Mati Rasa

Bunda, pernahkah Anda mati rasa? Hmmm… beberapa waktu ke belakang, ternyata penyakit itulah yang menghinggapi saya. Ya! Saya baru menyadarinya tadi siang, selepas membaca catatan hati seorang kawan yang kini tinggal di Tokyo.

Mati rasa ini bukanlah mati rasa biasa. Tidak berhubungan dengan kesemutan yang biasa menjangkiti kaki yang tertindih… pun tidak pada semua anggota badan saya. Secara fisik, Alhamdulillah, saya sehat-sehat saja! Tapi mati rasa itu ada di sini. Di hati saya. Di kalbu dan jiwa seorang Ibu, dengan dua putra. Owh! Gawat bukan?

Lantas saya pun merunut waktu. Mengingat apa saja yang telah terjadi hingga saya seperti ini. Ternyata jawabannya cuma satu. Rutinitas! Benar sekali. Melakukan sekian banyak hal secara rutin, terus menerus, serta senantiasa berdekatan dengan anak-anak, bukannya membuat hati ini semakin lembut dan terasah. Sebaliknya, saya merasa biasa-biasa saja. Menganggap tidak ada yang istimewa. Saya merasa, kedua bocah saya aman terkendali. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena saya, orang yang paling mereka butuhkan, selalu hadir dan dekat bersama mereka.

Kondisi ini telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Hampir tiga tahun lalu saat saya masih berkarir di luar rumah, setiap dalam perjalanan menuju kantor, untaian Al Fatihah selalu saya kirimkan untuk putra saya. Juga untuk pengasuhnya. Saya berharap agar keduanya baik-baik saja selama saya jauh dari mereka. Saya berdoa setiap setiap mengingat mereka, agar Allah berkenan untuk selalu menjaganya. Menjauhkan mereka dari segala marabahaya. Memberikan hati yang lembut dan penuh kasih sayang kepada pengasuhnya. Juga agar sang pengasuh menjaga amanah yang saya berikan kepadanya, hingga dua buah hati tercukupi keperluannya. Dulu, setiap menjelang pulang kantor, atau ketika saya lembur hingga larut, surat-surat dan doa yang ma’tsur selalu saya panjatkan untuk mereka. Al Fatihah, Al Ikhlas, An Nas, Al Falaq, Ayat Kursi dan doa-doa penjaga menjadi dzikir khusus buat para jundi. Bersama rasa khawatir, khas seorang Bunda, serta mata yang berkaca-kaca, saya berharap penuh pada Sang Maha Waspada untuk menjaga buah hati yang jauh di mata. Saya hentikan sejenak pekerjaan, se-emergency apapun itu, demi doa untuk mereka.

Tapi kebiasaan itu terkikis tiba-tiba, (bukan sedikit demi sedikit!) ketika saya memutuskan untuk resign. Ternyata, kedekatan fisik membuat saya merasa aman. Sedangkan rasa aman membuat jiwa saya terlena. Saya menganggap bahwa saya bisa menjaga anak-anak saya. Saya tak lagi menangis untuk mereka, kecuali dalam doa selepas sholat. Melihat mereka setiap waktu membuat saya lupa, bahwa saya juga memerlukan Allah, tidak berbeda dengan pengasuh anak-anak saya. Maka saya pun tak pernah lagi mengirim al Fatihah untuk mereka setiap pagi. Dzikir menjelang malam pun lewat begitu saja. Astaghfirullahal adziim…
Maafkanlah hamba Ya Allah. Pantas saja, hati ini mati rasa. Tak lagi ada kerinduan pada dua bocah saya. Seperti catatan kawan hamba, tak ada lagi keindahan ketika mengasuh mereka. Tak lagi seperti dulu, kini jarang sekali bibir ini bernyanyi untuk si buah hati. Bahkan membacakan buku cerita, hamba serahkan kepada si sulung, tanpa alasan apapun! Astaghfirullah… betapa besar kesalahan yang hamba lakukan selama ini. Tak hanya sehari hamba abaikan hati anak-anak hamba. Tapi berhari-hari… berbulan-bulan! Rabbana, meski terlambat, ijinkanlah hamba kembali merasakan rindu itu. Menikmati kekhawatiran yang indah ketika mengingat pandang mata polos para bocah hamba. Dan berikanlah cahaya kasih sayangMu yang tiada bertepi, agar hamba pun selalu bisa mengalirkannya untuk kedua putra hamba.

Jangan biarkan hati ini terus menerus mati rasa, dan akhirnya mengeras. Naudzubillahi min dzalik…
Allahku, ridhoilah azzamku, untuk dapat memenuhi hak-hak putra-putraku, aamiiin…

***
Malam semakin larut. Bismillah, saya memulainya lagi. Baru saja saya selesaikan bacaan doa-doa untuk kedua pujaan hati yang sedang tertidur pulas. Duh Gusti, mengapa baru sekarang hamba merasakan lagi, betapa damainya wajah polos anak-anakku? Semoga Engkau mengampuni dosa dan khilafku ini, dan berkenan untuk senantiasa mencurahkan kasih sayangMu pada dua buah hatiku. Jagalah mereka selalu, Rabb… meski aku berada di samping mereka, aamiiin.

To my lovely kids: sleep tight, Honey…