Merenda Kasih Ibu

Pepatah bahwa kasih sepanjang masa memang pantas disematkan kepada kaum ibu. Tak jarang, demi anaknya, seorang ibu rela mengorbankan apa saja, bahkan nyawanya. Perjuangannya saat melawan maut ketika melahirkan tidak akan bisa terbalas oleh anaknya dengan apa pun. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri menempatkan kedudukan ibu lebih tinggi tiga derajat dari kedudukan ayah.

Saat masih kecil, jika disuruh oleh ibu, kita kadang minta upah atas perintahnya. Kasih seorang anak kadang masih berharap pamrih, berbeda jauh dengan sayangnya seorang ibu yang terbawa sampai mati. Namun, dunia semakin terbolak-balik. Kita kadang bisa berbuat baik kepada orang lain. Tapi, kepada ibu, kita terkadang alpa untuk mencurahkan perhatian atau sekadar memujinya.

***

Akhir tahun lalu, saya menyempatkan pulang ke Bekasi untuk berkumpul bersama keluarga setelah sekian lama tidak bertemu. Tidak banyak oleh-oleh yang saya bawa dari Surabaya, hanya beberapa baju untuk kedua orang tua. Sekian lama tak pulang, ibu tampak senang melihat kedatangan saya. Rautnya makin berkerut termakan usia yang sudah setengah abad. Saat tenaganya tak sekuat dulu karena mengidap diabetes, ia masih sibuk dengan membuat kue-kue dan nasi uduk untuk dijual dengan dititipkan di warung-warung.

Suasana itu adalah momen bahagia kami. Opor ayam bikinan ibu sudah siap kami santap sekeluarga. Alhamdulillah, lezatnya masakan ibu saat kami makan bersama-sama setelah sekian lama jarang bertemu.

Teringat ketika ibu harus bangun pagi sekali, pergi ke pasar dengan sepeda kayuhnya untuk belanja bahan-bahan kue dan nasi uduk. Dengan hasil jualan itulah, ibu memberikan uang jajan kepada kami, anak-anaknya, ketika masih sekolah. Ibu selalu bilang kepada kami bahwa hidup di kota besar tak perlu besar gengsi. Kini, nasihat-nasihat itu sudah jarang saya dengar karena kerja merantau dan jauh dari orang tua. Namun, semangat dan perhatian ibu kepada anak-anaknya menjadi motivasi yang berharga.

***

Malam sebelum bersiap pulang ke Surabaya esoknya, saya istirahat. Pagi setelah berkemas, saya siap berangkat menuju Stasiun Gambir. Sesaat sebelum berangkat, ibu memanggil saya dan memberikan bungkusan nasi serta lauk untuk bekal di sepur nanti. Sebenarnya, saya menolak. ”Kan di sepur ntar juga dikasih, ” jawab saya. ”Wis, dibawa ae, kan perjalananmu jauh, ” pinta ibu. ”Suwun, ” ucap saya.

Ndilalah, kemudian tidak sengaja saya melihat tangan kiri ibu agak melepuh dan diolesi odol. Saya tanya ke beliau, ”Iku kenek opo, Bunda?” Adik perempuan saya memberi tahu bahwa tangan ibu kena cipratan minyak goreng saat menggoreng lauk buat bekal saya. Masya Allah.

Tak sempat banyak berucap karena harus berangkat agar tidak ketinggalan sepur, saya berpamitan ke ibu dan bapak. Di dalam sepur, saya terhenyak tentang kejadian sebelum berangkat tadi. Menggoreng lauk untuk bekal saya hingga tangannya tak sengaja terkena percikan minyak goreng panas.

Sesederhana itukah jikalau kita menilai perhatian seorang ibu? Sungguh, hanya Allah lah yang bisa menilai ketika kita tak kan sanggup membalas kebaikan ibu. Kalau perhatian kasih yang sederhana saja tak mampu kita balas, tak terbayang ketika perjuangan ibu melahirkan kita dulu. Rasulullah pun menyejajarkan pengorbanan antara hidup dan mati itu dengan berjihad.

Malam semakin merapat. Dalam udara dingin, hening bagai gemericik kerinduan yang mengalir. Bukan kepada siapa. Saat ku tertunduk dalam dua rakaat membasuh hati, tertitip doa untuk ibu, ibu, ibu, dan bapak..

”Rabbighfirli waliwalidayyaa warhamhuma kama rabbaya nishaghiraa..”

[email protected]