Mendung Tak Selamanya Berarti Akan Hujan

Jauh sebelum harga minyak tanah seperti sekarang ini yang mencapai Rp 5000 per liter, di mana orang sampai antri hingga tidak kebagian, bahkan minyak tanah menjadi barang langka, kita pernah mengalami sebuah episode kehidupan yang mana minyak tanah harganya masih murah sekali. Ironisnya, betapapun murah harga minyak tanah saat itu, sebagian besar masyarakat tidak juga mampu membelinya. Bukan karena apa-apa. Kondisi mereka waktu itu memang melarat sekali.

Rumah kami berjarak tidak kurang dari empat kilometer ke hutan. Waktu itu kondisi hutan tidak seperti sekarang ini yang sudah botak hingga gundul. Hutan menawarkan hawa segar dan rimbunan hijau dedaunan ditambah semaraknya margasatwa di dalamnya yang melengkapi keindahannya, membuat sempurnanya pemandangan alam. Sudah menjadi kebiasaan sebagian besar teman-teman sekolah saat itu, bila akhir pekan tiba, diisi dengan kegiatan mencari kayu. Saya duduk di kelas empat Sekolah Dasar.

Ibu memang tidak pernah menyuruh saya untuk mencari kayu sebagaimana teman-teman saya. Barangkali karena terdorong oleh niat untuk gabung bersama rekan-rekan sajalah, yang membuat saya mencari kayu ke hutan. Ramai-ramai, ba’da Solat Fajar, kami biasanya berangkat ke hutan.

Lagi pula saat itu belum ada berbagai macam larangan dari aparat Pemerintah untuk misalnya melindungi hutan, menebang kayu, memburu hewan liar, dsb. Kami juga tidak tahu apakah tanaman-tanaman yang begitu banyak di hutan sana itu milik perorangan atau liar. Yang saya tahu hanya ikut saja dan meniru apa yang diperbuat oleh teman-teman saya.

Clurit yang ada di tangan kanan saya, pada hari pertama nyaris tak bergerak lantaran saya tidak tahu bagaimana harus memulai menebang pohon. Basah atau kering, saya belum bisa membedakan dengan jelas. Abdul Malik, tetangga yang masih ada hubungan kerabat dengan kami, mengajarkan saya bagaimana cara menebang kayu serta mengumpulkan, kemudian mengikatnya untuk dipikul. Kelihatan sederhana memang, tapi kalau tidak punya pengalaman, yang sepele jadi terasa berat sekali. Saya menangis pada hari pertama mencari kayu. “Kenapa sulit sekali ya?” Keluh saya dalam hati.

Lambat laun, kegiatan mencari kayu adalah rutinitas bagi saya. Halaman rumah terkadang penuh dengan kayu, utamanya kala liburan panjang tiba. Sampai-sampai saya jadi repot, mau ditaruh di mana kayu-kayu ini jika harus berangkat ke hutan dan menebang lagi. Ada rasa bangga dalam hati ketika bangun dari tidur kemudian menengok ke halaman rumah bagian depan, yang sebenarnya tidak begitu besar, telah dipenuhi oleh jejeran kayu-kayu kering.

Terkadang Ibu bilang tidak usah ke hutan karena kayu masih banyak. Mungkin karena terlalu keenakan, mencari kayu di hutan jadi ‘hiburan’ tersendiri bagi saya. Saya menjajaki hutan satu ke hutan lainnya: Mbarek, Kaliwelang dan Ngepoh adalah tiga nama hutan yang kerap kami kunjungi. Andai saja waktu itu saya tahu kalau kayu-kayu tersebut bisa dijual, saya akan perdagangkan.

