Membalas Keburukan dengan Kebaikan

Dalam suatu kesempatan seseorang bercerita pada saya tentang pengalamannya dengan seorang teman yang selalu bersikap buruk padanya dan keluarganya.

Ia bercerita, "Kami mempunyai teman yang dikenal oleh orang-orang di sekitarnya bahwa dia orang yang memiliki sifat hasad. Jika orang lain mendapat kenikmatan, dia seolah merasa sakit hati dan dengki. Terlihat sekali dari sikapnya yang selalu menggunjingkan orang yang mendapat kenikmatan tersebut pada orang lain. Mencari-cari kesalahan dan selalu sibuk mengorek informasi dari mana orang lain itu bisa mendapatkan uang, mobil baru, jabatan, dsb.

Orang-orang yang ada di sekitarnya sudah bosan dan ingin sekali menjauh darinya karena sifatnya yang hasad dan bermuka dua. Bicara ke sini lain dan ke sana lain. Di matanya semua orang adalah salah dan buruk. Padahal sikapnya yang demikian telah membuka aib dirinya sendiri. Sehingga bisa dikatakan tidak ada lagi yang mau berteman dan bergaul degannya. Namun kami (walaupun dia menyimpan dengki itu pada kami) tetap menjalin silaturahmi dengannya, dengan harapan suatu saat bisa menyadarkan dia bahwa sifat tersebut sangat tercela dan harus dirubah. Namun anehnya, semakin didekati dia semakin hasad karena karunia dan kenikmatan yang Allah berikan pada kami. Begitu, dan begitu terus.

Apakah kami harus menjauh dengan harapan dia introspeksi diri dan sadar; mengapa tidak ada lagi yang mau berteman dengan dia, atau malah sebaliknya dengan mendekati dia yang terkadang hati inipun tak menerima sikapnya yang demikian? Kalau memang harus didekati, bagaimana cara melunakkan hatinya?"

Sesungguhnya ketika Allah ta`ala menginginkan kebaikan untuk seorang hamba, Ia akan memberinya ujian. Dalam sebuah hadits diterangkan, “Dari Abu Hurairah radhiyyallahu `anhu berkata, bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, ‘Barang siapa yang Allah inginkan untuknya kebaikan, Ia akan memberinya ujian’.” (HR Bukhari [10/108], No. 5645).

Ketika orang lain bersikap tidak ramah dengan kita, sebelum kita menyalahkan sikapnya, alangkah lebih baik terlebih dahulu kita melakukan introspeksi diri, adakah selama ini sikap dan kata-kata kita yang telah menyinggung dan melukai hatinya, sehingga timbulnya reaksi negatif tersebut. Jika ini terjadi, maka kita perlu untuk memperbaiki diri. Sebagai contoh, sebagian orang ketika mendapatkan nikmat dan kebaikan cenderung pamer dan riya di hadapan orang lain, sehingga sikap itu menimbulkan perasaan tidak enak pada orang lain.

Namun, apabila setelah diteliti, tak ada satupun selama ini sikap kita yang salah, maka orang itulah yang hatinya bermasalah, hatinya tengah berpenyakit, dikuasai oleh hawa nafsu, bisikan setan, sifat hasad, dan berbagai penyakit hati lainnya.
Dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Nabi saw bersabda, “Jauhilah oleh kalian sikap hasad, sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar… “ (HR Abu Daud [4/276], No. 4903)

Adapun sikap bermuka dua tergolong ke dalam sikap orang munafik, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits, “Dari Muhammad bin Zaid bahwasanya beberapa orang berkata pada kakeknya, Abdullah bin Umar r.a, ”Sesungguhnya ketika kami menghadap pada Raja-raja, kami katakan pada mereka tidak seperti yang kami katakan ketika keluar dari mereka, ia berkata, ‘Sesungguhnya kami semasa Rasulullah menganggap hal itu sikap munafik.” (HR Bukhari [13/181], No. 7178)

Sikap memaafkan merupakan sikap yang sangat mulia, dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah berkurang harta seseorang karena bersedekah, Allah tidak menambah bagi seseorang yang memaafkan orang lain kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang bersikap tawadhu` karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim [4/2001] No. 2588)

Namun, jika semakin didekati dia semakin hasad karena karunia dan kenikmatan yang Allah berikan pada kita, bersikap tidak baik, dan begitu terus-menerus, dan kita khawatir hati kita karenanya akan rusak, dan hubungan tetap tidak menunjukan perubahan ke arah positif, mungkin untuk sementara waktu baiknya menjauh dari orang tersebut. Mudah-mudahan dengan itu ia tersadar dan bisa introspeksi diri. Diharapkan dari jauh tetap berdoa pada Allah semoga memberi padanya hidayah, dan dengan tetap bersikap baik ketika sekali-kali bertemu dengannya.
Akan tetapi, jika kita menilai dengan hubungan tetap dilanjutkan kita tidak merasa risih, tidak sakit hati, dan tetap bisa bertahan, baiknya dilanjutkan, mudah-mudahan dengan sikap yang baik, dan kata-kata yang lembut tersentuh hatinya untuk berbuat baik pada kita.

