Menggapai Hidayah

Nuri Saraswati, seorang gadis 16 tahun yang beranjak memasuki gerbang SMU disalah satu kota besar di Jawa Timur. Berperawakan sedang, berwajah manis, supel dan ceria menjadi karakternya, hingga tidak mengherankan jika banyak temannya. Sebut saja Septiawati atau biasa dipanggil Tia dan satu lagi temannya yang paling konyol dan selalu ngocol di manapun berada siapa lagi kalau bukan Cahyaningrum, lebih suka kalau dipanggil Chaca (katanya sih biar lebih kerenan dikit).

Mereka bertiga sahabat mulai SMP dulu dan tetap berlanjut sampai SMU kini, karena dulu ketiganya sepakat untuk mengambil pilihan sekolah yang sama, biar teus terjaga kekompakannya. Di antara mereka bertiga Nurilah yang paling disegani karena selain dari keluarga yang berada, pandai dan berwajah cantik di antara kedua sahabatnya itu.

Pelajaran sekolah saat itu masih belum berjalan karena masih dilaksanakannya masa orientasi untuk siswa baru. Orientasi siswa atau yang sering disebut OSPEK inilah yang paling ditunggu oleh kakak senior untuk menunjukkan ke’senior’annya di hadapan mereka-mereka yang masih yunior. Dengan segala tingkah polah yang dibuat-buat mereka selalu memanfaatkan momen ini untuk melakukan semua yang diinginkannya. Seperti yang dijumpai ketiga sahabat ketika waktu istirahat tiba.

“Aduh, kayaknya kita harus cari tanda tangan panitia OSPEK lagi deh. Kalau tidak pasti kita kena damprat lagi. Kemarin aja aku harus bernyanyi Bintang Kecil yang hurufnya diganti o karena gak dapet tanda tangan secara lengkap,” gerutu Tia pada kedua sahabatnya.

“Ya udah kita cari tanda tangan ke mereka yuk…! Itu di sana ada Kak Andra yang sedang dikerubungi teman-teman,” ajak Nuri pada keduanya. Kompak mereka menjawab “Ayuk …!” sambil berlari kecil menuju ke seseorang yang banyak dikerubungi siswa berseragam putih biru dengan rambut kepang 2 dan pita merah putih.

“Kak Andra boleh minta tanda tangannya, ya…” rajuk Chaca pada seseorang dihadapannya. “Sangat boleh adik-adikku, tapi ada syaratnya,” jawab Andra dengan gaya sok jaim (jaga image). “Kok pakai syarat-syarat segala sih padahal tadi banyak teman yang langsung dapat lho…” bela Tia tak mau kalah. “Ya sudah kalau gak mau siapa juga yang butuh, kan bukan aku,” katanya lagi membela diri. ”Iya-iya kita mau syaratnya apaan sih?” katanya Chaca dengan sedikit kesal.

”Kalian bertiga harus nyanyi lagunya Evie Tamala yang judulnya Selamat Malam itu sambil berjoget!” kata Andra dengan gaya pemimpin pada bawahannya. “Apa sambil berjoget, kalau itu kami gak mau,” bela Nuri yang sedari tadi bungkam. ”Lagian ngasih syarat gak ada manfaatnya sama sekali, kerenan dikit seperti baca puisi misalnya,” lanjut Nuri. “Kalian ini mempersulit diri sendiri ya, kalau gak mau jalanin syaratku pergi sana,” bentak Andra kasar pada ketiganya.

“Oke-oke kita mau kok jalanin syarat kakak itu,” kata Tia dan Chaca bebarengan karena takut dengan bentakan Andra barusan itu. “Kalian apa-apaan sih, pokoknya aku tetap gak mau ngejalanin, titik!” Nuri tetap keukeuh pada prinsipnya. Bisa ditebak adegan berikutnya Tia dan Chaca nyanyi lagu Selamat Malamnya Mbak Evie dengan suara ngepas banget dan joget ala kadarnya, kecuali Nuri yang tetap berdiri layaknya patung melihat kedua sahabatnya itu berlaku konyol. Akhirnya Andra memberikan tanda tangannya pada Chaca dan Tia, tiba giliran Nuri meminta Andra gak mau ngasih tanda tangan karena belum melaksanakan syarat yang telah diajukan. Nuri tentu saja kesal dengan sikap arogan dan senioritas panitia cowok satu ini, akhirnya Nuri memberi jalan tengah.

“Begini saja Kak Andra saya akan berdeklamasi puisi saja, karena saya memang tidak punya bakat seperti kedua teman saya tadi,” solusi Nuri. “Baiklah nona manis karena kau, aku akan menuruti permintaanmu kali ini,” jawab Andra. Belum satu bait puisi dibacakannya bel tanda masuk berbunyi, semua anak-anak berhamburan menuju ke kelasnya masing-masing. Akhirnya dengan berat hati Andra pun memberi tanda tangannya pada Nuri untuk merampungkan pekerjaannya yang tertunda. Nuri tak henti-hentinya bersyukur dan mengucap hamdalah karena hukumannya tidak bisa dijalankan secara optimal.

