Mencabut Rumput Liar

Dahulu saya tinggal di sebuah jalan bernama Jalan Masjid Al-Anwar. Dinamakan demikian karena di perempatan jalan tesebut terdapat masjid yang cukup besar bernama Al-Anwar. Di sepanjang jalan tersebut dan sekitarnya, banyak terdapat tanaman hias yang diperdagangkan, karena matapencarian masyarakat di situ pada umumnya adalah pedagang pohon hias. Halaman di setiap rumah ditanami berbagai jenis tanaman hias, dari kecil hingga yang besar, dari yang harganya mulai ratusan rupiah, hingga ratusan ribu rupiah. Tak terkecuali pekarangan di depan rumah saya.

Tanaman yang ada di halaman rumah saya memang tidak termasuk tanaman berkelas. Harga tanaman yang paling mahal hanyalah berkisar puluhan ribu saja. Tapi bila ada pembeli yang membeli dalam jumlah banyak, uang yang diperoleh ayah saya bisa mencapai ratusan ribu.

Ayah saya cukup rajin dalam hal melakukan pembiakan untuk memperbanyak tanaman. Yang biasa beliau lakukan adalah dengan mencangkok ataupun stek. Namun dalam proses pembiakan tersebut, tidak hanya tanaman yang dicangkok atau yang distek saja yang tumbuh, namun di sekeliling tanaman tersebut juga terdapat tumbuhan lain yaitu rumput liar. Keadaan demikian tentu saja akan mengganggu keindahan tanaman hias yang sedang dikembangbiakkan. Untuk menjaga keindahan serta baiknya pertumbuhan tanaman semua rumput liar harus dicabut hingga ke akarnya.

Selain di sekeliling tanaman hias yang ditanam dalam pot, rumput liar pun tumbuh di sisi jalan yang membagi dua pekarangan rumah saya. Terkadang saya dan ayah saya harus menggunakan cangkul untuk menghilangkan rumput-rumput tersebut agar halaman tetap bersih dan indah sehingga enak dipandang mata.

Ternyata rumput liar tidak hanya tumbuh di pekarangan rumah saja, tetapi juga tumbuh di dalam taman hati kita. Bila hati manusia diibaratkan sebagai sebuah taman maka rumput liar itu adalah segala macam penyakit hati seperti ria, sum’ah, takabbur, ‘ujub, hasad dan lainnya. Ketika taman di dalam hati ingin kita hiasi dengan keikhlasan, tawadhu, qonaah, husnuzhon, serta aneka hiasan hati lainnya, maka rumput-rumput liar mulai mengganggu perkembangan dan keindahan tanaman di taman hati tersebut.

Sebagai contoh kecil seperti apa yang dialami seorang teman saya. Suatu waktu dia ingin memulai untuk ikut sholat berjamaah di masjid di lingkungan kantornya. Ketika itu di hatinya muncul bisikan-bisikan yang menyatakan bahwa pada dasarnya dia pergi ke masjid agar dikira sebagai orang yang alim, ingin dilihat orang di lingkungan kantornya.

Begitu juga apa yang sering terbersit di dalam hati saya ketika saya akan, ketika, maupun setelah melakukan suatu perbuatan baik. Amal yang saya maksudkan untuk menghiasi taman hati saya dengan keikhlasan dan tawadhu, munculah perasaan di hati saya agar dilihat, didengar, dipuji dan disanjung orang lain, serta untuk membuktikan bahwa amal saya tersebut menunjukkan bahwa saya lebih baik dan lebih mampu daripada orang lain.

Yang jelas, keadaan yang dialami saya dan teman saya, sudah pasti akan mengurangi bahkan menghilangkan keindahan taman hati. Lantas apa yang harus saya dan teman saya lakukan? Apakah kami harus berhenti memperindah taman hati karena khawatir akan tumbuh rumput-rumput liar yang merusak segala keindahannya?

Teman saya yang lain akhirnya memberikan masukan. "Jika kita berbuat baik karena ingin dilihat dan dipuji orang, itu namanya ria. Di sisi lain jika kita tidak ingin melakukan kebaikan karena khawatir akan terjangkiti ria dan takabbur, maka selamanya kita tidak akan pernah melakukan kebaikan."

Sebuah solusi akhirnya kami temukan. Kami akan tetap berusaha akan melakukan kebaikan diawali dengan perbaikan niat, serta diiringi dengan istighfar sebagai alat untuk mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh, agar taman di hati kami tetap indah, dan berharap lama-kelamaan rumput-rumput liar itu akan enggan untuk tumbuh di taman hati.