Membanding Dua Negeri

Awal 2005. Selepas tsunami.

Bukit berpohon lebat, padang terhampar hijau, ladang luas bertumbuh bermacam tanaman, pekarangan pun penuh bunga dan buah. Asri yang terasa memandang kanan-kiri jalan yang kami lalui. Sesekali mobil berlalu dari arah berlawanan. Jalan cenderung sepi. Honda Accord bergigi matic ini pun melaju dengan tenang. Aku duduk di belakang kemudi. Pengalaman pertama buatku menggunakan mobil berpersneleng otomatis. Di negeri orang lagi. Perlis Indera Kayangan, Malaysia.

Kami tengah menuju Wang Kelian. Sebuah border zone antara Malaysia dan Thailand Selatan. Sebuah kawasan bebas bea. Mayoritas muslim. Bagaimanapun penduduk Thailand Selatan (Pattani, Yala, Narathiwat, Setun, Songkhla) yang kebanyakan Melayu lebih dekat secara geografis, budaya dan religius dengan Malaysia (khususnya semenanjung utara, seperti Perlis, Kedah, Pulau Pinang, Perak, Selangor) ketimbang Thailand.

Beberapa puan, termasuk isteriku, di jok belakang berceloteh riuh selama perjalanan. Menakjubi pemandangan yang dijumpai di kiri-kanan jalan.

Namun, aku lebih tertarik satu hal dalam perjalanan ini. Jalan. Ya, aku memperhatikan jalan-jalan di negeri Perlis ini. Sepanjang jalan mulai Kangar, ibukota Perlis, hingga perbukitan Gua Kelam sebelum Wang Kelian selalu ada bahu jalan kanan dan kiri selebar sekitar 1,5 meter dengan garis pembatas yang putih jelas. Disediakan untuk tempat berlalu sepeda motor. Selain mereka tertib mematuhi traffic light, yang menakjubkan adalah tak ada satupun kendaraan roda dua yang tidak menyalakan lampu bahkan di siang hari dan tidak ada satupun sepeda motor berlalu di jalan kecuali selalu berjalan di tempat yang telah disediakan buat mereka itu. Tidak kulihat ada sepeda motor yang berlalu di jalur mobil! Bahkan ketika kami memasuki daerah pedesaan yang sepi menjelang Gua Kelam, pemandangan itu tak jauh berbeda.

Bagiku ini sangat mengherankan.

“Cik Hasyim,” sapaku pada pegawai Tuan Haji Ismail yang menyertai kami. Ia duduk di sebelahku, setelah tadi memberiku kesempatan mencobai mobil mahal ini. “Saye perhatikan, orang-orang yang memakai kereta angin di sini selalu menyalakan lampu dan berjalan di sebelah kiri. Tak pernah melanggar garis batas itu, Cik.”

Aku menunjuk seorang ibu dengan sepeda motornya (mereka menyebutnya: kereta angin) berlalu berlawanan di bahu jalan sebelah kanan.

Cik Hasyim hanya tersenyum – sebenarnya dia memang murah senyum. “Memang peraturannya seperti itu, Pak Bahtiar. Kereta angin harus menyalakan lampu di siang hari dan berlalu di jalan itu.”

“Tetapi, bukankah di daerah dusun yang sepi seperti ini tidak ada polis, Cik?” kejarku. Memang tak banyak polisi (polis – Malaysia) yang berjaga sepanjang jalan yang kulalui.

“Ya, memang tak ada polis. Tapi kalau kami berlalu di tengah jalan kan itu artinya melanggar peraturan?”

Subhanallah. Sampai sebegitunya orang Perlis patuh pada peraturan lalu-lintas. Meski tak ada petugas. Meski mereka jumpalitan di tengah jalan sekalipun misalnya, mungkin tak akan ada polisi yang melihat. Mobil pun jarang melintas.

Tak heran makanya ketika hari pertama datang ke kota ini seorang teman dari Perlis mengatakan bahkan bila seorang wanita berjalan sendirian dengan mobilnya di malam hari di negeri ini Insya Allah aman sampai di tujuan. Tak akan ada yang mengganggu.

***

Surabaya akhir tahun lalu.

Polwiltabes Surabaya mewajibkan pengendara sepeda motor untuk menyalakan lampu kota di siang hari. Untuk mengurangi angka kecelakaan lalu-lintas, katanya.

Di beberapa ruas jalan besar juga sudah dibuat jalur khusus untuk sepeda motor. Mereka menyebutnya: proyek kanalisasi. Jalur khusus itu berupa batas dari tiang-tiang setinggi pinggang yang dihubungkan dengan tali dan memanjang selebar dua-tiga sepeda motor di bahu jalan. Setiap sepeda motor diwajibkan untuk berjalan di jalur khusus ini.

Tidak itu saja. Untuk membudayakan tertib lalu-lintas ini diadakanlah iklan ajakan besar-besaran di surat kabar dan berbagai radio. Bahkan ada undiannya segala. Setiap pengendara sepeda motor bisa mengambil dan mengisi kupon di beberapa check-point di sepanjang jalur khusus itu. Bahkan ada wartawan yang akan mengambil gambar seseorang yang tertib berlalu-lintas dan yang bersangkutan akan mendapatkan hadiah bila ia beruntung muncul di halaman belakang surat kabar edisi esok hari.

Maka begitulah. Setiap sepeda motor yang berlalu di kota Surabaya menyalakan lampu, berbondong-bondong berjalan di jalur yang telah disediakan, mengambil dan mengisi kupon di check-point, dan menunggu siapa tahu beruntung dapat hadiah pada akhir periode undian. Bapak-ibu Polisi dengan sukarela berdiri di jalan-jalan protokol dengan papan menggantung di dada bertuliskan “Nyalakan Lampu” dan menunjukkannya pada setiap pengendara yang lewat.

Tibalah saat undian. Seorang pengendara sepeda motor yang hanya memasukkan satu dua lembar kupon beruntung mendapatkan hadiah utama. Kalau tidak salah uang tunai 10 juta rupiah dari sponsor. Dan setelah itu, inilah yang kemudian terjadi. Check-point pun bubarlah sudah. Tak ada lagi undian karena tertib berlalu-lintas. Tiang-tiang kanal banyak yang putus tali penghubungnya, untuk kemudian merana. Bahkan satu per satu hilang dari tempatnya. Sepeda motor pun satu demi satu kembali ke tengah jalan. Bersalipan, berkejaran, dan berbalapan dengan mobil atau sesamanya.

Maka, kehidupan Surabaya di jalanan pun kembali seperti sedia kala.

***

Orang Perlis juga kelewatan sopan. Jika ada kendaraan yang mau berbelok kanan, maka Sang Pengemudi akan menunggu kendaraan lain yang berlalu dari arah depan sampai dengan hampir-hampir sepi. Barulah ia akan membelokkan kendaraannya dengan tenang.

Begitulah yang aku perhatikan adab orang Perlis berkendara di jalan.

Pagi itu kami rombongan dari Indonesia berangkat ke tempat Sijil Tuan Haji Ismail di daerah Jejawi. Pakai kendaraan Serena berbadan besar. Aku lagi-lagi pegang kemudi. Maklum, pengin mencoba mobil jenis baru.

Selepas lampu merah Mate Ayer mobil kubelokkan begitu saja ke kanan masuk gang tempat Sijil. Ada beberapa mobil dan sepeda motor yang akan melaju dari depanku mengerem mendadak. Mungkin mereka tak mengira ada mobil belok ke kanan tanpa menunggu mereka lewat lebih dulu.

“Heh! Ente main selonong saja!” seru temanku dari Tangerang. “Ini Perlis Tuan! Dudu Suroboyo, Rek*!”

Yah, bagaimana lagi. Sudah biasa seperti itu di Surabaya! Bahkan aku termasuk pengendara yang sopan di sana!

Mereka ramai-ramai tertawa-tawa senang. Aku sih, sejujurnya, demikian juga. Dasar!

***

Ketertiban, kedamaian, dan kemakmuran sebuah negeri, tentu tidak dibangun hanya dalam hitungan hari. Tidak juga bisa hanya dengan iming hadiah. Apalagi peraturan seumur jagung. Ia dibangun dari dasar. Mungkin dari hal-hal yang sangat kecil dan remeh-temeh. Jika mematuhi peraturan lalu-lintas saja tak bisa, bagaimana masyarakat bisa mematuhi hal-hal yang lebih besar?

Perlis punya buktinya. Aman dan damai. Nyaman. Tercermin pada hal-hal kecil semacam sikap sopan-santun mereka di jalan raya. Lebih dari itu, barangkali memang yang lebih dominan adalah aqidah (Islam) yang dijunjung tinggi dan dilaksanakan. Apa yang kemudian tampak di keseharian mereka merupakan cermin dari kuatnya aqidah itu.

Sungguh tepat benar jika Rasulullah mendasari Islam pertama kali di era Makkah adalah dengan aqidah yang kuat. Hingga Bilal hanya menyebut “Ahad! Ahad! Ahad!” ketika batu membara menghimpit tubuhnya di atas panas sahara. Sungguh benar jika Rasul menganjurkan mengumandangkan adzan dan iqamat di telinga kanan dan kiri bayi kita yang baru lahir. Bukankah indra pertama yang berfungsi begitu bayi lahir adalah pendengaran, baru penglihatan, dan hati? Bukankah adzan dan iqamat adalah kalimat-kalimat tauhid, dasar dari aqidah ini?

Surabaya, juga kota-kota lain, mungkin banyak muslimnya. Tetapi, dari perilaku mereka di keseharian, termasuk pada hal-hal yang sepele seperti berlalu-lintas, boleh jadi mencerminkan kualitas aqidah mereka. Jadi, jika lalu-lintas menjadi kacau-balau, untuk menertibkan masyarakat penggunanya tidak tepat jika hanya dengan iming hadiah. Yang lebih tepat barangkali: memperbaiki aqidah mereka.

Tentu saja, ini proyek dakwah jangka panjang. Tidak usah banyak cing-cong. Mari mulai dari diri sendiri masing-masing.

***

Ah, Malaysia!

Ketika mau melepas teman-teman Indonesia berangkat ke Perlis, sebagian dari kami ada yang nyeletuk. “Hati-hati ya di sana! Terutama bagi akhwat yang belum menikah!”

“Memang kenapa?” tanya mereka. Aku yakin wanita itu masih single. Aku belum kenal namanya.

“Pak Cik di sana isterinya banyak yang lebih dari satu! Apalagi jika tahu calon isterinya dari Indonesia.”

Olala, kurasa inilah konsekuensi aqidah yang kuat: mengikut sunnah!

(Wah! Aku mesti siap-siap hari ini makan malam sendirian ditemani nyamuk. Sssttt! Mudah-mudahan saja dia tidak membaca tulisan ini. He he he)

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com