Mengapa Aku Fully Covered

Alhamdulillah, atas perkenan-Nya aku dapat menunaikan rukun islam yang ke lima tiga tahun lalu. Seperti halnya orang lain, setahun sebelum keberangkatan, aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya.

Mendekati hari keberangkatan, kami menyempatkan diri pergi ke tanah abang untuk membeli keperluan selama di tanah suci. Ketika berbelanja, suamiku bertanya,”Nggak beli cadar, Mi?”

“Ow, cadar, ya udah beli deh!” jawabku.

Awalnya, walaupun sudah terbeli, belum ada niatan yang bulat untuk memakainya. Tapi, suami dengan sangat halus memberi dorongan.

“Kalau bukan di tanah suci, di mana lagi, Ummi akan merasa “tak terbebani” atau dianggap aneh dengan memakai cadar. Tidak ada yang mengenal kita di sana.”

….

Berangkat dari tanah air, aku masih biasa, memakai jilbab sesuai syariat. Kami sampai di Madinah pada tengah malam. Pada pukul 2.30 pagi waktu setempat, aku bersiap-siap untuk melaksanakan shalat shubuh di Masjid Nabawi. Pada waktu itulah, pertama kalinya aku keluar dengan memakai cadar. Pikirku waktu itu, lakukan sekarang atau kamu akan kehilangan moment untuk me-release-nya.

Sebelumnya, suamiku sempat memberi tausiah(nasehat),..”Kita akan menginjakkan kaki kita di tanah-tanah yang dahulu pernah diinjak oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Kita akan berkunjung ke makam Rasulullah SAW. Alangkah malunya, jika beliau melihat kita tidak menutup diri secara kaffah.”

Mendengarnya bicara seperti itu, ada yang bergemerincing di hatiku. Diam-diam ada setitik air mata mengalir. Ya Allah,…Ya Rasulullah…

….

Ada beberapa peristiwa yang menjadi kenangan dengan bercadarnya aku sewaktu di tanah suci. Sesama rombongan, kita memang menginap di satu hotel di Madinah, tapi tentu saja menempati kamar yang berbeda. Pernah teman sekamar belum datang, jadi kamar masih terkunci. Karena ingin buang air, aku berkunjung ke kamar tetangga sesama rombongan. Aku mengetuk pintu, ketika dibuka, semua yang ada di dalam kamar itu, yang kebetulan sedang leha-leha di tempat tidur langsung berdiri. Aku sendiri cukup kaget dengan reaksi mereka. Dan akupun tidak sadar bahwa penyebab kagetnya mereka adalah cadarku,…ketika ku buka cadarku seraya berkata, ini saya Ibu Amir, mereka langsung terduduk lemas. Rupanya mereka ketakutan, dan mengira aku ini askar yang hendak menginspeksi kamar mereka.

Pengalaman lain ketika berada di mekkah,…aku dan suami dihalang-halangi ketika hendak naik lift yang menuju kamar kami. Petugas itu mengira kami adalah tamu yang hendak berkunjung. Dengan sedikit kemampuan bahasa arabnya, suami menjelaskan bahwa kami juga adalah jemaah haji dan menginap di asrama ini. Dan hal ini terjadi beberapa kali pada awalnya.

Kepada sesama rombongan, jika mereka bertanya mengapa aku bercadar, jawabku adalah ,”Iya nih, mumpung di Tanah Suci.”

Mendekati kepulanganku ke Tanah Air,…aku yang awalnya benar-benar bercadar karena mumpung di Tanah Suci, lama-kelamaan merasa mencintai pakaian ini. Akhirnya, aku bersimpuh di depan Ka’bah. Kupanjatkan do’a,..”Ya Allah, sekiranya baik bagi kehidupan dunia dan akhiratku, kuatkan niatku untuk bercadar. Ya Allah, seandainya inilah yang Engkau inginkan atas diri ku, jangan biarkan siapapun dan apapun menggoyahkan takadku untuk bercadar hingga saat perjumpaanku dengan-Mu.”

Rasanya Allah menjawab do’aku dengan semakin kuatnya keinginanku untuk istiqomah memakai cadar. Ada perasaan berat jika harus melapasnya.

Kusadari, kurasakan,…memakai cadar membuatku merasa nyaman dan terlindungi.

…..

Setibanya di Tanah Air,…walau tidak berkata-kata apa-apa banyak yang merasa kaget dengan cadarku. Aku memang tidak menginformasikan kepada keluargaku dll-nya, bahwa aku merubah penampilan .

Pertama-tama, cukup surprise juga, ketika, sekelompok anak yang berpapasan denganku menghindar seraya berkata,”Hiii ada Ninja.” atau ada yang berlarian sambil berteriak,”Awaaas ada Hantu!”

Lama-kelamaan jadi terbiasa. Pamor cadar cukup menanjak setelah dirilisnya film Ayat-ayat Cinta. Banyak yang tidak phobia lagi dengan cadar. Bahkan pernah, ketika berjalan-jalan di Ragunan dengan keluarga, seorang anak perempuan berbisik-bisik cukup keras dengan temannya,”Ada Aisyah.”

Ada seorang bibi, yang mengetahui aku bercadar, memberi wejangan, agar berhati-hati kalau mau melakukan sesatu. Cari dulu dalilnya, baca kitabnya dll.

Kalau masalah dalil dan kitab, Insya Allah kami punya kitabnya dan sudah membacanya dan memang ada dalilnya-walaupun menimbulkan banyak penafsiran. Suami mendorong upaya aku bercadar, karena ia tahu ilmunya. Dan akupun memiliki dorongan batin tersendiri.

Tapi, kalau ada yang bertanya Mengapa aku bercadar, akupun menjawab disuruh suami. Daripada menimbulkan perdebatan yang panjang jika aku jawab panjang lebar. Dan biasanya jawaban ini cukup ampuh.

Tapi kalau kebetulan yang bertanya, agak feminis, mereka akan berkomentar,”Suamimu keras yaa?”

Suamiku nggak keras sebenarnya, hanya tegas. Tapi, aku justru merasa Romantis, suami menyuruh aku bercadar.

Terlepas dari hukum apakah wajib atau sunah atau hanya tradisi orang arab, aku nggak mau ambil pusing. Kalau ternyata wajib, Alhamdulillah, ternyata aku sudah mampu menunaikannya. Kalau ternyata sunah, Alhamdulillah, bisa mengerjakan yang sunah. Kalau cuma tradisi, Alhamdulillah, aku mampu menjaga orang lain dari memandang aku. Bukankah Allah perintahkan agar baik kaum muslim dan muslimah agar menundukkan sebagian pandangannya?

Yang terpenting aku merasa bahagia dengan keputusan ini. Aku merasa lebih “bebas” dengan pakaianku. Benar-benar merasa jadi diri sendiri.

Begitu banyak komentar, ada yang bilang,”Emang nggak ribet?”

Aku menjawab dalam hati,”Ribet sih,…tapi daripada ribet urusannya di akhirat, lebih baik ribet di dunia.”

Ada lagi yang komentar,”Emang nggak panas?”

Aku jawab lagi dalam hati, “Ya pastilah panas,…tapi daripada kepanasan di akhirat, lebih baik kepanasan di dunia.”

Sebenarnya,…inilah caraku mengatakan

I Love You…Ya Allah

I Love You…Ya Rasulullah

I Love you my dear husband.

Ummu Ali