Melayani Lebih Baik dengan Memimpin Mereka

Maraknya kaum muslimin yang menyelenggarakan penyembelihan dan pembagian hewan kurban di berbagai sudut kota di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi di hari Idul Adha baru-baru ini, seharusnya membuat banyak warga merasa bersyukur bahwa masih banyak kalangan berada di sekitar mereka yang mau berbagi sehingga mereka masih bisa menikmati daging hewan kurban dengan jumlah yang cukup memadai.

Namun agaknya, ada sebagian kecil orang yang justru menjadi tamak di hari yang seharusnya empati dan kepedulian sosial dikedepankan itu. Siapa mereka? Yakni yang merasa tidak cukup puas dengan menerima satu kupon daging hewan kurban dari satu tempat sehingga mereka selalu berusaha mencari kupon lain sebanyak yang ia bisa, walau dengan berbohong atau menghiba-hiba.

Awalnya boleh jadi mereka tidak memiliki niat seperti itu. Namun banyaknya tempat pembagian daging kurban di sekitar mereka, dimana masing-masing pihak dari tempat pembagian itu tidak memiliki koordinasi dalam masalah distribusi dan crosscheck penerima manfaat, ditambah stok daging kurban di beberapa tempat yang melimpah, cukup memberi peluang bagi mereka untuk mendapatkan lebih dari satu kupon itu atau melebihi dari jumlah yang dibutuhkan oleh keluarganya.

Dalam penyelenggaraan acara pemotongan hewan kurban kemarin, saya menyaksikan dengan jelas gejala-gejala tidak baik akan tumbuhnya sifat-sifat ketamakan yang semestinya tidak perlu ada di hati-hati mereka yang sudah papa itu. Kadang saya menjadi miris, kenapa hanya gara-gara beberapa kerat daging hewan kurban mereka menjadi hilang sensitifas dan kepedulian kepada saudara yang lain? Andai mereka tahu, bahwa masih banyak dari kaum papa seperti mereka yang menjaga diri dari meminta-minta kupon daging hewan kurban meski mereka juga membutuhkan, tentu mereka akan lebih menjaga sikapnya yang tidak fair itu. Andai mereka mau berkaca, bahwa masih banyak dari kaum papa seperti mereka di daerah-daerah tertentu yang harus berdesak-desakan menantang maut demi mendapatkan beberapa kerat daging yang beratnya tidak sebesar yang mereka terima, mereka tentu akan cukup puas dengan pemberian yang mereka terima. Mereka tentu akan lebih banyak tersenyum karena merasa bersyukur, bukan cemberut karena dengki melihat orang lain menerima lebih dari satu kupon, lain dengan dirinya yang hanya satu kupon saja.

Sungguh menyedihkan sekiranya mereka tidak begitu memperdulikan hal itu. Sungguh memiriskan sekiranya himpitan dan beban kehidupan yang berat tidak menjadikan mereka sabar, namun justru menjadikan mereka apatis, tidak peduli, egois dan lebih mengedepankan aji mumpung untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Naudzubillah.

Tidakkah mereka menyadari bahwa saudara mereka saat ini di Gaza, menjalani Idul Adha dengan penuh kesuraman. Blokade total yang dilakukan Israel terhadap jalur Gaza, membuat warga Gaza tidak mampu lagi membeli hewan kurban. Warga Gaza yang biasanya membutuhkan 80.000 hewan kurban untuk Idul Adha, tahun ini hanya tersedia sekitar 10.000 ekor. Artinya mereka harus bertahan dengan pasokan 1/8 dari kebutuhan daging hewan kurban. Itu di hari Idul Adha yang merupakan hari kebahagiaan bagi ummat Islam. Bagaimana dengan hari-hari di luar Idul Adha? Saya hanya bisa membayangkan kondisi mereka tentu akan jauh lebih suram karena pasokan kebutuhan yang sangat amat terbatas.

