Mengenang Isteriku Yunita

Kutatap dengan haru gundukan pusara yang baru saja diuruk tanah. Tertulis di atas sekeping kayu yang tertancap di atas pusara:  ” Yunita S. binti Harmen, lahir 24 Juni 1969, wafat 19 November 2009 ”. Kupeluk kedua puteriku. Tak terasa air mata kami bertiga membasahi pipi. Suasana pagi yang cerah oleh sinar matahari di TPU-Islam Cikutra, Bandung di bawah rerimbunan pepohonan makam terasa hening.

Setelah kakakku mewakili keluarga menyampaikan ucapan terima kasih dan permohonan ma’af  atas salah dan khilaf almarhumah,  aku dan rombongan keluarga beserta para hadirin takziyah meninggalkan makam. Tak lama kemudian cuaca berubah sedikit mendung. Usai pemakaman, aku mengikuti sholat Jum’at. Saat itu hujan turun deras tiada henti hingga sekitar jam 21.00 WIB. 

Suasana yang mengingatkan ketika berlangsung  akad nikah antara aku dengan almarhumah isteriku 23 Februari 1990. Sama-sama hari Jum’at. Saat itu bertepatan dengan hari Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW. Ketika akad nikah berlangsung pada pagi hari matahari bersinar cerah. Usai akad nikah aku mengikuti sholat Jum’at dan hujanpun turun dengan derasnya.

Rasa lelah perjalanan Bontang – Balikpapan – Jakarta  – Bandung yang sangat panjang masih terasa. Apalagi sepanjang perjalanan yang memakan waktu lama, hingga pagi ini mataku belum sedikitpun bisa dipejamkan untuk tidur. Perjalanan darat mengawal jenazah almarhumah isteriku dari Bontang ke Balikpapan sekitar lima jam, kemudian dilanjutkan dengan pesawat Balikpapan ke Jakarta selama dua jam dan disambung perjalanan menuju rumahku di Bandung  sekitar 3 jam.

Saat mobil jenazah memasuki halaman rumah, jam tanganku menunjukkan angka 23.05 WIB. Keluarga besarku telah memutuskan pemakaman akan dilakukan besok pagi.

Peti berisi jenazah diusung ke dalam rumah. Tangis puteriku yang sulung dan ibu mertuaku memecah kesunyian. Si sulung baru mengikuti perkuliahan semester 3 di ITB. Adiknya masih duduk di kelas 3 SMA di Bontang.

Sehari sebelum isteriku dipanggil Allah SWT, aku baru saja pulang dari bertugas di Jakarta. Isteriku masih sempat menjemput aku di bandara Bontang. Tidak ada tanda-tanda sakit. Wajahnya terlihat cantik dan cerah saat aku menemuinya di ruang kedatangan bandara Bontang. Biasanya dia mencium tanganku seperti saat aku berangkat dan pulang kerja atau dari dari bepergian. Tetapi kali ini agak lain, aku dipeluknya dan diciumnya dengan mesra di tengah kerumunan penumpang dan penjemput.

Sampai di rumah dia langsung berwudu dan memunaikan sholat Asar. Aku sudah sholat jama’ Dhuhur – Asar di bandara Balikpapan.  Usai sholat Asar, sajadah dan mukena dibereskannya dengan rapi.” Ayo, pa ….mumpung si adek belum pulang, ” katanya manja sambil mengajakku menuju tempat tidur. Alhamdulillah, kami dapat melepas  kerinduan dengan bermesraan berdua disertai niat ibadah mencari ridho Allah  SWT. Ternyata ini adalah kesempatan terakhir kami berdua memadu cinta kasih. Tidak akan terlupakan. Sama seperti saat kami berdua pertama kali bermesraan di kamar pengantin pada sore hari menjelang Asar, usai akad nikah di pagi harinya.

 Keesokan harinya, aku dibangunkan isteriku, ” Papa bangun, cepat sahur dan sholat Subuh di Masjid ”. Kulihat jam dinding menunjukkan jam 4.22 WITA. Aku segera bergegas untuk sahur karena aku secara rutin menjalankan ibadah shaum sunnah hari Senin-Kamis. Biasanya aku sudah terbangun jam empat kurang lima belas menit dini hari. Setelah mandi, dilanjutkan sholat tahajud dan sholat Subuh di Masjid.

