Menggenggam Bara Api

genggam apiSaat ini setidaknya ada tujuh orang perempuan yang saya kenal yang sedang mencari pendamping hidup. Sebagian sudah menampakkan rona keputusasaan dalam sikap dan pernyataannya menanti kekasih halal untuk berbagi suka dan duka. Kegigihan mereka menjaga ajaran agama tampak jelas, baik dari sikap maupun pakainnya.

Dari sisi rupa, sebenarnya mereka tidaklah jelek, justru cantik seperti perempuan Indonesia lainnya. Di antara mereka ada juga orang berada. Dan yang pasti mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan, bahkan ada yang sudah jadi guru dan dosen. Saya heran kenapa mereka belum menikah? Padahal ditanya keinginan, semua sudah sangat ingin menikah. Sebagian dengan bahasa sindiran minta dicarikan jodoh kepada saya dan istri. Ada juga yang secara terus terang, memohon dengan memelas karena merasa harapannya sudah hampir pupus. Beberapa calon yang selama ini menghampirinya kini sudah tak datang lagi. Padahal usianya sudah hampir sepertiga abad. Ada juga yang sudah mendaftar di biro jodoh tertentu dan biodata sudah diserahkan, tapi tetap saja tidak membawa hasil.

Diakui, sebagian dari mereka itu belum menikah karena keteledoran sendiri atau keluarga yang terlalu banyak kriteria. Namun, sebagian lagi belum menikah karena selama ini menjaga diri dan kehormatan, sehingga tidak mengenal seorang laki-laki pun secara dekat. Dia tidak pacaran, karena baginya pacaran itu haram tidak sesuai dengan aturan hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam.

Kampung halaman tempat mereka dibesarkan tidak lagi menjadi tempat yang nyaman seperti ketika kecil dulu. Pertanyaan, kapan menikah atau sindirin sudah saatnya menikah tapi kok belum juga, stigma tidak laku, gelar “perawan tua” atau sok suci karena gak mau pacaran, atau karena memakai jilbab membuat mereka tidak betah di hidup di sana. Makanya, banyak dari mereka memilih merantau agar jauh dari kampung, hanya untuk menghindari sindiran atau cemoohan orang kampung saja, sambil menunggu pendamping yang tak kunjung datang. Kenyataan semua teman-teman SD mereka yang tinggal di kampung dan tidak berpendidikan sudah menikah dan punya anak, membuat hati mereka bertambah pilu.

Hati siapa yang tak teiris melihat perempuan yang menjaga kehormatan menanggung sulit sebegitu rupa? Tapi itulah kenyataan yang mereka alami. Sebagian laki-laki mapan yang sanggup menaungi beberapa keluarga tidak berpikir untuk menyelamatkan mereka. Karena masyarakat pasti mengecapnya sebagai orang yang tak punya perasaan, atau bernafsu besar dan stigma buruk lainnya. Begitu juga dengan si perempuan tidak mau dimadu atau jadi istri kedua, karena statusnya sangat buruk di mata keluarga dan lingkungan sekitar. Pilihannya hanya menunggu dan menunggu. Sampai kapan? Entahlah.

Ironis sekali, umat Islam sudah meninggalkan sunnah Nabinya dalam menyelamatkan perempuan, bahkan menganggap sunah Nabi itu sebagai sesuatu yang tercela. Kenyataannya sesuai dengan yang digambarkan Nabi dalam sebuah hadisnya bahwa suatu saat umat ini akan mengikuti jalan orang Yahudi dan Nasrani. Sabdanya, “Kalian akan mengikuti jalan orang yang (diberi Al Kitab) sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan jika salah satu dari mereka masuk ke lubang biawak kalian pun akan mengikutinya.” Para sahabat bertanya, ” Wahai Rasulullah, apakah yang Engkau maksud itu orang Yahudi dan Nasrani,?” Nabi saw menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.” (HR. Bukhari)

Informasi Nabi ini sudah merealisasi pada zaman kita. Umat, secara umum sudah mulai mengelupas satu persatu dari sunnah-sunnahnya yang sesuai dengan fitrah, memilih berjalan di balik logika yang sempit dan dikeruhi hawa nafsu. Akibatnya, banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang teraniaya.

Menjaga kehormatan bagi mereka yang teraniaya itu bagai menggenggam bara api. Hati gelisah, lingkungan menekan dan hasrat ingin bahagia pun tak kunjung padam. Sampai kapankah mereka sabar menahan bara tersebut? Akankah bara itu mereka lepaskan dan bertindak nekad memasuki dunia kenistaan, seperti wanita yang ada di Negara-negara Yahudi dan Nasrani? Jawabannya tergantung kita.

Tulisan ini bukan ingin mempropagandakan agar setiap laki-laki muslim menikahi perempuan yang berbilang. Karena tidak semua laki-laki layak melakukannya secara sunnah. Namun stigma negatif yang disebarkan seputar orang-orang yang melakoni pernikahan ini baik laki-laki atau pun perempuan yang mesti ditepis, agar setiap wanita dari umat ini mendapatkan hak biologisnya secara halal dan juga haknya untuk hidup bahagia. Dan juga, agar umat ini tidak memasuki lubang biawak kenistaan seperti umat Yahudi dan Nasrani.

(Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri)