Merindu Salam di Udara

Langit cerah di ketinggian tiga puluh tiga ribu kaki. Langit memang berawan, tetapi burung besi ini tenang tak berguncang. Daratan pantai sekitar Cirebon samar terlihat di balik kabut di bawah sana. Amboi! Betapa enaknya membayangkan berselancar dari ketinggian ini, mengarungi ruang terbuka di atas laut biru, dan kemudian bisa mendarat mulus di tepian pantai berpasir putih itu.

Namun, itu semua tak bisa mengalahkan betapa nyamannya mendengar announcement di speaker cabin pesawat Adam Air B-737 serie 400 dengan nomor penerbangan KI 171 hari ini. Announcement yang dibuka dengan kalimat yang kurindukan selama ini setiap kali naik burung besi.

Assalaamu’alaikum. Selamat pagi para penumpang yang tercinta.”

Aha! Aku surprised, terkejut, senang, kaget, entah apa lagi bercampur-aduk jadi satu. Benar-benar unbelievable! Sampai lupa aku menjawabnya!

“Di sini Kapten Irfan, pimpinan penerbangan ini berbicara kepada Anda. Sebentar lagi kita akan segera mendarat di Bandara Internasional Soekarno – Hatta di Jakarta. Keadaan di bandara dilaporkan cerah …”

Puluhan kali sudah aku terbang. Puluhan bandara tujuan mulai dari Sultan Iskandar Muda di Aceh hingga Juwata di Tarakan pernah kukunjungi. Hampir semua airline pernah kunaiki, dari yang nyaman sampai yang gerung baling-balingnya serupa dua buldoser usang sedang menggali jalan, membuat adrenalin naik sampai ubun-ubun. Tak ada yang diharapkan kala itu kecuali mengharap secepatnya mendarat di tujuan. Dan baru sekali ini … ya sekali ini kudengar salam itu. Assalaamu’alaikum.

Ya. Assalamu’alaikum. Just simple! Tetapi, mendengarnya pagi ini, sepuluh menit sebelum turun perlahan dari ketinggian tiga puluh tiga kaki dan menyentuh landasan, serupa menemukan oase di tengah terik kekeringan gurun sahara.

***

Namanya Hari. Orang Jombang. Dia anggota tim programmer dalam project-ku untuk salah satu customer di Jakarta. Dan dia adalah satu-satunya anggota tim, bahkan di kantor, yang tidak pernah mengenakan seragam ke kantor kecuali setelan baju koko. Tak pernah bersepatu. Hanya sandal. Tasabbuh, katanya.

Baiklah. Bukan itu yang mau kuceritakan padamu tentangnya. Tapi, kejadian beberapa waktu lalu. Rombongan timku datang ke Jakarta untuk kegiatan implementasi sistem di salah satu customer. Naik Xenia dari Surabaya, karena banyak membawa peralatan. Nah, karena suatu alasan, ketika pulangnya, mereka harus berganti mobil dengan Timor. Tentu saja, kapasitas penumpangnya lebih sedikit. Karena itu, satu orang dari mereka harus naik pesawat. Dan prioritas pertamaku adalah siapa yang kedatangannya di rumah sangat diharapkan seseorang, terutama anak isterinya. Maka, kalahlah para bujangan, dan Hari pun mendapatkan kesempatan itu. Dia sajalah yang sudah menikah dan memiliki seorang anak.

Aku pun membelikan Hari tiket Jakarta-Surabaya. Dan ini bakal menjadi pengalaman terbang pertamanya.

Tapi, aku jadi geli ketika setelah menerima tiket ia bertanya-tanya.

“O ya Pak. Pramugarinya nanti perempuan, ya, Pak?” tanyanya serius.

Kami tertawa. “Ya jelas, Hari,” jawabku sambil tersenyum. “Kalau laki, namanya pramugara!” Kami tertawa lebih keras.

“Trus, tempat duduknya campur laki dan perempuan, Pak?” tanyanya lagi lebih serius.

“Ya. Tergantung waktu check-in. Kalau kita minta sebaris, ya nanti sebaris sama aku,” jawabku masih tetap dengan geli. “Tapi aku nggak tahu siapa di samping kita nanti. Boleh jadi laki. Tapi boleh jadi perempuan.”

Hari tampak berpikir keras.

“Kalau gitu, saya mending naik mobil saja, Pak!” katanya membuat keputusan.

“Ha? Gimana bisa? Karena tiketnya sudah atas nama kamu. Kan nggak bisa diganti seenaknya. Apalagi kadang ditanyain KTP. Kalau nama yang tertera di tiket tidak sama dengan KTP, mereka tidak mau menerima.”

“Gimana ya Pak, enaknya?”

“Emangnya kenapa?”

“Pramugarinya perempuan sih Pak! Pakai jilbab nggak Pak?”

“Ya nggak pakai, Hari. Tapi, pramugari Lion Air yang akan kita naiki ini pakai long-dress kok. Baju panjang hingga ke mata kaki!”

“O, ya, Pak?”

“Ya. Tapi, roknya terbelah setinggi ini …” kataku sambil merentangkan tangan setinggi pinggul.

Hari semakin pusing. Tapi akhirnya ia dengan terpaksa terbang bersamaku. Kulihat ia meringkuk di kursinya sejak fasten his seat-belt, tidur sepanjang perjalanan, dan baru bangun ketika roda pesawat menyentuh landasan bandara Juanda.

Berakhir sudah penderitaannya selama satu jam dan lima menit di udara.

***

Sekarang mari kita coba bayangkan situasi ini.

Pada sebuah pesawat. Pada suatu hari. Pada suatu tempat. Para penumpang sudah duduk di tempat masing-masing. Laki bersanding dengan laki. Perempuan dengan perempuan. Tentu saja kecuali mereka ada hubungan mahram.

Seorang pramugari kemudian meraih microphone cabin pesawat. Ia berbaju kurung warna hijau gading. Kerudungnya putih lebar berenda bunga matahari yang tengah mekar. Mulailah ia menyapa.

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”

“Para penumpang yang dirahmati Allah. Di sini Salma, penyelia awak cabin Anda, berbicara.”

“Selamat datang di dalam pesawat Muslim Air Boeng 737 seri 400 ini dengan tujuan Soekarno – Hatta di Jakarta. Penerbangan ke Jakarta Insya Allah akan kita tempuh dalam waktu satu jam dan lima menit. Sungguh bahagia kami bisa menyertai Anda terbang hari ini.”

“Untuk itu, sebelum take-off, kami mengajak bapak ibu semua untuk sejenak berdoa, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita di dalam perjalanan ini, memberikan kelancaran dan keselamatan kepada kita hingga tiba di tujuan. Insya Allah. Bismillahirrahmaanirrahim. Bismillahi tawakkaltu ‘alalLah. Laa haula walaa quwwata illa bilLah. Amin.”

Subhanallah! Betapa nyamannya berada di ruang cabin pesawat seperti ini. Ketika waktunya shalat tiba, adzan pun berkumandang menembus dinding-dinding burung besi. Awak kabin tak lupa mengingatkan penumpang akan shalat yang waktunya telah tiba.

Aha! Jika ada airline yang memperhatikan aspek spiritual dan juga aturan syariat seperti ikhtilat, menutup aurat, shalat, di samping pelayanan yang prima, aku yakin bakal menjadi rujukan dan menjadi prioritas pilihan terbang bagi banyak penumpang di tengah persaingan bisnis airline seperti saat ini.

Jika ini terjadi, mungkin Hari pun tak perlu gamang lagi terbang untuk kali kedua.

Jadi, siapa berani invest? Anda barangkali?

***

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com