Menyikapi Pemberian

Aku sedikit ‘tersinggung’ ketika seorang kolega mengatakan bahwa aku ini pelit untuk ukuran orang-orang kantor. Masalahnya, sudah beberapa kali kejadian yang mestinya aku harus ‘syukuran’, istilah orang-orang kita, namun tidak aku lakukan. Beberapa yang bisa aku sebut di antaranya adalah: ketika aku sudah rampung masa percobaan sebagai pegawai baru selama enam bulan. Yang kedua, ketika kantor yang sudah disiapkan untukku sudah siap ditempati. Yang ketiga ketika peralatan-peralatan yang aku pesan untuk keperluan kerja sudah dipenuhi oleh manajemen. Dan yang keempat ketika manajemen memberikan seperangkat computer untuk keperluan kerja saya. Minimal, kata dia, aku mestinya syukuran empat kali!

Bagiku, persoalannya bukan pelit tidaknya. Namun kalau setiap kejadian seperti di atas kemudian harus diekspresikan dengan syukuran, semacam pesta kecil, atau katakanlah sekedar membagi kue atau cokelat kepada teman-teman se kantor yang kebiasaan ini sudah membudaya, betapa tidak pada tempatnya. Kenapa? Karena aku berbuat sesuatu yang pada dasarnya tidak mendidik dan tidak berdasar? Itu bukan berarti bahwa aku kurang memiliki rasa terimakasih terhadap segala fasilitas yang kantor berikan kepadaku sebagai pegawai baru. Persolannya memang terletak kepada: bahwa sudah menjadi tanggungjawab manajemen memberikan segala keperluanku sebagai pegawai baru.

Bagaimana aku harus bersikap?
Seperti yang dikatakan temanku, dari kacamata dia sebagai pegawai lama, bisa saja benar. Hal ini karena kami memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu. Jadi tidak perlu saling menyalahkan. Bahwa aku dikatakan sebagai orang yang pelit, bisa jadi! Bahkan, orang kita, Indonesia, bisa saja kita sebut sebagai bangsa yang paling pelit di dunia. Hal itu tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sebagai contoh: orangtua-orangtua kita mayoritas jarang yang berucap ‘terimakasih’ kepada anak-anaknya yang telah berbuat baik atau membantu mereka. Sekedar mengucapkan rasa terimakasih saja kita enggan. Bagaimana dengan yang jauh lebih besar dibanding ucapan tersebut. Pelitkah kita?

Sebut saja Bu Zuleha. Suatu hari dia berkunjung ke rumah seorang teman kantor dengan membawa sedikit oleh-oleh, seperti umumnya ibu-ibu kita apabila berkunjung. Di rumah temannya, katakan saja Bu Azizah, Zuleha memberikan oleh-olehnya.

Ketika pulang, sekali lagi sebagaimana banyak yang ibu-ibu lakukan, Zuleha menyodorkan tangannya kepada salah satu puteri Azizah agar dicium olehnya. Beruntung, harapan Zuleha terpenuhi. Anak perempuan yang belum juga genap 6 tahun tersebut mengulurkan jemari mungilnya, kemudian mencium tangan Zuleha. Sesudah dicium, Zuleha memberikan sejumlah uang yang diterima dengan senang hati oleh si anak. Zuleha diam sejenak, tidak lain dia menunggu reaksi apakah si anak bakal mengatakan sesuatu. Biasa, orang-orang kita kalau memberi sesuatu, ‘pasti’ berharap ‘imbalan’.

“Ayo… Mengucapkan apa?” tanya Zuleha kepada sang anak yang tetap diam.
“Iya! Ayo, bilang apa kalau sudah diberi sama Tante Zuleha?” tanya sang ibu kepada anaknya. “Ayo dong… bilang apa?” sekali lagi sang ibu mendesak, juga berharap kepada anaknya agar berkata sesuatu.

Sejenak anak tersebut tetap diam. Namun barangkali karena mendapat beberapa desakan, sang puteri akhirnya berkata: “Koq cuman sepuluh ribu?”
Dua orang ibu tersebut jadi saling memandang, terperangah, memerah mukanya. Bukannya ucapan terimakasih yang diterima dari si anak kecil, melainkan justru minta pemberian yang lebih banyak ketimbang mensyukuri yang sudah diberikan.