Sebagai alternatif selain mencari kayu, jika sore hari tiba, saya ke sawah yang bukan milik kami sendiri. Tidak jauh dari rumah. Bersama teman-teman, mencari bayam yang tumbuh liar di antara tanaman bawang merah, bawang putih atau jagung. Kami tidak tahu apakah tindakan kami ini baik atau tidak. Yang kami tahu hanya satu: kami tidak bermaksud merusak tanaman utama. Naluri kami mengatakan ‘seharusnya’ pemilik tanaman bawang ini berterimakasih karena kami berusaha ‘membersihkan’ tanaman-tanaman ‘liar’ yang ada di sekitarnya. Tapi siapa peduli niat ‘baik’ ini? Teriakan sang pemilik sawah dalam Bahasa Madura yang kental, membuat kami terkadang lari tunggang-langgang, karena dipikir mencuri atau merusak lahan pencaharian mereka.

Selain bayam, saya juga mencari krokot untuk makanan Jengkerik-jengkerik yang kami buru di sawah-sawah ini. Sebagai anak desa, waktu itu belum populer tontonan televisi. Apalagi Play Station. Saya memelihara Terwelu, Ayam, Burung Merpati hingga Jengkerik. Hewan-hewan ini menjadi penghibur tersendiri bagi kami. Saya juga terampil yang namanya bikin layang-layang, rumah burung juga rumah jengkerik yang terbuat dari anyaman bambu. Bahkan sapu pembersih rumah, keset yang bahan dasarnya kulit kelapa saya anyam sendiri untuk kebutuhan rumah.

Subhanallah. Jika saya hitung ketrampilan anak-anak seusia saya waktu itu, begitu banyak. Saya kurang paham apakah buah karya yang demikian, merupakan sumbangsih anak-anak kepada orangtua. Kayaknya tidak sampai sejauh itu pola pikir saya. Apalagi mengistilahkannya sebagai ‘orangtua yang memperkerjakan anak’. Yang jelas, dalam usia anak-anak, 11 tahun, yang saya mengerti hanya ‘kesenangan’ dibalik ‘kesengsaraan’ ini.

Sesudah dewasa pun, dalam abad yang boleh dibilang moderen ini, ternyata saya juga masih menjumpai orang-orang yang mencari kayu di belahan bumi lain di Tanah Jawa. Keprihatinan baru muncul terhadap lingkungan setelah mengetahui bahwa kayu-kayu yang kami potong dulu itu membuat hutan jadi gundul. Jika hutan gundul, tidak ada lagi tanaman yang menyerap air hujan. Bila hujan turun, maka bisa dibayangkan, longsoran tanah dan banjir. Bukan siapa-siapa yang menderita serta jadi korban, kecuali kami: rakyat kecil yang dulu ‘mencuri’ kayu-kayu di hutan.

Makanya, begitu saya melihat para petani di Selatan Pulau Jawa waktu itu setiap saat menebang kayu-kayu besar sejenis Pohon Pinus, saya tidak segan-segan mengingatkan mereka saat menebang, untuk selalu menyiapkan tanaman baru sebagai pengganti, agar proses reboisasi berlangsung mulus. Meskipun profesi saya tidak ada kaitannya dengan hutan. Meskipun saya bukan jebolan teknologi pertanian atau kehutan.

Tapi yang namanya kebutuhan hidup, siapa yang bertanggungjawab? Jika saya melarang mereka menebang kayu di hutan, apakah saya yang akan mensuplai minyak tanah atau makanan ke setiap rumah tangga di desa itu yang jumlahnya kian hari kian membengkak? Apakah saya yang bertanggungjawab akan nyalanya api dapur mereka tanpa melibatkan campur tangan kayu-kayu kering dari hutan ini, sekalipun memang benar bahwa menebang kayu di hutan secara liar bakal berakibat seperti di atas? Isi perut, pakaian, sekolah dan kebutuhan sosial lainnya perlu dijawab pemenuhannya.

Hidup memang jadi tidak lagi mudah bagi orang-orang seperti kami dulu, bahkan sampai sekarang di belahan-belahan bumi lainnya.

