Mertua Sayang

Menurut cerita, tidak cocoknya hubungan mertua dan menantu merupakan salah satu masalah klasik yang sering terjadi setelah pernikahan. Berbagai macam konflik kerap terjadi seputar hal ini. Ada mertua yang galaklah, cerewetlah, tidak suka sama menantu dan berbagai alasan `miring` lainnya yang membuat suasana tidak harmonis. Terutama jika sang menantu tinggal bersama dengan mertua, bentrokan pasti terjadi.

Bersyukur saya, ketika awal pernikahan mendapatkan mertua yang begitu baik hati. Antara saya dan mertua, khususnya ibu mertua cocok-cocok saja. Malah perhatian ibu mertua saya rasakan lebih dari perhatian ibu kandung sendiri. Secara rutin beliau selalu mengirimkan khabar lewat telpon dan menanyakan keaadaan saya yang tinggal jauh dengannya. Beberapa wejangan ataupun resep-resep rahasia keluarga beliau turunkan pada saya.

Seiring dengan bertambahnya usia pernikahan dan belum hadirnya buah hati, saya merasakan ada sedikit perubahan dari sikap ibu mertua. Semula saya menduga ini hanyalah perasaan sensitif saja. Namun jika diamati, ternyata memang ada yang lain. Sikap ramahnya berubah menjadi agak dingin. Sapaannya terasa hanya basa basi saja.

Semua yang saya kerjakan sepertinya selalu salah di mata beliau. Ketika saya membawakan oleh-oleh makanan manis, beliau mengatakan gemar makanan asin. Dan ketika saya membawa oleh-oleh makanan asin, beliau menampiknya dengan alasan takut darah tinggi. Pembicaraan yang sering beliau arahkan pada saya selalu masalah keinginannya memiliki cucu. Jika kami bertemu sudah pasti masalah `si cucu` ini selalu keluar. Yang kadang membuat saya bosan untuk mendengarnya serta menjadi beban tersendiri bagi saya yang memang belum berhasil memberikan beliau seorang cucu yang didambakannya.

Keadaan ini berlangsung lama dan ini betul-betul membuat saya membatin. Saya menjadi tidak suka jika diminta datang untuk acara-acara yang diadakan keluarga suami. Yang ada dalam benak, pasti muncul sikap ibu mertua dengan wajah dinginnya. Akhirnya saya berusaha membuat jarak dan menjauh dari ibu mertua.

Di saat menjaga jarak ini, hati saya bukannya membaik, malah makin membatin. Ada perasaan tidak enak diliputi rasa bersalah. Saya khawatir, sikap menjauh ini akan mempengaruhi hubungan suami dengan sang ibu akan memburuk. Apalagi jika saya teringat cerita Wail bin Khatab maupun Al-Qomah yang terjadi di zaman Rasulullah saw, bergidik rasanya.

Wail bin Khatab yang menderita sakit mengerikan saat menghadapi kematian. Menggelepar-gelepar mengeluarkan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuh disertai tangan dan kakinya yang kaku merengang tegang menghadapi sakaratul maut. Begitu pula Al-Qomah seorang shaleh yang saat naza`sakaratul maut, lidahnya terkunci tidak bisa mengucapkan kalimat Tauhid. Semua disebabkan karena sikap mereka yang lebih mengutakaman isteri hingga menyakiti perasaan sang ibu. Saya tidak ingin hal ini terjadi pada suami. Na`udzubillahimin dzalik.

Akhirnya saya melakukan introspeksi diri. Saya mencoba merubah sikap menjauhi dengan sikap mendekati ibu mertua. Saya hapus sikap menelan kata-kata kurang sedap beliau dengan sikap memantul kata-kata. Atau istilah `kerennya` masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Hingga ucapan tak enak ataupun sikap dinginnya tak sempat meresap dan meracuni pikiran saya. Senyum, saya usahakan untuk selalu tersenyum di hadapannnya. Berusaha menjaga perasannya dengan menahan emosi pribadi.

Saya berusaha menjadi pendengar setia untuk semua keluh kesahnya. Setiap keluhan yang berhubungan dengan belum hadirnya cucu, saya akan jawab dengan kata-kata ringan. “Doakan ya Ma, mudah-mudahan Allah memberi kepercayaan,” yang akan dijawab anggukan ibu mertua.

Saya percaya, galaknya mertua, cerewetnya mertua, atau cap miring apalah yang ada pada mertua, tidak lebih semata-mata karena mereka pun adalah manusia. Hamba Allah yang tak lepas dari sifat baik dan sifat buruk. Tinggal bagaimana sang menantu menyikapinya. Saya mencoba taktik mengalah untuk menang dengan bersabar. Memang tidak mudah, tapi saya percaya bahwa Allah Maha membolak-balikan hati.

Kini, menjelang sembilan tahun pernikahan, kesabaran saya membuahkan hasil. Saya mendapatkan kembali ibu mertua yang sangat baik dan penuh perhatian. Rasanya beliau semakin menyayangi saya begitupun sebaliknya. Beliau tidak pernah `rese` lagi menyakan masalah belum hadirnya cucu dari saya. Malah beliaulah kini yang menjadi tameng bagi saya saat orang-orang mulai sering mempertanyakan keadaan saya yang belum juga dikaruniai keturunan.

Bagi saya, kini ibu mertua seperti sahabat yang bisa diajak curhat. Kalaupun ada pergesekan, saya anggap hal yang wajar tidak perlu dimasukan ke hati. Jangankan dengan ibu mertua, dengan orang tua sendiri yang melahirkan kita pun kadang konflik itu terjadi. Yang penting ada usaha menyangangi mertua, biar tetap disayang.

– Renungan diri,aishliz et yahoo.com.sg- FLP Jepang