Hari-hari melelahkan OSPEK akhirnya telah dilalui oleh semua siswa baru, begitu juga dengan Nuri, Tia maupun Chaca. Mereka merasa senang dan lega sekali karena bisa mengenakan seragam baru SMUnya serta pertama kali menerima pelajaran SMU yang sudah lama ditunggunya. Hari-hari mereka selalu diwarnai dengan tawa, canda dan kegembiraan layaknya sebagai siswa baru yang menikmati indahnya masa SMU. Pada suatu hari ketika mereka bertiga di kantin berpapasan dengan Andra siswa kelas 2 yang dulu pernah menghukum mereka saat OSPEK.

“Hai adik-adik masih ingat aku khan!” sapa Andra sok akrab. Nuri dan Tia tidak terlalu menanggapinya, tetapi Chaca malah membalas “Tentu saja masih ingat dong Kak Andra”. Tentu saja kedua sahabatnya itu geram dan lekas menarik tangan Chaca untuk segera meninggalkan tempat itu. Sambil kebingungan Chaca menuruti saja ajakan kedua temannya itu. Tia menasehati “Cha, kamu jangan terlalu lugu dong, Kak Andra kan hanya berbasa-basi saja selain itu dengar-dengan Kak Andra itu suka mainin cewek lho…!”, “Masak sih…” sanggah Chaca dengan wajah tak mengerti. Nuri menengahi “Sudah-sudah jangan suudzon aja sama orang, masuk kelas yuk bel dah bunyi tuh!” Mereka akhirnya berpencar menuju kelasnya masing-masing.

Diam-diam Andra ternyata mengagumi kecantikan dan kepandaian Nuri, untuk itu mulailah tahap pe-de-ka-tenya dilancarkan. “Nuri, dapat salam tuh dari Kak Andra kelas 2 katanya kapan bsa main ke rumahmu,” kata Sissy teman sekelasnya. Mendengar itu Nuri tentu saja hanya bisa berbengong ria dan memerah wajahnya menahan malu karena teman-temannya banyak yang mendengar hal itu. Tetapi langsung dikendalikan hatinya dan dengan kalem menjawab “Walaikum salam warahmatullah,” katanya. Andra tidak berhenti diditu saja tetapi juga melancarkan pendekatannya langsung ketika pulang sekolah pada Nuri yang sedang diincarnya. Nuri yang berkomitmen tidak akan berpacaran dulu selagi masih sekolah tentu saja menolak dengan halus setiap kali Andra selalu mendekatinya.

Lambat laun Andra capek juga menghadapi Nuri yang sulit untuk didekati apalagi dijadikan pacar sekiannya. Dengar-dengar Andra akhirnya memilih Sissy yang memang sejak dulu kecentilan naksir Andra. Nuri sendiri beberapa hari ini disibukkan dengan kegiatan organisasi yang diikutinya, seperti OSIS, KIR dan PMR. Aisyah, muslimah berjilbab yang aktif di organisasi keIslaman mulai mendekati Nuri dan teman-temannya untuk diajak mengikuti segala kegiatan, seperti mentoring, kajian, atau belajar Al-Qur’an. Nuri dan teman-temannya tentu saja tak pernah menolak ajakan itu, karena mereka berprinsip segala kegiatan positif yang dilakukan pasti akan membawa manfaat. Nuri mulai rutin dan sering aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan BDM sekolahnya, tidak begitu dengan kedua temannya yang lebih mementingkan kegiatan di KIR atau PMR.

Seringnya mendengar kajian tentang batas pergaulan seorang laki-laki dan wanita dalam Islam dan kewajiban seorang wanita yang telah akil baligh untuk menutup auratnya, membuat Nuri merenung dan berpikir mendalam. Setelah berpikir matang-matang akhirnya Nuri mulai memantapkan keinginannya untuk mengenakan jilbab. Alhamdulillah Ayah dan Ibunya tidak berkeberatan tentang niat dan keinginannya kala itu untuk segera menutup auratnya.

Mulailah pada hari Senin berikutnya Nuri resmi memakai jilbab dan memperlihatkannya ke semua penghuni sekolah. Tentu saja yang paling kaget saat itu adalah Tia dan Chaca sahabat terdekatnya karena keduanya belum tahu mengenai keinginan untuk menutup aurat. Beda dengan teman-teman baru Nuri di BDM semuanya sibuk mencium dan mendoakan Nuri, seperti yang dilakukan Aisyah saat itu, “Selamat datang ukhti sayangku, semoga tetap istiqomah ya…” Nuri hanya tersenyum saja karena sebagian istilah yang tidak begitu dipahaminya.

Nuri telah menggapai hidayah yang diberikan dan dianugrahkan Allah kepadanya. Dan Nuripun berjanji senantiasa akan terus memupuk dan menyirami benih-benih hidayah di hatinya agar bersemi selalu.

By: Nabila Fatmawati Semoga benih-benih di hatiku juga senatiasa mekar selamanya…