Ibarat orang yang di sekelingnya jurang yang akan menjatuhkanya, sedang ia buta dan tuli. Rasa kasihan dan iba padanya tidak akan membuat kita tega membiarkan ia dalam keadaan itu. Kita akan datang untuk segera menolongnya, walau ia menolak, dan tidak suka. Ia tidak sadar sikapnya akan membahayakan dirinya. Dan kita yang tahu, harus sabar untuk membimbingnya.
Atau umpama orang yang terkena perangkap setan dan hawa nafsu, sebagai orang yang selalu ingin kebaikan untuk orang lain, kita berusaha mengeluarkannya dari perangkap tersebut.
Ini juga merupakan jalan dakwah bagi kita, jika kita sukses merubahnya tentu pahala kebaikan akan terus mengalir pada kita. Dan kita tahu bahwa jalan dakwah tidaklah mulus dan mudah, ia butuh kesabaran yang tangguh, mental yang tidak mudah rapuh, proses yang panjang, keistiqamahan, dan doa yang tak pernah henti dipanjatkan.

Kalau memang harus didekati, bagaimana cara melunakkan hatinya?
Cara melunakkan hati seseorang; pertama, urusan hati ada di tangan Allah. Ia memberi petunjuk dan menyesatkan hati seseorang sesuai dengan kehendak-Nya. Alangkah lebih baik bila kita selalu menyempatkan diri pada saat-saat yang mustajab untuk mendoakannya. Semoga Allah membuka pintu hatinya pada kebaikan. Lakukan ini terus menerus, dengan penuh yakin, semoga dengan hal itu Allah berkenan membuka pintu hatinya.

Disamping itu, bergaulah dengannya dengan cara yang lembut dan baik. Kenali kesukaannya yang positif, berikan pujian jika itu pantas, apresiasi kebaikan yang dilakukannya, hargai pendapatnya jika itu benar. Orang akan suka bila dirinya diperhatikan, dihargai, kerjanya dipuji, dan pendapatnya di hargai.
Bila langkah-langkah di atas tidak berbuah hasil, mungkin dengan mencoba mencari orang terdekat darinya dan yang ia hargai untuk memberinya nasehat dan bimbingan.

Allah `azza wa jalla berfirman, “ … dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (Ali `Imran [3] : 134)
Di ayat lain Allah berfirman, “Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (Asy-Syura [42]: 43)

Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya seorang laki-laki bertanya pada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku punya kerabat yang aku selalu menjalin silaturahmi dengan mereka akan tetapi mereka memutuskannya dariku, saya selalu berbuat baik padanya akan tetapi mereka berbuat jahat pada saya, saya berlaku lembut pada mereka sedangkan mereka bersikap tidak ramah pada saya,” Kemudian Rasulullah menjawab, ”Jika engkau seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah kamu menempelkan abu panas pada (mulut) mereka, dan Allah akan selalu menjadi penolongmu selama kamu berbuat demikian.” (HR Muslim, [4/1982], No. 2558, dan Ahmad, [7932]).

Syekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rah. dalam kitab Riyadus Solihin, jilid 2, halaman 328, Bab. Ihtimâlul Adzâ mengomentari tentang maksud dari menempelkan abu panas pada (mulut) mereka, “Adalah menutup mulut mereka/memasukkan ke dalam mulut mereka abu panas merupakan sebuah kinayah (kiasan) terhadap laki-laki tersebut bahwasanya ia memperoleh kemenangan atas mereka.”

Apabila seseorang disakiti karena agamanya, maka kesabarannya atas perlakukan buruk itu meneladani para rasul yang mulia. Seseorang yang berpegang teguh pada agama, dan ia berbuat ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar, maka hal yang wajar jika ia diperlakukan dengan buruk, sebagaimana yang dialami oleh para rasul dan nabi. Dan ia harus bersabar. Kesabaran itu akan berakibat yang baik (sorga) baginya di akhirat kelak.

Seseorang akan diuji sesuai kadar agamanya. Dan ujian itu bisa datang dari orang-orang ada di sekitarnya. Sebagian manusia tatkala mendapatkan ujian, cepat berpaling dari Allah, dan sebagian lain tetap berpegang teguh di jalan Allah, ini seperti yang Allah gambarkan dalam firman-Nya, “ Dan diantara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. “ (Al-Hajj [22] : 11)

Syekh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rah. berkata, “Menyambungkan silaturrahmi yang sesungguhnya adalah dengan orang yang memutuskannya dengan kita. Inilah silaturrahmi yang sebenarnya. Oleh karena itu hendaklah seseorang tetap bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah atas sikap jelek dan buruk kerabat, tetangga, teman, dan orang lain padanya. Allah akan selalu menjadi penolong atasnya. Ia akan beruntung di dunia dan di akhirat, sedangkan orang-orang yang memutuskannya merugi di dunia dan akhirat.”

Sungguh sangat tinggi derajat yang akan diterima oleh orang baik akhlaknya, hal ini digambarkan dalam hadits Rasulullah, “Dari Abu Darda` radhiyallahu `anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sesuatu yang lebih memberatkan timbangan seorang hamba pada hari kiamat, melainkan husnul khuluq (akhlak yang mulia)…. “ (HR At-Tirmidzi [4/362] No. 2002 dan Abu Daud [4799]). Wallahu a`lam bish-shawab.

Salam dari Kairo,
[email protected]
http://marifassalman.multiply.com/