Memori dari Ayahanda tercinta

Memori I

Masih terbayang di mata, percakapan dari hati ke hati yang terakhir dengan ayahanda tercinta. Saat itu beliau terbaring lemah di tempat tidur beliau, saya pun menghampiri beliau setelah menata hati agar tidak terjadi “perselisihan” dengan beliau seperti biasanya. Dengan sangat berhati-hati dan berusaha untuk memilih kata-kata yang tepat, saya pun mencoba untuk berdialog dari hati ke hati dengan beliau.

”Pak, nuwun sewu. Saya hanya berusaha untuk bisa memahami maunya bapak. Saya capek pak, selama ini kok ngga pernah akur dengan bapak. Masa sih sudah 30 tahun lebih saya jadi anak bapak, kok kita kaya’nya cekcok melulu. Tapi sekarang pak, saya paham bahwa yang lebih muda harus bisa berusaha untuk memahami yang lebih tua”, tutur saya membuka pembicaraan.

“Saya ngga pernah kok sekali pun merasa ngga akur sama kamu nak” singkat saja jawaban bapak.

“Maksud saya gini pak, saya ingin sekali bisa memahami keinginan bapak. Sebenarnya maunya bapak itu apa sih? Mungkin kalau saya bisa paham dengan keinginan bapak, dan saya harus bisa memahami dan menuruti itu, supaya kita ga selalu selisih paham. Saya mau supaya di sisa umur bapak, nuwun sewu pak, kita bisa ngobrol yang enak”, tanya saya lagi, takut salah kalimat.

“Saya sudah ngga punya keinginan apa-apa nak, selain khusnul khotimah”, jawab bapak singkat lagi.

“Pak, kalau itu keinginan bapak, saya ngga bisa berbuat apa-apa selain bantu mendo’akan. Karena itu asli hak-Nya Allah. Yang saya ingin tau adalah keinginan bapak terhadap anak-anak bapak dan mama. Supaya kalau nanti bapak ngga ada, kami tetap bisa tetap rukun”, tanya saya tetap berusaha memasuki pola pikir bapak.

“Ya ngga ada, saya cuma ingin khusnul khotimah”, jawab bapak keukeuh.

“Iiiiihhh…..susah amat sih memahami bapak”, pikir saya saat itu yang masih belum ngerti dan menjadi bingung dengan percakapan ini. Maunya kemana, malah ngarah ke mana.

Secara tidak sengaja istri saya memasuki kamar bapak, saya pun minta bantuannya untuk bisa membuka hati bapak. Namun bapak tetap dengan jawabannya,yang tidak pernah merasa jauh dengan saya (merasa jauh saja tidak, apalagi cekcok) dan tetap dengan keinginannya untuk khusnul khotimah. Saya pun angkat tangan menyerah pada saat itu.

******************

Tanggal 2 Agustus ayahandan tercinta pulang menghadap Sang Khalik. Selama 1 bulan lebih ayahanda tercinta tergeletak tak sadarkan diri di rumah sakit, tak pernah sekali pun saya mendoakan kesembuhan bagi beliau. Teringat selalu akan keinginan ayahanda tercinta saat percakapan terakhir kami, sehingga saya hanya berdoa agar beliau diberikan khusnul khotimah dan ditempatkan di jannatul firdaus-Nya. Insya Allah ayahanda telah mendapatkan apa yang beliau inginkan sesuai dengan percakapan terakhir, yang menurut saya merupakan percakapan dari hati ke hati secara sepihak saja.

*****************

Memori II

Kira-kira 10 hari setelah setelah bapak meninggal, saya dipanggil oleh pemilik perusahaan tempat saya bekerja, yang juga merupakan salah seorang teman keluarga. Saya biasa memanggil beliau, pak Boss, jika sedang dalam suasana santai di kantor. Sebulan sebelum ayahanda masuk rumah sakit, kebetulan saya mengetahui dari asisten pak Boss, kalau ayahanda menelpon pak Boss selama kurang lebih 40 menit.

Dalam ruangannya, beliau menyampaikan pesan dari ayahanda tercinta.

”Bapakmu pernah ngobrol sama aku di telpon dan menitipkan beberapa pesan. Yang pertama beliau menitipkan kamu ke aku. Aku yo bingung, anak segede kamu dititipin ke aku, mau ditaruh di mana??”

Saya diam saja sambil cengar-cengir mendengarkan beliau bicara.

”Tapi oke-lah, mudah-mudahan saja kamu betah kerja di sini. Bahkan kalau pun kamu nanti suatu saat ngga kerja di sini lagi, kapan pun perlu bantuan atau nasihat, jangan ragu-ragu menghubungi aku. Pesan beliau selanjutnya adalah untuk aku, untuk selalu mengingatkan kamu supaya jangan pernah sekali-sekali berniat untuk menjual sawah kamu. Dan aku juga diminta membantu kamu mengembangkan usaha sawah kamu.”

Saya tetap mendengarkan beliau berbicara sambil berusaha mencamkan kalimat-kalimatnya.