Lain halnya orang-orang kita yang tingal dan bekerja di Timur Tengah. Di tengah padang pasir, tidak ada tumbuhan, apalagi bayam dan pohon pinus. Jengkerik, meski saya temui beberapa kali di flat tempat saya tinggal, tapi jenisnya tidak sama dengan di desa saya dulu. Tidak ada orang berburu, tidak pula menebang kayu. Curah hujan tidak sederas di negeri sendiri. Pula ancaman banjir tidak pernah muncul di halaman depan koran.

Yang namanya orang melarat dan sengsara itu, di Doha, Emirat atau Kuwait, tidak disangkal memang ada. Hanya saja, sebagian besar orang-orang kita menjalani hidup mereka dengan tenteram dan aman. Minyak tanah tidak ada, bukan masalah. Sebaliknya, cukup dengan menggunakan gas yang harganya sangat amat terjangkau. Bayam juga tidak tumbuh, tapi bisa di dapat dengan mudah di grocery depan rumah, tanpa perlu harus diobrak-obrak oleh pemilik sawah seperti pengalaman saya sewaktu kanak-kanak dulu. Semua fasilitas ada, semuanya tersedia, semuanya di depan kelopak mata.

Akan tetapi apakah semua kemudahan yang kita dapat itu disebabkan karena kita makhluk pilihan? Apakah segala bentuk rahmah ini lantaran ibadah kita sudah prima? Apakah pula kenikmatan dan tersedianya fasilitas hidup ini lantaran balasan yang dilimpahkan Allah SWT atas segenap kebaikan yang telah kita ukir di masa lalu? Ataukah semua ini adalah ‘balasan’ Allah atas budi baik kita selama di dunia ini?

Dalam sejarahnya, semua Nabi dan Rasul tidak ada yang perjalanan hidupnya mulus atau sarat dengan kenikmatan. Nabi Yunus A.S pernah ditelan ikan paus. Nabi Musa A.S. dilecehkan oleh umatnya dan Firaun. Umat Nabi Nuh A.S. ditelan banjir. Nabi Isa A.S. dikejar-kejar oleh orang-orang Yahudi. Nabi Ibrahim A.S. dibenci bahkan oleh ayahnya sendiri. Dan Rasulullah Muhammad SAW sepanjang hidupnya nyaris tidak pernah sepi dengan berbagai bentuk gangguan, cobaan dan penderitaan fisik dan psikis. Namun, semua itu ternyata tidak mengurangi nilai dan martabat semuanya sebagai orang-orang yang dimuliakan Tuhan! Subhanallah! Semakin banyak ujian yang diberikan kepada Manusia-Manusia pilihan ini, semakin tinggi derajat mereka di ‘Mata’ Sang Pencipta.

Agama rasanya tidak ada relevansinya dengan penderitaan atau kebahagiaan. Menjalani aturan-aturan yang ditetapkan dalam agama tidak berarti lantas kita akan mendapatkan buahnya dengan mengenyam kebahagiaan atau kenikmatan di dunia ini. Menjalankan perintahNya tidak juga berarti kita akan memperoleh ‘hadiah’ berupa perjalanan hidup yang mulus.

Sebaliknya, penderitaan, bencana, sakit, kemiskinan serta berbagai macam ujian lainnya yang menimpa kita tidak pula harus diartikan bahwa Tuhan mengazab kita lantaran kita ‘kurang’ atau ‘tidak berbakti’ kepadaNya. Pula tidak seharusnya ada buruk sangka kepadaNya, meski kebaikan yang kita bina ternyata tidak ‘dibalas’ dengan ‘kebahagiaan’ olehNya.

Segala bentuk kebajikan yang kita renda di dunia ini ternyata memang tidak harus menjelma menjadi telapak meja indah, yang siap dibentangkan di atas permukaan kehidupan ini! Wallahu a’lam!

Doha, 21 October 2008

[email protected]