Menghiasi Hidup dengan Qana’ah

Saya selalu bergembira dan bersemangat sekali jika bertemu dengan laki-laki ini. Namanya pak Rohman, lengkapnya Fatkhurrohman. Waktu semalam, seolah sangat pendek kalau sudah ngobrol panjang lebar dengannya.

Ia mengalami masa remaja ketika cengkeh di daerah saya sedang menjadi komoditi yang luar biasa bagusnya. Bahkan menjadi satu-satunya hasil pertanian yang paling mahal harganya.

Saat itu, bapaknya dengan mudah bisa menyekolahkan beberapa anaknya ke kota, saat di kampung saya belum banyak orang menyekolahkan anaknya sampai tingkat sekolah lanjutan atas atau yang sederajat. Sayang sekali, kesempatan emas itu tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh dia.

Dari masa kanak-kanak sampai remaja, ia tidak mendapatkan pelajaran agama sebagus adik-adiknya. Ketika saudara-saudaranya ngaji di mushalla bapaknya, dia tak pernah kelihatan ikut belajar. Ketika adik-adiknya begitu getol masuk SLTA dan meneruskan ke kota, ia justru keluar di kelas dua SMP.

Sejak itu hidupnya berguncang-guncang terus. Pernah merantau di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor dan Bandung, tapi tak sesukses teman seangkatannya. Ketika beberapa teman seangkatannya berbondong-bondong masuk pabrik semen terbesar di Indonesia saat itu, ia hanya tahan beberapa hari saja. Alasannya, tidak merantaupun dia masih bisa hidup di kampung sendiri.

Hal-hal seperti itulah yang sangat menjengkelkan orang tuanya. Tak hanya sebatas itu, ketika masuk jenjang perkawinanpun ia masih menjadi sosok yang menjadi buah bibir karena perbuatannya yang selalu tidak umum dengan saudara-saudaranya yang lain..

Ketika anaknya yang pertama baru berusia sekitar tiga tahun, isterinya meninggal. Sepeninggal sang isteri, ia menjadi berkali-kali menikah. Ahirnya ia terlempar dari kampung halaman dan lama tidak pulang. Karena ia telah memperistri seseorang di daerah lain provinsi.

Beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan dia, setelah hampir tiga tahun saya tidak bertemu muka dengannya. Ada perubahan sangat besar yang berhasil saya tangkap ketika pertama kali berjumpa kembali.

Penampilan lahirnya yang begitu “nyantri”, sempat mengagetkan saya. Sebab saya belum pernah melihat ia begitu PD dengan baju koko dan kopiah hitamnya. Dan ia memakainya tak sebatas ketika sembahyang saja, tapi setiap saat.

Saya makin terangguk-angguk ketika semalam suntuk ia berbicara kepada saya tentang kebesaran Allah, keimanan, hari kiamat, takdir, dan posisi dia sekarang terhadap gemerlapnya dunia yang semakin hedonis ini. Sebuah tema yang tak pernah saya dengar dari mulutnya sebelum ini, kecuali tema-tema tentang kesusahan hidup.

Di sebuah kamar tak terlalu lebar, dini hari itu saya seperti mendapat siraman rohani dari seorang ulama shaleh yang begitu takut pada Pencipta-Nya. Kekuatan kata-katanya yang meluncur dari mulutnya, meyakinkan saya bahwa ada kekuatan ruhani di dalamnya. Kekuatan itu adalah keimanan.

Saya betul-betul bersyukur pada-Nya, karena di tengah kesibukan banyak manusia, membicarakan tentang hedonisme keduniaan, ia justru membawa saya menyelam di kedalaman samudra Illahi.

Saya tak menyangka jika dari mulut dia saat ini, yang keluar adalah kalimat-kalimat yang selalu mengandung kebesaran dan keberadaan Allah SWT. Dan ketika menyikapi dirinya yang sampai sekarang masih serba kekurangan, ia tak lagi menanggapinya sebagai keluh kesah seperti masa-masa lalu. Sikap qana’ah, atau sikap sederhana dalam menjalani hidup serta menerima apa adanya, mulai tercermin dalam setiap langkah hidupnya.

****
Purwokerto, Feb 2007 <[email protected]>