Mengajar dengan Bahasa Cinta

Julukan pahlawan tanpa tanda jasa yang diberikan kepada guru memang tak berlebihan. Mencurahkan perhatian dan membagi ilmu kepada anak didik adalah perbuatan mulia. Guru merupakan orang tua kedua, di mana mereka mengajarkan tentang pelajaran dan sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Tak terbayang pengabdian sekian hingga puluhan tahun di dunia pendidikan demi membentuk para tunas bangsa menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Agaknya, terima kasih saja belum cukup untuk mengungkapkan rasa hormat kita kepada mereka akan bimbingan selama belajar di bangku sekolah.

Maka, sudah selayaknya pemerintah memberikan apresiasi kepada para guru. Sebab, jauh sebelum masa sertifikasi seperti sekarang, kesejahteraan para guru terbilang cukup memprihatinkan. Apalagi bagi guru yang mengajar di daerah-daerah terpencil dan jauh dari sentuhan informasi. Gaji yang mereka dapatkan kadang jauh dari kata cukup dan tak sepadan dengan pengorbanan serta pengabdiannya selama bertahun-tahun.

***

Ketika kantor kami pernah mengadakan program untuk guru di Jawa Timur, banyak pengalaman dan hikmah yang bisa saya petik dari beliau-beliau, para tenaga pendidik tersebut. Dalam suatu semiloka, saya sempat berbincang dengan beberapa guru. Di antara mereka mengaku bahwa menjadi guru adalah cita-cita mereka. Bahkan, di antaranya pun sadar bahwa tidak mudah untuk menghadapi kenyataan minimnya apresiasi terhadap para guru saat itu.

Tegar dan optimistis. Itulah spirit yang mereka usung dalam mendampingi anak-anak didik mereka. Mengajar dengan sepenuh hati. ”Saya mengajar bukan karena uang semata karena penghasilan guru tak seberapa. Namun, nasib para guru pun tolong diperhatikan, ” tutur salah seorang guru. Ya, tidaklah kecil tanggung jawab yang disematkan di bahu para guru.

Tak sedikit orang tua yang mengeluhkan jika nilai anak mereka jeblok kepada guru. Tak jarang pula, para orang tua menuntut guru harus bisa membuat prestasi anak didiknya meningkat, atau minimal lulus ujian dengan angka baik. Sungguh, ini bukan hal yang semudah membalikkan telapak tangan.

Namun, melihat kesabaran dan kecintaan para guru terhadap profesi mereka, pantaskah guru harus disudutkan dengan dilematika seperti itu? Ada guru yang menyambi memulung sampah plastik seusai mengajar di sekolah. Ada pula guru yang menyambi menjadi tukang pijat keliling kampung. Keadaan ekonomi serba sulitlah yang membuat mereka rela melakukannya. Pendapatan dari mengajar tak cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga selama sebulan. Selama pekerjaan sambian itu halal, mereka mengaku ikhlas menjalaninya sembari tak melepaskan tanggung jawab mendidik murid-muridnya. Subhanallah.

Sebuah kisah dari seorang guru SD di Lamongan mampu membuat mata saya basah dan merenungi kembali betapa selama ini posisi guru di daerah seperti beliau tidaklah mudah. Guru tersebut bertutur bahwa pendapatannya dari hasil mengajar hanya sebesar Rp 150 ribu per bulan. Sebagai guru tidak tetap, kondisi tersebut memaksanya untuk bekerja sambian sebagai tukang becak. Sedangkan isterinya membantu ekonomi keluarga sebagai buruh tani. Malu? Tidak. Beliau melakukannya dengan tabah dan senang hati. Meski demikian, beliau memiliki cita-cita agar anaknya bisa mengenyam pendidikan sampai sarjana agar tak mengalami nasib seperti kedua orang tuanya. Cintanya pada profesi guru pun ditekuni dengan rasa tanggung jawab tinggi. Subhanallah.

Patah tumbuh hilang berganti. Namun, harapan itu terus menyala di sanubari sang guru untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Sementara masih banyak murid yang acap membuat gaduh di kelas, tidak menghormati saat gurunya menerangkan materi pelajaran, tapi perhatian dan buaian ilmu tetap diberikan oleh bapak dan ibu guru. Terkadang, saya merindukan masa lalu di saat mengenang semasa di bangku sekolah dasar kelas satu. Huruf demi huruf saya eja lewat tuntunan ibu guru. Setelah huruf, lalu menghafal kata dan mengucapkan kalimat lengkap. Saya atau kita mungkin belum tahu apa-apa tentang kalimat dan materi pelajaran waktu itu. Hingga akhrinya belajar memahami materi pelajaran dengan terapannya. Kita bisa karena guru. Kita belajar dengan tuntunan guru. Tugas mulia dan tanggung jawab guru atas kelangsungan pendidikan ada karena cinta. Sebab, mereka mengajar dengan bahasa cinta yang tak pernah meminta balas jasa dari murid lewat ilmu yang diberikannya. Terima kasih bapak dan ibu guru.

[email protected]