Menanti Pertemuan Kelima

Persis baru empat kali saya bertemu istri. Dua kali sebelum menikah dan dua kali setelah menikah.

Pertemuan perdana kami saat ta’aruf dengan istri yang didampingi muhrimnya yang saat itu guru ngaji istri. Karena satu dan lain hal ketika itu saya hanya bisa datang sendiri tanpa didampingi siapapun. Mengingat jarak, guru ngaji saya di Medan pun tak bisa datang. Muhrim saya ketika itu suami guru ngaji istri yang kebetulan juga memimpin prosesi ta’aruf.

Prosesnya berlangsung singkat, kira-kira kurang dari setengah jam. Dimulai dengan basmallah, sedikit tausiyah dari suami guru ngaji istri dan kemudian kesempatan untuk kami saling bertanya yang diharapkan dapat memantapkan keputusan setelah ta’aruf : melanjutkan khitbah atau mundur.

Pasca ta’aruf baik saya maupun istri ketika itu diberi kesempatan untuk berulangkali merenung, menimbang hingga istikharah. Akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan ta’aruf ke jenjang pernikahan. "Saya harus segera menyelamatkan diri dari zina dan godaaan berzina" demikian azam ketika itu.

"Ya Rabb, jika Engkau tak mengabulkan jodoh yang hamba inginkan, setidaknya berikanlah yang hamba butuhkan." Doa yang terus saya panjatkan ketika teringat kegagalan ta’aruf yang pernah sebelumnya saya jalani dengan seorang akhwat berbulan-bulan sebelumnya.

Alhamdulillah tak berapa lama pihak istri, melalui guru ngajinya, mengabarkan bahwa istri saya saat itu memiliki niatan yang sama untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Memang prosesnya sempat berlarut-larut dikarenakan terpisah jarak yang begitu jauh. Istri tinggal, kuliah seraya bekerja sebagai guru di Bogor. Sementara saya karyawan swasta yang berdinas di Medan. Lucunya baik saya ataupun istri ketika itu sempat berpikir untuk mundur dari proses ta’aruf, meski takdir berkata lain. Awalnya ada keraguan. Untuk mengatasi, salah satunya, berulangkali saya ingat azam saya. Saya khawatir keraguan itu datangnya dari syeitan.

Setelah berkonsultasi dengan guru ngaji saya juga masukan guru ngaji istri dan tentunya orang tua, di suatu kesempatan saya datang langsung ke rumah keluarga istri untuk ta’aruf dengan pihak keluarganya di Bandung. Persisnya beberapa hari sebelum menikah. Sebetulnya saat itu kami bertemu, tapi saya menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan keluarganya terutama kakak ipar dan Ibunya, sementara dia hanya duduk menunduk agak jauh dari saya dan lebih banyak membisu. Pertemuan kedua yang hampir minus komunikasi.

Beberapa minggu sebelumnya orangtua saya sudah datang ke Bandung melakukan lamaran, tapi saya tidak bisa hadir lantaran saat itu masih di Medan, dan belum bisa cuti. Sementara jatah kepulangan saya yang ditanggung perusahaan hanya tiga bulan sekali. Dengan dana yang terbatas saya harus pandai-pandai memanfaatkan waktu dan kesempatan. Jatah kepulangan tiga bulan sekali saya manfaatkan untuk cuti dan menikah.

Bandung, hari minggu 9 Agustus 2009, Iis Endah Ribuanti, demikian nama lengkapnya, resmi menjadi pendamping hidup saya. Hari itu adalah pertemuan ketiga kami yang mengharukan sekaligus salah satu momen bahagia dalam hidup saya. Akad dan walimah dilangsungkan hari itu juga. Pernikahan yang begitu sederhana untuk ukuran kebanyakan.

Untuk menyiasati dana pernikahan kami yang terbatas, kami sepakat tak membuat undangan, tapi cukup menginfokan ke keluarga dan teman-teman terdekat. Untuk tetangga dan kerabat dekat undangan lisan disampaikan langsung ketika silaturahmi ataupun via telepon. Sebagian via Short Message Service (SMS), sebagian kecil via Facebook, sementara untuk rekan-rekan kantor saya gunakan fasilitas e-mail. Tentu tanpa mengurangi rasa hormat kami.

Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT istri memudahkan saya dalam mahar. "Semoga ini pertanda ia adalah calon istri soleha", bisikku dalam hati. Begitupun dana menikah, tak ada tuntutan untuk menyediakan dana yang dipatok dalam jumlah tertentu sebagaimana berlaku di masyarakat kita. "Berapapun dikasih itulah rezeki kamu", demikian istri menirukan pesan Ibunya saat membincangkan seputar mahar dan dana pernikahan.

Alhamdulillah Ibu mertua saya bukan orang yang menjadikan pernikahan ajang pamer sehingga dirasa wajib untuk dilakukan besar-besaran. Untuk alasan objektif menurut saya seharusnya sikap orang tua memang demikian. Miris rasanya menyaksikan fenomena di tengah masyarakat dimana pihak keluarga perempuan sudah menetapkan jumlah nominal dan barang tertentu sebagai syarat menikahi anaknya tapi menyepelekan anjuran agama dalam memilih jodoh.

