Mencari Hikmah di Antara Para Mapala

Mapala. Mahasiswa pecinta alam. Apa yang terlintas di benak Anda saat membacanya?

Mungkin sebagian orang berpikir bahwa hal-hal yang dilakukan para pecinta alam itu seperti kurang kerjaan. Naik gunung, memanjat tebing, rafting, dan lain sebagainya. Apa sih yang bisa didapat dari situ? Paling -paling hanya refreshing, bersenang-senang, menenangkan pikiran, melhiat pemandangan-pemandangan indah ciptaan-Nya.

Tetapi…
Di sini kami smua belajar banyak
Di sini kami merasakan kebersamaan yang sesungguhnya
Di sini kami mendapat keluarga yang baru
Di sini kami mengenal arti persahabatan dan kekeluargaan
Di sini kami belajar memaknai apa yang orang sebut ‘setia kawan’
Di sini kami belajar menerima perbedaan

Saya, di organisasi pecinta alam kampus saya, merasa sudah mendapatkan banyak hal. Di sini tidak hanya ada have fun. Saya menemukan keluarga di sini. Saya juga belajar banyak sekali.

Saya ingin selalu ikut dalam setiap kegiatan (walaupun kenyataannya tidak selalu bisa juga).
Kenapa?
Karena di sini ada ‘sesuatu’. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Saya tidak ingin menomorduakan organisasi ini dari aktivitas saya yang lain. Mungkin di saat saya memilih kegiatan ini dari kegiatan lain, sebagian orang akan berpikir bahwa saya menomorsatukan bersenang-senang, tidak penting, tidak prinsipil. Tapi mereka tidak tahu. Di sini bukan hanya senang-senang caving, climbing, dan lainnya. Ada yang lain di sini. Sesuatu yang memang dibutuhkan.

Sedikit cerita. Beberapa bulan yang lalu, di saat saya memutuskan untuk berubah dan ingin menjadi seorang akhwat, mereka menerima dan mendukung saya. Mereka bilang mereka percaya pada keputusan saya, padahal apa yang saya yakini dan mereka yakini berbeda, bahkan untuk beberapa orang mungkin sangat berbeda.

Waktu itu, saya menulis di buku curhat organisasi. Kurang lebih saya menulis, "Temen-temen, sekarang ada yang berubah dari Rani. Rani yang sekarang ga mau lagi salaman atau diboncengin co. Semata-mata karena bukan muhrim kok. It’s just principe. Beneran cuma prinsip kok, bukannya gw takut sama lo semua atau gimana-gimana. Jadi, mau ga nerima perubahan gw?"

Dan balasan mereka bermacam-macam walaupun intinya satu. Mereka menerima. Mereka menulis:
"Apik wae.." (tidak apa-apa)
"Kita malah bangga kok sama kamu karena kita tahu pasti ga gampang buat kamu untuk ngambil keputusan ini. "
"Tetep ikut kegiatanya Ran. Prinsip kamu ga masalah kok. "
"KIta dah pada dewasa kok Ran. Nyante aja, ga pa pa kok. Kita kan toleransinya tinggi. "
"Biarpun awalnya gw kaget dan bingung kenapa bisa begitu tapi gw ngerti kok karena lo pasti punya alesan sendiri buat milih itu. Kita semua pasti support lo kok. Tenang aja, gurl. "
"Ga pa pa kok. Gw pasti ngedukung lo. "
"Selamat dan sukses ya atas pilihan lo. Emang ya, hidup itu pilihan. "
dan hal-hal sejenisnya..

Jujur, setelah menulis itu saya sempat merasa khawatir, apakah nanti sikap mereka ke saya akan berubah? Apakah cara mereka berbicara dan bercanda ke saya masih akan sama?

Saya pun membuka buku curhat beberapa hari kemudian dengan deg-degan, kira-kira bagaimana ya respon mereka? Tapi ternyata kekhawatiran saya itu tidak beralasan. Alhamdulillah. . Memang benar kata-kata ‘di mana ada kemauan, di situ ada jalan. " Benar janji Allah, bahwa Dia akan senantiasa membantu hamba-Nya yang berusaha menuju ke arah-Nya.

Mereka bersikap biasa saja walaupun saat pertama bertemu di pandangan masing-masing termasuk saya ada tatapan meneliti. Malah saya jadi sering dicandai, "Ran.salaman dong!" sambil tertawa atau, "Ran.sini gw boncengin!" sambil cengengesan atau sedikit-sedikit bilang, "Eh eh.bukan muhrim, hehehe."

Dalam kegiatan apa pun mereka selalu mengajak saya dan sudah mempertimbangkan tumpangan saia sampai terkadang saya jadi merasa tidak enak sendiri.

Saat mereka bilang ga pa pa, mereka benar-benar serius. Itu salah satu poin plus anak-anak pecinta alam lagi. Mereka apa adanya dan mereka juga punya prinsip. Saya tidak pernah merasakan kepura-puraan di sana. Bila ada yang terasa mengganjal mereka bilang agar semuanya kembali lurus. Bila merasa perlu berterima kasih mereka bilang, sekecil apapun itu. Sikap saling menghargai, sadar atau tidak sadar, sudah mendarah-daging di sini. Sesuatu yang sayangnya mungkin sering dilupakan di tempat lain.

Mapala yang identik dengan rokok, miras, tampilan yang sangar, dan jauh dari Allah ternyata tidak seburuk yang mungkin terlihat dari luar. Yang akrab dengan mabuk-mabukan sebenarnya juga punya keinginan dalam dirinya untuk keluar dari kecanduannya sampai akhirnya kecanduannya itu berkurang dan berkurang, bahkan hilang. Yang jarang shalat mulai shalat walopun masih lebih sering tidak shalatnya. Tetapi mereka benar-benar berniat suatu saat nanti akan berubah. Walaupun masih menggunakan kata-kata ‘suatu saat nanti’ tetapi tetap saja sudah menunjukkan suatu hal positif apalagi dibarengi juga dengan perbuatan.

Intinya, di tempat ini kita bisa sharing apa saja. Jadi, jangan nilai seseorang lain dari tampilan luarnya saja karena di bali itu bisa saja sebenarnya orang tersebut memiliki banyak hal yang mengagumkan dan menginspirasi..

Wallahu alam bish shawab..