*******

Kita memiliki berbagai ekspresi terhadap pemberian. Ada orang-orang yang dengan mudahnya menyelenggarakan pesta besar karena Allah Ta’ala telah memberikan anugerah berupa bayi. Ada yang menyikapi pemberian dalam bentuk materi kemudian membalasnya pula dengan materi yang sama, seperti tradisi selamatan Maulud di sebagian warga kita. Ada yang membalas pemberian dengan budi baik. Ada juga yang hanya sekadar berucap terimakasih. Namun, tidak jarang pepatah mengatakan: Air susu dibalas dengan air tuba. Bukan kebaikan, maka kejelekan sebagai imbalannya.

Sikap dan perilaku kita terhadap arti pemberian jauh dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Beliau SAW tidak pernah mengharap balas jasa apalagi imbalan ketika membantu atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Dalam kesederhanaan hidup, amal beliau kepada mereka yang membutuhkan tidak ada yang menyamai di dunia ini. Dalam menyikapi kedzaliman, Rasulullah SAW membalasnya dengan sesuatu yang hanya manusia pilihan Allah yang sanggup menjalankannya.

Rasulullah Muhammad SAW suatu hari bertanya kepada salah seorang sahabat tentang tetangga beliau SAW yang Yahudi, lantaran tidak pernah muncul hari-hari terakhir. Hampir setiap Baginda Rasulullah SAW lewat, selalu dilemparinya dengan kotoran oleh orang Yahudi tersebut. Rasulullah SAW yang berakhlak mulia bukannya membalas dengan kejelekan, apalagi kekerasan atas tindakannya. Sebaliknya, saat diketahui bahwa si Yahudi tersebut sedang sakit, Rasulullah SAW yang mulia, mengunjunginya. Subhanallah. Sementara kita? Sedikit pemberian saja sudah bukan alang kepalang kita mengharapkan balasannya.

Bagaimana menyikapi pemberian atau budi baik seperti yang aku alami di atas?
Ada banyak hadits yang meriwayatkan bagaimana sebenarnya sikap kita dalam menyikapi pemberian. Rasulullah SAW lebih memilih orang-orang yang pandai dan mau memanfaatkan pemberian untuk tujuan positif dari pada mereka yang tidak menggunakannya sama sekali apakah itu harta, tanah, pakaian dll. Abu Bakar Siddiq RA sebelum wafat memilih kain kafan yang sudah usang dan memberikan yang baru kepada mereka yang masih segar bugar. Kata beliau, orang yang masih hidup jauh lebih berhak. Subhanallah. Hal itu menunjukkan bahwa pemberian kita kepada orang lain itu hendaknya berupa sesuatu yang membawa manfaat.

Acapkali kita kurang terbuka dalam memberi. Sering kita memberi sesuatu kepada orang lain yang ternyata tidak bermanfaat sama sekali. Contoh yang kasat mata adalah betapa jumlah kado hadiah perkawinan bertumpuk-tumpuk dan tersimpan di bawah kolong tempat tidur atau di almari yang nyatanya tidak tersentuh selama bertahun-tahun. Dari pada mubadzir seperti ini, bukankah lebih baik kita kemukakan barang apa yang kira-kira berguna bagi si penerima, meskipun guna melakukan hal yang satu ini tidak mudah karena beberapa pertimbangan. Namun hal tersebut bisa dilakukan.

Hal ini dimaksudkan agar pemberian benar-benar membawa hikmah. Dan membalas kebaikan dari pemberian ini tidak harus dalam bentuk fisik, apalagi berupa syukuran dan lain-lain. Seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW, membalas pemberian yang bijaksana adalah memanfaatkan dengan baik hasil pemberian tersebut.

Kesimpulannya, bila mau memberi, berilah sesuatu yang membawa manfaat. Karena memberi dan memanfaatkan pemberian dengan baik bisa memberikan kepuasan batin baik kepada si pemberi juga penerima. Jangan budayakan masyarakat dengan aneka syukuran yang tidak berdasar. Kebaikan di mata manusia tidak berarti kemuliaan di hadapan Allah. Wallahu a’lam!

hardy. Syaifoel@gmail. Com