"Bulan madu" kami habiskan dirumah orang tua istri di pojok Kota Bandung, sisanya di kontrakan istri di Bogor yang hingga sekarang jadi tempat kami tinggal. Alhamdulillah istri selalu memahami kondisi kami yang terbatas.

Dari hal-hal seperti itu saya berusaha mengenal istri lebih jauh. Termasuk mencari tahu apa yang menjadi kesukaanya. Kami menjajaki perasaan satu sama lain. Berusaha untuk saling memahami kekurangan dan kelebihan pasangan. Dalam tempo singkat. "Kalau nikah itu harus diterima satu paket, Gun. Baik kelebihan juga kekurangannya", begitu nasehat seorang kawan suatu ketika.

Demi Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang sungguh indah pacaran setelah menikah. Perhatian yang dilandasi keinginan untuk memenuhi kewajiban dan menunaikan hak satu sama lain sangat boleh jadi menumbuhkan perasaan kami. Siapa yang tak luluh hatinya kalau antara suami dan istri berusaha saling memuliakan satu sama lain ?

Kadang kami bertanya-tanya dan bingung sendiri apa enaknya ya pacaran sebelum menikah ? Semua yang dilakukan kebanyakan jatuhnya haram bin dosa. Berbeda dengan yang menikah dulu baru pacaran, segala bentuk kemesraan dengan istri digolongkan Allah sebagai pahala. Bahkan hubungan suami istri dihitung sedekah.

Yang (masih) meragukan munculnya rasa saling menghargai, menghormati, menyayangi dan mencintai dari mereka yang menikah lewat jalur ta’aruf harus membuang jauh-jauh anggapan mereka. Justru yang terjadi fenomena kawin-cerai terus meningkat dari mereka yang memilih pacaran sebelum menikah. Baik karena hadirnya orang ketiga atau dalih prinsip yang tak lagi sama. Saya belum dengar tuh’ kasus-kasus kawin cerai dari mereka-mereka yang memilih jalur ta’aruf untuk menikah.

"Terima kasih Ya Rabb, kau telah menakdirkan hamba untuk menikah melalui proses ta’aruf".

Hari-hari kebersamaan kami hanya berlangsung kurang lebih dua pekan. Singkat. Padahal saat itu kami mulai belajar memaknai benih-benih perasaan yang mulai tumbuh. Saya harus kembali ke Medan. Meski hati kecil berharap untuk bisa ditempatkan di Jakarta, tapi kantor meminta saya untuk kembali ke Medan. Praktis, saat di Medan komunikasi kami berlangsung via telepon seluler. Setidaknya bisa memupus rasa rindu kami.

Alhamdulillah beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri 1430 Hijriyah yang jatuh tanggal 20 September 2009, saya dan teman-teman karyawan muslim yang ditempatkan di luar kota, termasuk Medan, diberikan jatah tiket pesawat kembali Jakarta. Ketika itu saya dapat tiket pesawat diatas jam 19.00 WIB. Kira-kira menjelang tengah malam baru sampai Bogor. Itulah pertemuan keempat dengan istri saya. Sekaligus pertemuan terakhir di tahun 2009. Karena tepat tanggal 30 September 2009 saya kembali ke Medan, meski saya sempat melontarkan permintaan kepada atasan saya untuk dipindahtugaskan ke Jakarta.Ternyata takdir menetapkan kami untuk kembali berjauhan.

"Mungkin ini ujian", pikir saya. Allah SWT pasti sudah menakar baik-baik kemampuan seorang hamba dalam menerima ujian.

Setelah berdiskusi dengan istri dan sejumlah pertimbangan saya putuskan untuk mulai mencari info pekerjaan di wilayah Jabodetabek atau Bandung. Meski belum tampak hasilnya.

Praktis, terhitung dari terakhir kembali ke Medan, sudah tiga bulan lebih beberapa hari saya berjauhan dengan istri. Mungkin ini cara Allah mendidik kami agar benih-benih perasaan kami terus tumbuh. "Kalau berdekatan boleh jadi tidak seperti ini suasana kebatinannnya", begitu kami bersepakat dalam hal ini seraya berusaha untuk positif menyikapi kenyataan.

***

Beberapa hari lagi, Insya Allah, untuk kali kelima saya bertemu istri. Tak sabar rasanya menunggu detik pertemuan itu. Kangen dengan keripik jamur olahannya, momen dimana kami mendiskusikan buku-buku yang kami baca, sendau gurau tentang "suami penggangu" yang membuat senyum dan tawa muncul bergantian.

Seumpama pohon, benih-benih perasaan ini mulai berurat dan berakar. Daun-daunnya malah sudah mulai tumbuh agak lebat.

Semoga Allah SWT tetap menjaga hati dan perasaan kami untuk saling mencintai dalam bingkai ridho Illahi. Semoga Allah SWT membimbing kami untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Keluarga yang penuh cinta karena Allah SWT. Mohon doanya …

Medan, 2 – 3 Januari 2010

email : [email protected]