertemu di sebuah hotel, yang megah di kota Padang, hotel Abacang.

Bibinya, yang kini berada di Singapura itu, terkenal keluarga yang sangat kaya, dan kekayaannya sangat luar biasa. Bibinya yang rencananya akan datang ke kota Padang, kini tinggal di Singapora itu, memiliki tujuh rumah di kota itu.

Sudah enam rumahnya yang dijual, karena merasa tidak nyaman lagi tinggal di Padang. Bibinya sudah membaca dan mendapat informasi yang dipercayainya, bahwa suatu saat kota Padang akan terkena bencana yang dahsyat gempa dan tsunami. Karena itu, keluarga bibinya itu meninggalkan kota Padang, dan kini menentap di Singapora.

Anak-anak bibiknya ada yang tinggal di Jakarta, dan sebagian tinggal, di Singapura dan ada pula yang menetap di Amerika. Kedatangan bibinya sore itu ke kota Padang, tak lain, ingin menjual rumah, yang tinggal satu-satunya, dan sudah yang membeli, dan menyepakati dengan harga Rp 1.3 milyar.

“Myrna, ibu akan bertemu dengan bibi di hotel Abacang, dan akan menginap di hotel, menyertai bibi, dan sambil melepas rindu”, ucap ibunya. “Lalu, Myrna dengan siapa di rumah?”, tukar Myrna. “Engkau bersama adikmu, dan jagalah dia baik-baik. Ibu besok pagi akan kembali”, jawab ibunya. “Cepat kembali Bu, Myrna takut hanya sendirian bersama adik”, tambah Myrna. Sambil mengantarkan ibunya ke depan pintu.

Di rumah yang terletak tak jauh dari pantai itu, Myrna dengan adiknya, hanya berdua, dan sepertinya tak dapat tidur, karena diselumiti rasa takut. “Mudah-mudahan besok pagi ibu, segera pulang, dan kita dapat bertemu ibu lagi”, ujar Myrna kepada ibunya.

Baru usai bicara, Myrna dan adiknya, merasakan sebuah goncangan yang keras, dan diluar orang-orang berlarian, dan meninggalkan rumah, mereka panik, dan banyak rumah-rumah yang sudah roboh, dan hancur. Malam menjadi gelap, dan tak nampak apa-apa. Myrna, mengajak adiknya, berlindung, di bawah tempat bangunan disamping rumanya, yang masih utuh, dan sampai pagi hari.

Ketika, matahari sudah mulai nampak, kota Padang porak-poranda, bangunan luluh-lantak, dan semuanya bersarakan. Ibunya yang pergi di sore hari menemui bibinya, di hotel Abacang, tak kembali, sampai sore hari.

Myrna, mencari tahu kepada orang-orang yang lalu lalang itu, dan mereka mengatakan, bahwa hotel Abacang, tempat menginap ibu dan bibinya itu telah rata dengan tanah. Ibu dan bibinya terkubur di reruntuhan hotel itu.

Di sore har itu, Myrna hanya duduk sambil memeluk adiknya. Airmatanya tak henti-henti. Kini, Myrna dan adiknya menjadi yatim piatu. Ibunya dan bibinya telah pergi selama-lamanya. Bibinya, yang ingin menghindari kematian, kenyataan, justru mendatangi kematian.

Sungguh, ketika kematian datang tak ada yang dapat menolak. Siapapun juga.

Myrna dan adiknya, hanya dapat memandangi air laut, di pantai kota Padang, yang bergelombang, dan jasad ibunya dan bibinya, ditemukan, sudah dalam keadaan meninggal, menjelang senja.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

(Myrna adalah bukan nama sebenarnya-maaf)