Perlukah Menyelam Di Bawah Ombak?

Persis kisah ini terjadi di rekan para pebisnis, dikala goncangan dan gelombang hantaman perekonomian, ada rekan yang terus tampil menghadapi  gelombang jatuhnya perekonomian ini, dengan terus bergerak sekuat tenaga hingga  mengeluarkan dana untuk investasi, yang niat awalnya sejumlah investasi yang ia lakukan  untuk selamatkan usahanya, tapi apalah yang terjadi, rekan ini semakin tergerus, makin lama makin parah usahanya, dan akhirnya terjebak kebangkrutan yang akut. Sedangkan ada rekan bisnis lainnya, ketika ada indikasi perekonomian sedang dalam gelombang besar kehancuran, maka ia mengurangi adanya investasi besar, ikhtiarnya semua dibuat minimalis untuk kurangi resiko, merawat SDM yang penting, yang nantinya ia akan kembali agresif jika situasi ekonomi sudah kembali normal. Fakta menyebutkan rekan pertama bangkrut dan tergilas kejamnya ombak ekonomi, sedangkan rekan satunya lagi masih tetap bertahan , dengan sejumlah karyawannya. Ada kalanya memang diperlukan diam dan menyelam dikala ombak di permukaan masih membesar.

Tapi apakah dakwah juga harus mengikuti kaidah demikian? Tidak,  Terkecuali dakwah, ibarat ombak besar maupun kecil, tentunya dakwah amar maruf nahi munkar harus tetap dijalankan , apapun resikonya, walau yang dikorbankan adalah harta maupun jiwa, seperti yang pernah diucapkan Baginda Rasulullah SAW, dan kita sebagai umat Muhammad, tentulah berusaha semampunya untuk mencontoh beliau :

قَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ : فَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ عُتْبَةَ بْنِ الْمُغَيرَةَ بْنِ الأَخْنَسِ ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ قُرَيْشًا حِينَ قَالَتْ لأَبِي طَالِبٍ هَذِهِ الْمَقَالَةَ ، بَعَثَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا ابْنَ أَخِي ، إِنَّ قَوْمَكَ قَدْ جَاءُونِي ، فَقَالُوا لِي : كَذَا وَكَذَا ، فَابْقِ عَلَيَّ وَعَلَى نَفْسِكَ ، وَلا تُحَمِّلْنِي مَا لا أُطِيقُ ، فَظَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَدْ بَدَا لِعَمِّهِ فِيهِ بَدَاءٌ ، وَأَنَّهُ خَاذِلُهُ وَمُسَلِّمُهُ ، وَأَنَّهُ ضَعُفَ عَنْ نُصْرَتِهِ وَالْقِيَامِ مَعَهُ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللَّهِ يَا عَمِّ ، لَوْ وَضَعُوا الشَّمْسَ فِي يَمِينِي ، وَالْقَمَرَ فِي شِمَالِي ، عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الأَمْرَ مَا تَرَكْتُهُ ، حَتَّى يُظْهِرَهُ اللَّهُ ، أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ ، ثُمَّ اسْتَعْبَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَبَكَى ، ثُمَّ قَامَ ، فَلَمَّا وَلَّى نَادَاهُ أَبُو طَالِبٍ ، فَقَالَ : أَقْبِلْ يَا ابْنَ أَخِي ، فَلَمَّا أَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : اذْهَبْ يَا ابْنَ أَخِي فَافْعَلْ مَا أَحْبَبْتَ ، فَوَاللَّهِ لا أُسْلِمُكَ لِشَيْءٍ أَبَدًا “

Potongan artinya : “Wahai Paman, Demi Allah, kalau pun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini (penyampaian risalah), sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa, pastilah tidak akan aku meninggalkannya.” (ZL)