”Yang ketiga aku diminta mencarikan guru buat kamu. Karena menurut bapakmu, beliau menyesal sekali belum sempat mengajarkan Qur’an ke kamu. Beliau tahu, meskipun kamu anaknya mblinger, tapi kamu ingin sekali belajar Qur’an. Menurut beliau ngga ada istilah terlambat untuk belajar Qur’an. Tapi nyari guru di mana yang tepat dan bisa ngajarin kamu. Nanti deh, aku usahakan cari guru yang tepat, sesuai amanat bapakmu”

Perasaan aneh mulai menjalar di hati mendengar pesan ayahanda yang satu ini yang disampaikan lewat pak Boss, pemilik perusahaan tempat saya bekerja.

Pak Boss melanjutkan ceritanya,“Aku iseng nanya ke bapakmu, ‘Bapak ini kok pesennya banyak amat. Emangnya mau ke mana sih?? Aku ikut dong’. Beliau menjawab kalau waktunya ngga akan lama lagi. Dan beliau menambahi sekali lagi pesannya, ‘Titip anakku sing alit pak. Dia itu keras kepala kalau sudah merasa benar. Susah untuk saya mendekati dia, karena sifatnya itu. Tapi bagaimanapun juga saya paling sayang sama dia pak, lah piye wong de’e iku anakku sing alit. Sampaikan agar dia selalu melayani dan menjaga ibunya. Hanya itu yang bisa saya berikan ke dia untuk terakhir kalinya. Pahala dari Allah melalui pengabdian kepada ibunya sendiri’”

Saat itu, saya setengah ngga percaya mendengar pesan terakhir dari pak Boss ini. Karena selama ini saya selalu merasa ada jarak dengan ayahanda tercinta. Bahkan sepertinya belum pernah sekali pun kami bisa ngobrol dari hati ke hati. Selalu ada semacam penghambat yang menghalangi komunikasi kami berdua. Ada sedikit perasaan aneh yang mengganjal, jangan-jangan pak boss ngarang atau terlalu mendramatisir cerita barangkali supaya saya lebih mencamkan pesan dari ayahanda tercinta.

Memori III

Dari ruang pak Boss, saya langsung pulang dan dalam perjalanan pulang ini saya segera menelpon pak Achmad, sahabat ayahanda selama 10 tahun terakhir yang juga salah satu sahabat terbaik saya. Saya tanyakan tentang perasaan ayahanda terhadap saya kepada beliau. Dan inilah penuturan beliau…

”Dengarkan ini baik-baik, sahabatku. Kamu pikir kenapa selama ini aku bisa jauh lebih dekat sama kamu. Karena bapakmu sudah bisa menilai sikap dan pendirian kamu meskipun kamu bolak balik bersikap ngga pantas ke bapakmu. Berulang kali beliau menyampaikan keluh kesahnya ke aku tentang sikap kamu yang selalu menolak beliau, setiap beliau mencoba mendekatkan diri ke kamu. Akhirnya beliau menyerah dan meminta aku untuk bisa menjadi jembatan antara kamu dan beliau. Luar biasa sayangnya bapakmu ke kamu. Bahkan beliau memberikan kamu hadiah yang luar biasa dengan meninggalkan pesan ini ke aku. Beliau meminta aku untuk menyampaikan pesan ini ke kamu, untuk selalu melayani dan melindungi ibumu sepeninggal bapakmu. Hanya sama kamu bapakmu nitipin pesen seperti ini. Insya Allah balasannya jannatul firdaus. Apalagi yang lebih berharga dari itu?? Segitu jauhnya bapakmu mikirin kamu, segitu luar biasa sayangnya beliau sama ……….”

Kata-kata selanjutnya sudah tidak terdengar lagi. Luluh hati saya mendengarkan penuturan sahabat saya yang saya percaya sepenuh hati. Meledak rasa penyesalan dari dalam hati. Menetes air mata saya membasahi wajah, Serta merta timbul keinginan yang begitu besar dan kuatnya untuk bisa bicara dengan beliau, meskipun sekedar lewat telpon sekalipun, hanya untuk sekedar mengucapkan,”Pak, ngapunten pak. Aku sayaaaang banget sama bapak…..”

Seperti juga saat ini…..

"Allahummaghfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabayaanii soghiira.

Ya Rabb, ampuni dosa-dosa ayah hamba, hapuskanlah kesalahan-kesalahannya, dan terimalah segala amal ibadah beliau selama di dunia ini. Lunaskanlah hutang-hutangnya, hapuskanlah segala dosa-dosa beliau dan jangan Engkau jadikan beliau sebagai muflisiin di akhirat nanti. Ringankanlah penderitaan beliau ya Rahmaan, dan berikanlah beliau akhir yang khusnul khotimah nanti. Tempatkan beliau dalam jannatul firdaus-Mu ya Dzal Jalaali Wal Ikraam.

(Do’a yang selalu dibacakan setiap habis sholat selama ayahanda tergeletak di rumah sakit)

Tebet, 22 Oktober 2009, 21:35 WIB,