Menghargai Perasaan Seorang Guru

Setiap hari putri pertamaku Fidela (5 tahun 5 bulan) pulang sekolah pukul 11.00 WIB, sesampainya di rumah ia langsung mencuci tangan serta kaki, mencuci muka dan mengganti pakaian. Dalam seminggu ia harus les privat Iqra’ pada pukul 11.30 WIB pada hari Senin dan Rabu.

Kebetulan di lingkungan RT/RW tempat tinggal kami sudah lama vakum kegiatan TPA-nya yang biasanya diadakan pada sore hari sampai menjelang Maghrib. Pada suatu hari, ketika  jadwal les privat Iqra’ tiba, Fidela sedang "bad mood" kelihatannya.

Putri sulungku cemberut saja dan berkata, "aku gak mau belajar Iqra’ hari ini!"

Aku jadi bingung dan membujuknya, "Aduh … sayang … jangan gitu dong, kan biar pintar?"

"Iya, tapi hari ini aku lagi gak mau belajar Iqra’ Bu … " sahutnya lagi sambil merengek.

"Tapi sebentar lagi Ibu guru Iqranya datang?" ujarku gusar.

"Ya udah, Ibu suruh pulang aja Bu gurunya!" katanya seenak udel.

"Astaghfirullaah … kakak … gak boleh begitu sayang …" ujarku dengan hati deg-degan.

Beberapa detik kemudian, Ibu guru yang mengajar Iqra’ datang. Fidela langsung lari masuk ke dalam kamarnya sambil teriak-teriak, "aku gak mau belajar Iqra’ …" suaranya nyaring sekali.

Ibu guru hanya tersenyum-senyum, "Sudahlah mama Fidela, kalau dia gak mau jangan dipaksa."

Kulihat mimik wajahnya Ibu guru tetap tenang, sedang aku sangat khawatir ia tersinggung.

"Iya sih, Bu … tapi harus diberi ketegasan juga anak itu … supaya gak seenaknya sendiri," ujarku.

Aku permisi kepada Ibu guru untuk masuk ke kamar Fidela dan membujuk anak itu dengan sedikit ancaman dan tatapan mata yang tajam, akhirnya ia mau juga belajar Iqra’ dengan Bu Guru.

"Alhamdulillaah … silahkan masuk ke kamar Fidela, Ibu guru … sudah disiapkan semua," kataku.

"Syukur Alhamdulillaah, baik kalau begitu mama … saya mau mengajar Fidela dulu …"

Dengan sabarnya Ibu guru membimbing putriku Fidela, sesekali adiknya Sarla (2 tahun 7 bulan) masuk  ke dalam kamar untuk nimbrung belajar Iqra’. Alhamdulillaah kehadirannya tidak mengganggu sama sekali.

*******
Belakangan ini aku cukup lega dengan kondisi putri sulungku itu, karena sudah lebih mudah diajak kompromi jika dia sedang susah diatur. Semestinya aku tidak boleh mengancamnya sama sekali,  atau tidak boleh dengan mudah mengiming-iminginya hadiah agar menurut atau patuh di rumah. Aku jadi ingat hewan lumba-lumba, berang-berang, burung dll. yang ada di pertunjukan sirkus ketika berhasil melakukan suatu atraksi dengan sukses langsung disuapi makanan yang menjadi imbalannya. Aku tidak mau anakku menjadi seperti hewan yang terlatih di sirkus atau pertunjukan lainnya. Yang aku harapkan, ia melakukan sesuatu yang baik atau pintar karena keinginan dari dirinya sendiri dan tidak mengharapkan imbalan atau pamrih. Kemudian, ia juga harus belajar menghormati seorang guru.

Sebelum les privat Iqra’, Fidela pernah dibimbing juga oleh Ibu guru yang mengajarinya membaca atau calistung (baca-tulis-hitung), tetapi saat itu ia belum siap secara mental dan emosional. Masa pekanya belum terbuka, jadi angin-anginan, padahal ia termasuk cerdas namun sulit sekali untuk fokus. Kalau di rumah, sikapnya agresif sekali — istilahnya "jago kandang", berlari ke sana ke mari, berlompat-lompatan, dan mulutnya tidak mau diam. Kalau di sekolah sebaliknya, manis sekali, suaranya jarang keluar dan cenderung pasif. Kelihatannya ia juga agak susah bersosialisasi, lebih sering menyendiri dan tidak suka mengobrol dengan temannya. Kenapa bisa demikian? Aku juga heran.

Sampai pada suatu hari aku putuskan Fidela untuk berhenti belajar calistung di rumah. Kelihatannya Ibu guru calistung sedikit kecewa, tetapi ia bisa maklum. Saat itu memang Fidela bersikap tidak menyenangkan, berani membangkang dan mengucapkan kata-kata yang sensitif bagi seorang guru (menurutku).

"Ibu guru, emangnya Ibu gak punya duit ya? Kok ngajarin aku baca?" tanyanya suatu hari.

