Mereka Menangis Aku MenghadapNya

Kematian sesuatu yang misterius. Datangnya tak terjadwal. Kalau ia datang, semua yang selama ini dicari tak akan berharga. Harta, jabatan, keluarga tak ada yang mau menemani. Semua meninggalkan jasad yang miskin ini ditimbun dengan tanah. Tak ada yang bersedia tinggal walau sejenak bersamaku. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Aku teringat dengan peristiwa kematian Baginda Nabi. Fatimah, putrinya tercinta tak bisa membendung sedih. Dia berlari meninggalkan para sahabat yang menguburkan jasad Sang Nabi yang mulia. "Kalian tega menimbun jasad Rasulullah dengan tanah!" katanya pada mereka sambil terisak-isak. Dia benar-benar sedih. Kesedihan membuatnya tidak lagi merasakan nikmat makan, hingga dia sakit dan meninggal setelah tiga bulan dari hari kematian Baginda Nabi. Itulah kesetiaan terbesar yang bisa dipersembahkan oleh seorang manusia, yakni kesedihan.

Amal, satu-satunya temanku yang selalu setia. Ia sahabat yang akan menemani jasad ini menjawab pertanyaan Malakikat yang diutus Tuhan. Di luar orang-orang menangisi kepergianku. Di kubur, tangisku lebih keras menghadapi setiap pertanyaan Malaikat itu. Ya Allah kenapa kebaikanku sedikit? Ooh… Seandainya dulu aku melakukan ini… Oooh… Andaikan dulu aku tidak begitu! "Ya Allah, kembalikan aku sejenak ke dunia untuk berbuat yang lebih baik. Rabb, beri aku kesempatan." Permohonanku tiada guna. Jawaban yang kudengar, "Bukankah telah datang kepadaMu hamba-hambaKu memberi peringatan?! " Tak ada lagi yang bisa kulakukan, selain menunggu waktu persidangan yang Hakimnya tak bisa disuap. Kalau pun bisa, dengan apa akan aku suap? Yang ada hanya bangkai yang dan kain kafan semata. Aku merintih karena hanya rintihan yang bisa meringankan deritaku. Anganku melayang, aku ingin menangis tapi, tak ada air mata. "Aduhai, seandainya amal buruk ini menjauh dariku, Sejauh-jauhnya!" "Aduhai seandainya aku dulu jadi tanah!"

Dahsyatnya kematian. Ia menghapus segala benci, iri dan dengki. Ibarat seorang ibu yang sangat membenci anaknya yang jahat, ketika dia tahu anaknya mati, air matanya pun tumpah ruah. Dia menyesali kebencian yang selama dia pelihara terhadap sang anak yang ternyata sangat dia cintai. Atau ibarat seorang anak yang tidak menyukai orang tuanya, ketika ajal menjemput si orang tua, sedihnya pun tak terperi. Padahal selama ini kematian orang tuanya itu dia nantikan. Sungguh, kematian sesuatu yang sangat dahsyat. Wajar, jika Nabi saw mengatakan, "Cukuplah kematian sebagai pelajaran."

Begitu juga aku. Sekarang aku bebas dari kebencian orang-orang. Tetanggaku yang dulu sangat membenciku, sekarang menangisi kepergianku. Ternyata dia juga mencintaiku. Mertuaku yang selama ini tidak pernah akur denganku dan selalu aku durhakai melolong, menangis dengan kerasnya. Ternyata dia juga mencintaiku.

Tapi, seandainya mereka tahu keadaanku saat ini, tentu tangisan mereka akan lebih keras. Aku menunggu persidangan yang maha dahsyat, yang memperhitungkan sekecil apapun kesalahanku. Walau sebesar biji zarrah. Hakim dan saksinya pun tak ada yang mau kompromi. Oooh… Seandainya!… hik..hik.. Ya Allah… Ya Tuhan… Kembalikan aku walau sejenak. Ku mohon. Aku bersumpah akan melakukan kebaikan! aku berjanji, Ya Allah." Tapi, jawaban yang ku dapat kali ini, "Jika engkau dikembalikan, niscaya engkau akan kembali melanggar laranganKu. Engkau pembohong!"

Oooh… Seandainya keluargaku tahu, mereka tidak akan meratapi diriku. Mereka tak akan mengingatku. Mereka pasti sibuk mencari keselamatan untuk diri mereka sendiri. Oooh…Seandainya mereka tahu.