Menggapai Rezeki

Tengah hari Jum’at yang terik. Mobil yang saya kendarai merayap pelan membelah jalan menuju rumah. Karena setiap hari Jum’at waktu istirahatnya lumayan panjang, saya memilih makan siang dirumah bersama anak-anak, bukan di kantor seperti biasanya.

Arus lalu lintas menjelang waktu sholat Jum’at memang kerapkali padat. Banyak mobil dan motor, termasuk bus karyawan yang hilir mudik. Mengangkut sosok-sosok penuh kerinduan, demi memenuhi panggilanNya yang indah.

Ketika harus berhenti di pertigaan lampu merah. Mata saya tak sengaja menangkap sesosok tubuh ringkih berjilbab coklat yang sedang menarik gerobak besar melalui sisi kiri mobil. Gerobak khas pemulung yang penuh berisi barang-barang bekas. Ada sepeda kecil, drum bekas dan beberapa dirijen plastik bekas minyak goreng lima literan terikat di samping kiri dan kanannya.

Saking penuhnya, bila kita melihat dari belakang, sepertinya gerobak itu berjalan sendiri. Gerobak bertuliskan N14 KMRN yang di toreh secara sembarangan dengan cat warna putih itu, bergerak perlahan, namun pasti. Hati saya langsung merintih melihatnya.

Melihat pemulung dan gerobak seperti itu, adalah hal yang biasa di Sengata. Namun sepanjang pengamatan saya, belakangan jumlah mereka semakin banyak jumlahnya. Kebanyakan dari gerobak mereka tertulis huruf dan angka-angka. Yang menurut seorang teman saya, huruf dan angka tersebut menunjukkan register markas asal mereka. Misalnya dari Gang A, atau wilayah B. Belakangan di Sengata jumlah pemulung nampaknya memang semakin menjamur. Setiap hari dapat dengan mudah kita menemukan mereka berseliweran di ruas-ruas jalannya. Walaupun saya beberapa kali melihat dan membaca di media, di kota-kota besar banyak juga wanita yang melakoni profesi tersebut. Namun untuk di kota kecil Sengata, hal tersebut adalah hal yang masih asing dan janggal. Baru kali ini saya melihat ada pemulung wanita di sini.

Lampu hijau telah menyala. Perlahan mobil kembali merayap. Pelan. Sangat pelan, lalu berhenti samasekali. Hanya rentet klakson mobil – mobil yang nyaring melengking. Truk besar di depan saya mengeluarkan bunyi gas yang menggema, knalpotnya yang besar menghamburkan asap hitam pekat ke udara. Bunyi klakson semakin ramai, bahkan beberapa teriakan nyaring terdengar. “ Hoi, maju…, majuu..”. Sinar terik yang membakar udara terasa semakin panas. Suasana yang kerapkali membuat kata sabar sulit sekali di jangkau. Padahal macet seperti ini, sangat jarang terjadi. Saya tidak bisa membayangkan, seandainya Sengata mengalami yang namanya macet seperti Jakarta. Duh, bisa-bisa setiap macet, ada perkelahian yang terjadi.

Alhamdulillah, akhirnya arus jalan kembali lancar. Namun saya terpaksa harus kembali berhenti karena lampu hijau sudah kembali merah, bahkan ketika saya belum sempat melampaui pertigaan tersebut. Tapi kini mobil saya sudah berada paling depan. Tepat di depan zebra cross. Jadi, setelah lampu hijau lagi, saya bisa langsung tancap gas.

Tiba-tiba darah saya seperti tersingkap melihat apa yang terpampang di depan mata saya! Sesosok tubuh ringkih berjilbab coklat yang tadi saya lihat, sedang sibuk memunguti barang-barang bekas yang berhamburan di sekeliling gerobaknya yang miring hampir terbalik. Sesekali ia berlari ke sebelah kiri, lalu berlari kecil ke sebelah kanan. Sibuk dan panik nampaknya. Rupanya inilah yang membuat kemacetan kecil tadi. Saya cepat beristighfar, Astaghfirullah…, saya sungguh menyesalkan tindakan para sopir yang tidak sabaran tadi. Pastilah suara klakson dan teriakan membuat ibu itu semakin panik. Apakah mereka tidak tahu kalau yang mereka hadapi adalah seorang wanita? Entahlah …

Klakson dari mobil di belakang saya, mengingatkan saya untuk bersegera melaju. Lampu telah kembali hijau. Arus lalu lintas di pertigaan yang padat, tidak memungkinkan saya untuk sekedar menoleh kepada si ibu, apalagi untuk stop dan menghampiri beliau. Namun dari kaca spion samping, saya masih bisa melihat sosoknya yang terlihat masih sibuk dengan gerobak hijaunya.

Banyak dari kita, yang menganggap wanita sebagai makhluk lemah tak bertenaga. Namun hari ini, mata ini telah menjadi saksi, bahwa sosok lembut wanita, ternyata juga dapat bergulat dengan pekerjaan keras yang mengandalkan otot dan kekuatan dalam menjalaninya. Yang pastinya, untuk ibu itu, kehidupan yang dijalaninya setiap hari pasti jauh lebih berat dari sekedar gerobak besar yang sedang ditariknya.

Dengan pekerjaan yang jauh lebih ringan dan nyaman untuk saya menjalaninya, kadang hati masih saja berteriak bosan. Lalu, bagaimanakah dengan saudara di sekeliling yang tidak punya pilihan dalam menggapai rezekiNya? Ibu pemulung itu contohnya? Ya Allah, semoga saya terhindar dari sikap tidak tahu berterima kasih…

Udara semakin terik. Panggilan untuk bersegera sholat sudah terdengar. Lantunan kalimatNya yang selalu dapat menggetarkan jiwa. Saya sudah melaju membelah jalan menuju ke rumah. Meninggalkan sosok ringkih ibu berjilbab coklat yang masih sibuk dengan gerobaknya. Membawa segores pedih dalam hati.

* Untuk seorang ibu yang begitu perkasa. Semoga Allah SWT menggantikan setiap tetes keringatmu dengan banyak kelapangan. Sungguh, airmata yang menitik ini, bukan karena iba….

Http://yunnytouresia.multiply.com