Aku jadi malu dan gelisah, langsung kutimpali, "Kakak, gak boleh begitu … Ibu guru pingin kakak pintar!"

"Ibu guru mengajar itu memang tugasnya yang luhur, membuat seorang murid yang tadinya tidak bisa menjadi bisa … jadi Ibu guru akan bahagia dan juga mendapat pahala lho …" kataku diplomatis.

Aku masih ingat air muka Ibu guru calistung yang masih muda itu, agaknya ia sedikit salah tingkah.

Memang pertanyaan sejenis pernah dilontarkan putriku itu kepada tukang yang sedang merenovasi rumah kami beberapa bulan yang lalu, "Mas … mas … aku tahu kenapa mas mau betulin rumahku, soalnya nanti kalau udah selesai … Bapakku ngasih uang kan? Emangnya mas gak punya duit ya?" serunya waktu itu.

Di waktu yang berbeda ia menyeletuk lagi, "Om … om … gak punya baju ya? Kok bajunya itu-itu terus sih?" katanya pada petugas listrik atau teknisi yang sedang membetulkan sesuatu, kebetulan mereka mengenakan seragam.

Masya Allah, bingungnya aku mendengarkan ocehan putriku yang sangat tidak sopan itu, tetapi ia belum mengerti kalau pertanyaan itu tidak sopan dan bisa membuat orang bersangkutan sedih. Pelan-pelan akujelaskan kalau hal itu tidak baik, dan tidak boleh menyebut-nyebut soal pekerjaan serta imbalannya pada orang. Aku takut anakku menjadi sombong, kesannya orangtuanya "menggaji" banyak orang!

Akhirnya aku sering menggambarkan dengan kata-kata yang manis, alangkah baik dan terpujinya "mBak" di rumah yang sudah membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Alangkah hebatnya para tukang maupun teknisi yang bisa membetulkan barang elektronik yang rusak di rumah. Terakhir, alangkah luhurnya jiwa seorang guru yang tanpa pamrih mengajari muridnya agar menjadi pintar. Kita harus berterima kasih pada mereka.

"Kita harus menghargai dan menghormati mereka" tuturku dengan (berusaha) tetap sabar.

"Hormaaatt Graakkk !!! Gitu ya Bu? Kayak ke bendera merah-putih?" ujarnya polos dan spontan.

"Bukan sayaaang … hormat itu, bersikap manis dan berbicara yang baik-baik pada mereka," jelasku.

*******

Kuintip kegiatan belajar-mengajar putriku, Fidela dengan Ibu guru Iqra’-nya yang lembut, keibuan dan sabarnya luar biasa (wah harus ditiru nih, ketelatenannya). Ternyata Fidela masih sedikit seenaknya, kadang tiduran atau merebahkan kepalanya di atas meja lipat kecil yang diletakkan di lantai. Pernah kulihat ia membaca huruf hijaiyah sambil dipangku Ibu guru. Pernah juga ia mengantuk, lalu cuci muka supaya segar. Kalau sedang rewel, Ibu guru mengalihkan perhatian dengan menceritakan kisah menarik seperti sejarah Rassul atau memberikan kisah teladan yang diharapkan bisa membentuk akhlaqnya. Alhamdulillaah, aku bersyukur karena Ibu guru bisa menghadapinya dengan baik, tulus dan ikhlas serta pembawaannya yang tenang membuat kami "takluk" pada beliau.

Kalau diingat sejak pertama kali ia mengajar, seringkali ia harus bersabar dulu menunggu Fidela dikejar-kejar untuk memulai pelajaran Iqra’nya, mengijinkan putriku itu sambil mengemil atau minum susu, dan sesekali bermain-main dengan adik Sarla sebelum dan sesudah pelajaran Iqra’ berlangsung, atau ikut "merangkul" Sarla yang ingin ikut belajar di kamar kakaknya. Seolah tidak ada masalah, sejak awal sampai saat ini semuanya makin membaik.

Sementara, Ibu guru calistung yang terdahulu pernah mengeluh kepadaku bahwa ia kadang-kadang bingung kalau ada anak yang berontak tidak mau belajar atau rewel ketika sedang belajar. Rasanya ingin menangis, katanya. Hmmm, berarti guru tersebut hanya akan sukses mengajar anak yang mudah diatur, sikapnya manis dan patuh? Sedangkan putriku tidak demikian. Mungkin mengajar juga harus menggunakan perasaan dan hati yang tulus serta pengorbanan seluas samudra. Kelakuan putriku yang kurang baik, mungkin bisa kuimbangi dengan "pembelaan"  dari sikap dan kata-kataku yang santun kepada sang guru. Bagaimana halnya dengan orangtua yang tidak bisa bersikap seperti aku? Akankan seorang guru yang datang ke rumah memberi les privat akan terhina? Sedih karena kehadirannya diremehkan dan dianggap hanya "mencari uang"? Bisa jadi, karena sudah ada kisahnya …

Kisah nyata, dari Ibundaku seorang. Eyangnya Fidela adalah seorang guru SD. Puluhan tahun beliau berkecimpung di dunia pendidikan, kalau tidak salah 40 tahun, mulai dari mengajar kelas 1, kemudian kelas 5 dan menjadi Kepala Sekolah selama 15 tahun terakhir masa baktinya. Ibuku pernah memberi les privat ke rumah-rumah muridnya atas permintaan orangtua murid. Kalau jaman dulu, yang "les" itu biasanya anak-anak yang prestasinya "kurang" di sekolah, jadi butuh pelajaran tambahan.

