Menata Kalbu

Tahun baru di sebuah kota kecil dekat perbatasan Malaysia-Brunei Darussalam. Malam itu adalah empat hari setelah kejadian tsunami yang manghantam, Aceh, India, Srilanka dan beberapa tempat yang seperaiaran dengan daerah tersebut.

Kami berempat ke luar rumah. Dengan sebuah mobil yang tak terlalu bagus, kami mengelilingi kota minyak itu. Pusat-pusat keramaian mencoba kami datangi. Tapi tak seramai tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ketika kami menyambangi beberapa tempat hiburan yang biasanya digunakan untuk mangkal para pekerja Indonesa, nyaris tak ada kegiatan apapun. Padahal setiap minggunya, sebelum kejadian tersebut, apalagi menjelang pergantian tahun, sudah pasti sudah berkumpul para pecandu musik dangdut untuk bergoyang. Baik laki-laki maupun perempuan.

Kami mencoba untuk beralih ke tempat lain. Menyelusuri beberapa tempat yang kami prediksi penuh keramaian. Namun semuanya di luar perkiraan kami. Semua tempat sepi, bahkan nyaris tutup. Ahirnya kami mencari sebuah kedai minum yang cocok untuk mangkal lidah-lidah kami, orang-orang Indonesia.

Kami menunggu detik-detik pergantian tahun di sebuah kedai minum yang pekerjanya semua orang Indonesia. Kami ngobrol ‘ngalor ngidul’ ke sana kemari. Dan pembahasan yang paling fokus adalah kejadian tsunami yang sedang melanda negri kami.

“Kumpul saja di sini. Tidak usah mencari-cari tempat-tempat hiburan.” kata salah seorang pelayan asal Jawa Timur. “Cukuplah tsunami itu menjadi pelajaran untuk kita, ” ia melanjutkan.

Ahirnya kami berkumpul di kedai kecil itu. Entah kenapa menjelang detik-detik pergantian tahun itu kami serasa lebih haru, lebih menyentuh. Sepertinya suasana sepi menjadikan kami lebih khusu dalam menikmati sesuatu. Seolah pembicaraan kami tentang banyaknya musibah di tanah air, menjadikan kami ikut hanyut merasakan nasib mereka.

Tahun baru di kota kecil bernama Kuala Belait itu nyaris mati. Tak ada bunyi mercon bahkan kilatan kembang api yang biasa menghiasi langit menjelang detik-detik pergantian tahun. Memang Sultan Brunei, dan para pemimpin di negara-negara Asean lainnya, juga memerintahkan kepada rakyatnya untuk tidak merayakan ulang tahun dengan kehura-huraan. Bahkan dianjurkan untuk menggelar majlis-majlis doa dan pendekatan diri kepada Allah SWT.

Menjelang detik-detik pergantian tahun, suasana kedai minum itu benar-benar sunyi. Saya merasakan tak ada seseorang di tempat itu yang berbuat lebih. Beberapa teman hanya sibuk dengan mengirim sms ke teman yang lainnya.

“Jika tak ada tsunami, pasti sudah banyak orang berbuat aneh-aneh di tahun baru ini.” Ujar seorang teman berkomentar. Yang lain menyetujui kalimat itu. Rupanya kita akan lebih tersentuh jikalau Allah menurunkan peringatan kepada kita lewat bencana alam.

Dan saat ini, ketika saya sudah di tanah air, ketika seorang teman mengajak untuk bikin acara tahun baruan, ya sekedar bakar sate misalnya, saya untuk memilih sendirian saja. Dan ketika anak saya merengek ingin melihat detik-detik pergantian tahun di dekat sebuah hotel berbintang, saya katakan padanya. “ Nak, saat ini, tak ada orang ramai-ramai bikin acara tahun baru. Mereka takut ada tsunami lagi. Sekarang, orang lebih banyak berdoa di rumah masing-masing.”

Anak saya ternyata percaya dengan itu. Saya senang sekali. Dan iseng-iseng saya buka buku “Kiai Sudrun Gugat”-nya Emha Ainun Nadjib malam itu. Dan bertemulah saya dengan sebuah alinea dalam salah satu artikel yang berbunyi:

“Jika tahun baru tiba, aku mengurung diri di kamar, seharian, semalaman. Aku selalu takut kepada keramaian, sebab dalam keramaian, manusia menari-nari di ombak nilai yang paling permukaan. Aku selalu sunyi dalam keriuhan, karena dalam keramaian, manusia hanya sekilas-sekilas memandang satu sama lain. Keramaian adalah gembok amat rapat bagi ilmu pengetahuan dan kedalaman.”

Kalimat itu cukuplah menjadikan saya untuk tak henti-henti belajar menata kalbu, menata hati setiap saat. Dan tahun baru, ataupun event-event berkala lainnya, memang sangat cocok untuk berbuat demikian.

***

Purwokerto, Malam tahun baru 2007 [email protected]