Memandang Bintang….

Dear Abi yang kan selalu menemani perjalanan hidup…….

Pernahkah kita memandang langit pada malam yang temaram dengan lampu-lampu penerangan yang terbatas, tampak oleh kita pada saat itu bintang-bintang yang bertebaran seperti lebih banyak di bandingkan ketika kita memandangnya dari langit Jakarta yang terang benderang. Padahal dilakukan pada saat yang sama, sehabis isya misalnya.

Bintang yang Allah jadikan sebagai penghias langit mungkin bukan lagi menjadi sesuatu yang aneh buat kita atau bahkan sudah terlupakan, ketika bintang mulai bermunculan, bersamaan dengan itu pula kita dan si kecil anak kita telah asyik dengan berbagai kegiatan hiburan yang begitu marak. Sehingga kita lupa belajar dari bintang yang –Subhanallah- begitu indah menghiasi langit.

Di langit Pulau Bunguran Natuna, pulau terluar di negara ini, yang berada di tengah gelapnya laut lepas, posisinya menjorok ke dalam wilayah teritorial Malaysia. Dalam kesendirian pulau ini kita bisa belajar banyak, belajar dari Alam yang telah Allah ciptakan untuk kita. Di tempat ini dengan fasilitas penerangan di malam hari yang sangat jauh dibandingkan dengan Jakarta, kita bisa lebih banyak belajar.

Ketika permukaan bumi dalam keadaan gelap memungkinkan kita melihat cahaya yang lebih banyak dari kejauhan bahkan cahaya yang lemah sekalipun…sehingga jumlah bintang di Pulau Bunguran sepertinya lebih banyak dibandingkan dengan di Jakarta. Jakarta dengan fasilitas penerangan yang begitu gemerlap di malam hari justru menghalangi cahaya bintang yang lemah, sehingga hanya bintang dengan cahaya kuat yang tampak oleh kita, atau bahkan ketika cahaya lampu penerangan begitu kuat intensitasnya maka tiada lagi cahaya bintang yang dapat kita lihat. Kalau sudah seperti ini maka tiada lagi keindahan di langit jakarta, padahal Allah telah menciptakan bintang-bintang itu sebagai hiasan bagi langit.

Sesungguhnya Kami Telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Al-Mulk:5)

Sekarang marilah kita mengasosiasikan permukaan bumi itu seperti permukaan hati kita, lalu penerangan yang ada di muka bumi itu adalah kecenderungan-kecenderungan selain kepada Allah dan cahaya bintang adalah cahaya-cahaya hidayah-Nya.

Seperti permukaan bumi Jakarta yang telah penuh dengan beragam pernak-pernik lampu malam yang menghalangi masuknya cahaya bintang, begitu pula jika hati kita telah penuh oleh kecenderungan-kecenderungan selain kepada Allah, hati yang sibuk ini menjadi tidak sensitif terhadap cahaya hidayah dari Allah, hidayah Allah yang sejatinya terus terpancar tiada henti-hentinya seperti cahaya bintang yang terus bersinar. Hanya permukaan-permukaan hati yang siap menerima saja yang menyadari keberadaan cahaya hidayah ini, yaitu permukaan-permukaan hati yang sensitif karena tidak lelah disibukkan oleh selain-Nya.

Dari langit Pulau Bunguran ini kita belajar untuk menenangkan hati kita sehingga menjadi seperti permukaan bumi yang sensitif untuk menangkap cahaya bintang. Menangkap dan menerima Hidayah Allah dan menjadikan sebagai bekal kehidupan kita. Sungguh hati yang sehat dan tidak sesat sudah merupakan bekal awal yang cukup untuk menuju kebaikan. Selanjutnya kita masih harus terus menjaganya karena sejatinya masa kehidupan kita ini adalah perjuangan untuk menjadikan hati kita tetap berada dalam jalur-Nya sampai masa yang telah Allah tentukan. Masa ketika kita berharap dan insyaAllah dimasukkan dalam golongan orang-orang yang memenangkan perjuangan ini. Masa ketika Allah memanggil kita; ”Yaa Ayyatuhannafsul Muthma’innah…Irji’ii Ilaa Rhabbika Rhaadiyatammardhiyyah………….”Amien Ya Allah