Malam hari itu aku tidur pulas sekali. Tidak ada waktu untuk mandi pagi dan sholat tahajud. Waktu Subuh jam 4.35 WITA.

Selesai sahur aku berwudu dan pamit kepada isteriku untuk sholat Subuh di Masjid. Saat itu dia sedang membenahi tempat tidur dan bersiap melaksanakan sholat Subuh. Aku diantarnya sampai ke depan pintu ruang tamu. Tak kusangka saat itu merupakan pertemuan terakhir dengan isteriku.  Ketika aku melangkah ke dalam mobil, terdengar azan berkumandang dari Masjid Baiturrahman yang berada dalam kompleks perusahaan tempatku bekerja

Selesai sholat dan berdo’a, HP-ku berdering. ” Git, isterimu baru diantar ke rumah sakit, asmanya kambuh,” tetangga depan rumah yang sangat akrab denganku menelepon. Aku segera tancap gas. Selesai memarkir mobil, aku segera menuju unit gawat darurat rumah sakit. Kulihat isteriku tergolek  tidak sadar di atas dipan. Alat bantu pernafasan dan alat infus terpasang di tubuhnya.. Mukanya pucat. Selama 30 menit dokter dan dua orang tenaga medis berusaha memberikan pertolongan.

Kemudian dokter menyampaikan bahwa isteriku tidak bisa tertolong. Berbagai usaha telah dilakukan namun Allah SWT berkehendak bahwa isteri telah sampai pada penghujung umur. Kemudian aku diminta untuk berdo’a dan membimbing isteriku dengan kalimat thoyibah. Tidak ada reaksi, kemudian aku menelepon kakakku agar memberitahu kerabat dan rekan-rekan sejawat dari persatuan isteri karyawan bahwa kondisi isteriku kritis dan tidak tertolong lagi.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Tepat pukul 6.30 WITA semua alat bantu dilepas dari tubuh isteriku, wafatlah dia dengan tenang. Isteriku yang sholihah telah dipanggil oleh Allah SWT. Aku dipersatukan dengan isteriku dalam ikatan pernikahan pada hari Jum’at  27 Rajab 1410 H bertepatan hari Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW. Dan dipisahkan oleh wafatnya isteriku pada hari Kamis 2 Dzulhijjah 1430 H.

Isteri yang selalu mengingatkanku untuk sholat Dhuha setiap hari. Jika dia turut aku ke sholat Subuh di Masjid Baiturrahman, kami pulang menjelang matahari terbit. Karena menungguinya yang tengah menekuni bacaan Al Qur’an usai sholat. Mushaf Al Qur’an ukuran saku yang dibelinya di Madinah saat kami sekeluarga berhaji dua tahun yang lalu selalu berada di dalam tasnya.  Dia aktif  sebagai ketua majelis pengajian ibu-ibu di lingkungan rumah sekitar dan juga aktif sebagai pengurus persatuan isteri karyawan di perusahaan tempatku bekerja semasa hidupnya.

“ Selamat jalan isteriku untuk memenuhi panggilan Allah SWT dengan bekal takwa dan amal shalehmu. Aku dan kedua puteri kita ridho atas kepergianmu. Do’a selalu kumohonkan kepada-Nya untukmu usai sholat  : ‘ Allahumaghfirlahaa, warhamhaa, wa ‘ afihi wa’fuanhaa. Allahumma laa tahrimna ajrahaa, wa laa taftina ba’dahaa. Waghfirlana, walahaa.’ Kedua puteri kita yang sholihah sepertimu juga senantiasa mendo’akanmu. “ Itulah ungkapan kata-kata terindah untuk almarhumah isteriku.

Semoga Allah SWT menerima amal ibadahnya, mengampuni dosanya, memberinya kenikmatan di alam kubur dan kelak mempertemukan aku dengannya sebagai suami isteri di surga. “Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan.” (QS Yaasiin[36]:55-56)

 

Bontang,  26 Dzulhijjah 1430 H.