Beda dengan jaman sekarang, Insya Allah, karena menurutku anakku tidak bodoh hanya ingin ia lebih dini familiar terhadap huruf dan angka Arab. Ibuku dulu memiliki beberapa orang murid yang didatangi ke rumah masing-masing, dengan naik bis atau angkot di siang atau sore hari. Kadang ada anak yang masih tidur ketika Ibuku sampai di rumahnya, akhirnya mengobrol dulu dengan sang mama. Ada yang (ma’af) daya tangkapnya kurang, sehingga sulit sekali membuat anak itu memahami pelajaran. Rasanya sedih sekali! Namun Ibuku tetap bersabar untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, peningkatan kemampuan bagi muridnya yang disayangi. Oleh karena itu, ketika Ibuku berkunjung ke rumahku dan menyaksikan kegiatan les privat cucunya yang belum genap 6 tahun itu, beliau pun "wanti-wanti" agar kami semua bisa menjaga perasaan seorang guru.

Aku pun selalu megingatnya, karena terbayang Ibu guru muda yang pernah mengajar calistung putriku itu ke mana-mana naik sepeda pulang-pergi (PP) — untuk menghemat ongkos dan menjaga kebugaran katanya. Ibu guru calistung yang usianya lebih tua meski masih muda juga, setiap hari datang ke rumah kami naik angkot dan ojeg. Tak lupa aku menggantikan ongkos PP bila ia datang, dan apabila ada satu hari yang diliburkan karena kami berhalangan maka hari itu akan tetap  kami hitung dengan bayaran satu kali pertemuan, kecuali kalau ia yang berhalangan datang maka kami akan minta hari lain sebagai penggantinya.

Alhamdulillah Ibu guru Iqra’ ini sangat rajin hadir, tepat waktu dan selalu bugar ketika mengajar. Kami semua amat puas dan bahagia, terutama karena hari demi hari Fidela bisa menghargai seorang guru, apalagi Sarla yang justru kelihatan lebih santun dari kakaknya (sebenarnya aku tidak boleh membandingkan, tetapi ini lucu) mungkin
karena stimulasinya "plus" diperoleh dari kakaknya sebagai panutan. Semoga hal ini akan berlanjut semakin baik.

***********
"Alhamdulillaah, Fidela pintar sekali hari ini …," puji Ibu guru Iqra’ dengan suara riang ala guru TK.

Aku dan Ibu guru pun mengobrol sebentar membahas perkembangan belajar Fidela. Kemudian beliau "ikut" shalat di salah satu kamar yang khusus dibuat untuk shalat di rumah kami. Setelah meminum minuman ala kadarnya, beliau pamit.

"Mama Fidela, saya pamit dulu ya mau berangkat ke sekolah …" kata Ibu guru. Beliau mengajar siang di Taman Pendidikan Al-Qur’an yang ada di luar kompleks tempat tinggal kami.

"Baik Bu, terima kasih atas perhatian dan ketelatenan Ibu terhadap anak saya ya Bu?"

"Iya, sama-sama Bu …" jawabnya sungguh tulus.

"Mohon ma’af kalau ada sikap dan kata-katanya yang kurang sopan dari putri saya …" ujarku dengan hati-hati.

"Ooohhh … pasti Bu, Insya Allah … putri Ibu makin hari makin manis kok …" katanya membesarkan hatiku.

"Kakak … Adek … ayo cium tangan dulu sama Ibu guru, bilang terima kasih …" seruku pada kedua putri kecilku.

Alhamdulillaah, mereka patuh mengikuti ajakanku . Wajahku berseri-seri, begitu juga Ibu guru Iqra’ yang anggun. Aku mengantarnya sampai pagar rumah, dan beliau berlalu untuk menghampiri pangkalan ojeg yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Begitu masuk ke dalam rumah, kedua putriku langsung berlari-larian, berjingkrak-jingkrakan dan melakukan aneka macam tingkah yang sungguh agresif. Setelah duduk manis selama kurang lebih satu jam, kini mereka kembali dapat sepuasnya bergerak bebas, bahkan setiap hari mereka tidak pernah mau tidur siang, aku pun tidak mau memaksa. Biarkan saja mereka seperti itu, ada "masa"-nya. Yang penting sekali lagi, mereka harus menghormati seorang guru. (*)

(*) Ucapan terima kasih kepada Ibu Nufus, yang membimbing Fidela belajar Iqra’ dengan sabar.

Mama Fidela ([email protected])