Saya mendapat pelajaran berharga bahwa ternyata himbauan-himbauan untuk senantiasa bersyukur, memberikan kepedulian kepada yang lain, yakin dengan jaminan rezeki dari Allah SWT, tidak saling mencurigai dan menanam kedengkian, dan himbauan kebaikan lainnya yang semata-mata himbauan, tidaklah cukup untuk menegakkan kema’rufan dan mencegah kemungkaran. Amar ma’ruf nahi mungkar akan lebih efektif jika dibingkai oleh sistem sosial yang mampu menjamin pemerataan dan keadilan.

Puluhan tahun kita memiliki perangkat sosial kemasyaratan yang terstruktur, dari level negara hingga level RT (Rukun Tetangga), namun data-data kependudukan yang update menyangkut peneriman manfaat yang tepat dan tidak tepat, tidak pernah kita dapatkan.

Tidak banyak perangkat RT yang memiliki data akurat mengenai berapakah dari warganya yang dikategorikan fakir/miskin dan berapa yang tidak, berapa yang bekerja dan berapa yang tidak, dan seterusnya. Data calon penerima manfaat tersebut (khususnya fakir miskin) adalah data yang sangat diperlukan oleh lembaga-lembaga sosial/LSM yang berkepentingan memberikan santunan dan mengupayakan pemberdayaan bagi sasaran yang tepat. Namun seringnya mereka harus bergerilya sendiri mendata penerima-penerima manfaat itu dari waktu ke waktu dan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Tidak ada data real time yang update, tersedia kapan saja, dan bisa diakses oleh siapa saja. Segalanya serba instan dan selalu harus dari awal. Maka tidaklah heran jika hampir dalam setiap kegiatan pembangunan non-fisik dari pemerintah, selalu ada kegiatan pendataan atau seleksi penerima manfaat. Jika dijumlah secara akumulatif dan aggregatif, biaya yang terbelanjakan untuk kegiatan yang semestinya tidak perlu berulang itu tentu amat sangat besar.

Akibatnya, kondisi tersebut membuka peluang bagi orang tertentu untuk menerima lebih dari satu manfaat. Contohnya pada pembagian kupon daging hewan kemarin itu, ada beberapa orang yang menerima hingga 5 kupon dari sumber pemberian kupon yang berbeda. Hal itu cukup menjadi bukti akan banyaknya tumpang tindihnya penerima manfaat kegiatan baik pada kegiatan pemerintah maupun kegiatan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Beruntung, dalam penyelenggaraan kegiatan pembagian daging kurban kemarin itu, kami berkoordinasi dengan eleman masyarakat (stakeholder) sebagai pengawas. Ketika ada beberapa orang diluar daftar yang meminta kupon daging hewan kurban, kami konfirmasikan apakah betul mereka belum menerima kupon dari tempat lain. Jika pun mereka menerima, apakah sebanding dengan anggota keluarga yang dimiliki. Ternyata, bekerjasama dengan eleman masyarakat yang mengetahui betul kondisi calon penerima manfaat itu sangat berguna untuk keakuratan dan keadilan pembagian daging hewan kurban dimana kita menebar kepedulian.

Meski ada sebagian mereka yang belum puas (terutama mereka yang terjangkit sifat negatif itu), kami merasa yakin telah menjalankan amanat secara benar dengan membagikan kepada penerima manfaat secara adil dan proporsional.

Yah, sampai kapan pun, kondisi seperti itu akan selalu muncul kecuali kita mampu memimpin mereka, menciptakan sistem pendataan yang akurat, update, real time dan bisa diakses kapan saja. Itulah bekal untuk melayani mereka lebih baik dan lebih baik. Proses edukasi pun bisa lahir dari sini, karena data penerima manfaat itu telah kita pegang dan sehingga kita bisa mengkontrolnya secara baik.

Wallahua’lam bishshawaab

[email protected]

muhammadrizqon.multiply.com