Melejitkan Potensi Kebaikan

Ini adalah kisah sahabat saya yang bekerja di kantor operator selular terbesar nomor tiga di Indonesia. Ketika ia diminta menceritakan pengalaman yang berkesan dalam hidupnya, ia menceritakan kisah ini. Saya yakin kisah ini dialami oleh banyak orang, termasuk oleh saya pribadi. Kisah ini menjadi menarik, karena sisi pandang yang berbeda dalam mengambil hikmah atas apa yang dialaminya. Taufik sahabat saya itu, mampu mengambil sisi hikmah positif yang patut menjadi bahan perenungan kita bersama.

Kisahnya, suatu ketika Taufik mendadak ditugaskan ke Surabaya oleh kantornya. Beberapa hari sebelumnya telah terjadi kecelakaan pesawat milik maskapai berlogo singa di sebuah bandara yang menewaskan beberapa penumpang. Ketika kantor memesankan tiket untuk Taufik, karena reservasi yang mendadak, ia mendapatkan tiket pesawat maskapai penerbangan tersebut. Waktu itu, sebelum ada pemeringkatan maskapai dan regulasi penerbangan yang ketat, reputasi maskapai itu memang cukup mengkhawatirkan. Bahkan ada media yang memplesetkan tagline yang dimilikinya, dengan tagline yang memojokkan.

Ketika Taufik menerima tiket itu, bayangannya segera tertuju kepada peristiwa dramatis ketika pesawat maskapai itu mengalami kecelakaan beberapa hari sebelumnya. Untuk membatalkan tiket itu dan memohon agar bisa menggunakan kereta api ekspress ke Surabaya, jelas sangat tidak beralasan. Bisa-bisa jika hal itu dilakukan akan menjadikan reputasinya buruk dihadapan atasan dan rekan-rekan kerjanya.

Syukurnya, Taufik adalah sahabat muslim yang cukup teguh berpegang kepada nilai-nilai keimanan. Maka sebelum keberangkatannya itu, ia banyak melakukan taqarrub kepada Allah dengan memperbanyak ibadah. Sholat-sholat sunnah yang biasanya ia lewatkan, menjelang keberangkatannya itu, selalu ia lakukan. Bahkan ia melakukannya lebih banyak dan lebih lama. Bayang-bayang kecelakan pesawat itu demikian menghantui dirinya. Namun ia berusaha melawannya dengan memohon pertolongan kepada Allah sebanyak yang ia bisa.

Ketika ia chek-in pada hari keberangkatan, ia mendapatkan nomor kursi yang membawanya pada ingatan yang tidak menggembirakan. Ia teringat bahwa pada saat pesawat itu mengalami kecelakaan, badan pesawatnya terpecah menjadi dua bagian, dan pecahan itu terjadi pada nomor kursi yang ia peroleh saat chek-in itu. Firasat buruk yang muncul dari ketakutannya itu segera muncul. Tanpa sadar mulutnya berbisik, “Waduh, gimana ini?!”

Saat itulah Taufik menyadari bahwa begitulah nampaknya orang yang mengalami sakaratul maut, yaitu ketika detik-detik kematian semakin mendekati dirinya. Taufik segera tersadar, tidak ada jalan lain, ia segera mengadu kepada Allah di musholla ruang tunggu keberangkatan. Di sana ia memohon keselamatan kepada Allah dengan menumpahkan air matanya yang jarang tumpah ketika ia tidak dihadapkan pada suasana seperti itu. Sungguh saat itu ia merasakan bahwa bisa jadi sholatnya adalah sholatnya yang terakhir dan doanya adalah doanya yang terakhir.

Ketika ia menyadari di sakunya cukup banyak uang tersedia, ia merasa bahwa uang itu harus diberikan kepada orang lain karena bisa jadi dirinya tidak akan memerlukan uang itu lagi. Maka kepada beberapa petugas cleaning service yang sempat ia jumpai, ia bagikan uang yang ia kantongi itu dan ia menyisakan seperlunya saja.

Setelah melakukan segala kebaikan yang bisa dilakukannya, akhirnya ia pasrah, bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kematian itu cepat atau lambat pasti akan dialaminya. Dan Allah memberikan keputusan terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Ketika pesawat berhasil take-off dan landing dengan sempurna, dari Jakarta ke Surabaya dan sebaliknya, syukur yang terpanjat adalah kesyukuran yang teramat sangat indah sejauh yang pernah ia rasakan. “Alhamdulillah, Alhamdulillah..” demikianlah ia berujar secara berulang-ulang ketika ia mengungkapkan rasa takjubnya atas pertolongan Allah yang dia terima.

***

Dalam kesempatan sharing kepada saya, Taufik mengungkapkan betapa dirnya terpacu melakukan amal kebaikan ketika bayang-bayang kematian hadir sangat dekat kepada dirinya. Alangkah menguntungkannya jika bayang-bayang seperti itu bisa dihadirkan kapan saja, tidak harus ketika akan bepergian atau menghadapi situasi yang kritis.

Kini, sebenarnya Taufik merindui saat-saat seperti itu terjadi, yaitu ketika bayang-bayang kematian itu bisa hadir di lubuk hatinya yang terdalam. Tetapi ia juga tidak ingin dihadapkan pada situasi genting seperti kejadian yang pernah dia alami. Bagaimanakah caranya? Boleh jadi dengan sering menghadiri pemakaman, sering bertakziyah, atau jika mau mencontoh generasi terdahulu, dengan cara berpura-pura mengubur dirinya hidup-hidup di liang lahat. Semua cara bisa dilakukan untuk mengingat kematian. Namun sesungguhnya, cara yang paling efektif dalam melejitkan amal kebaikan adalah manakala orang dihadapkan pada kondisi genting secara real, bukan hasil dari rekayasa.

Saya membayangkan bagaimana para pejuang palestina, tanpa gentar menghadapi terjangan peluru atau rudal dari pasukan zionis. Tentu saja, bayang-bayang kematian melejitkan potensi mereka untuk beramal kebaikan dan ibadah sebanyak-banyaknya. Mereka selalu berfikir, amal terbaik apakah yang seharusnya mereka persembahkan sebelum kematian mereka? Jawabnya adalah Jihad, karena disebutkan dalam sebuah hadits bahwa jihad adalah puncak dari ibadah/kebaikan.

Kita memaklumi bahwa jihad menjadi amal favorite yang sangat diperebutkan oleh para penduduk Palestina tetapi ia menjadi amal yang dilupakan oleh penduduk negeri ini. Andai kita bisa berempati, merasakan dengan sedalam-dalamnya akan kondisi dan penderitaan yang dihadapi oleh saudara-saudara kita di Palestina, bukan tidak mustahil kita bisa melejit potensi amal yang kita punya.

Hal ini adalah cara alternatif dan bisa jadi relevan bagi mereka yang “phobi” naik pesawat atau jarang menghadapi situasi yang genting seperti yang dialami oleh Taufik sahabat saya itu.

Waallahua’lam bishshawaab ([email protected])