Meski Dia Berbeda

Sesi Istana Impian adalah sesi yang paling kutunggu pada setiap acara PDKT atau malam penerimaan anggota baru FLP Yogya. Sesi ini adalah kesempatan bagi setiap orang untuk membuka dirinya, mengutarakan segala hal yang selama ini barang kali dipendam dalam, diam di dasar hati dan ingatan. Tapi entah, kenangan buruk sekalipun tiba-tiba begitu saja mengalir membuat peserta lain tercenung dan merasa jarak kami demikian dekat. Sungguh, ketika masalah-masalah dan mimpi buruk itu terburai, rasanya kami sedang berpelukan saling menguatkan. Pun terhadap impian-impian yang selama ini malu untuk disebutkan. Semua menjadi merasa sangat dihargai. Tiba-tiba berjuta tangan serasa mengokohkan perjalanan. Ah, indahnya kasih sayang orang Islam.

Ruang pertemuan lantai 2 Wisma Muhammadiyah Kaliurang. Remang cahaya lilin itu berpendar memantul menyusup tangga hingga lantai satu. Aku bergegas ke atas dan menyelinap masuk. Aku tak ingin mengusik konsentrasi lingkaran orang yang duduk lesehan di atas tikar itu. Aku terlambat beberapa kata. Telingaku siaga. Maklum, kali itu aku seorang tamu, sehingga tak menempatkan diriku di baris pertama lingkaran itu. Padahal aku ingin melihat semua wajah mereka.

Satu-persatu kusimak impian mereka, mimpi buruk mereka ataupun mimpi masa depan mereka. Sesekali terdengar gumam, celetukan, tawa tertahan ataupun isak tangis, itu hal biasa. Air mata dan keringat pun hanya tampak kilatannya dalam pantulan lilin di hadapan mereka. Aku susah membedakannya. Diam dan terus mendengarkan. Sesekali aku mengganti lipatan kaki karena kesemutan. Berusaha mencatat setiap kata, setiap makna dan tentu nama-nama mereka untuk lebih mengenalnya.

Semua orang sedang sibuk menyeka air mata dan menyusut air yang begitu saja mengalir dari lubang-lubang hidung. Ah, cerita yang menggetarkan baru saja tersampaikan. Aku bisa membayangkan betapa lapang dadanya, setelah melempar gunungan beban yang selama ini tersembunyi. Aku pun turut merasakan ringan.

Samar kulihat seseorang berusaha mengacungkan tangan. Seketika aku mengenali kalau dia berbeda. Tangannya tak bisa setinggi yang lainnya. Pun suaranya terbata-bata. Fasilitator tak bisa melihatnya. Hampir saja kesempatan itu lewat kalau saja tak ada seseorang yang kemudian membantu memintakan perhatian.

Dia mulai bicara. Ternyata tak hanya kaki dan tangannya yang tidak seperti orang kebanyakan, tetapi juga suaranya. Betapa sulitnya dia, meski hanya untuk mengucap satu kata saja. Kalaupun keluar suara, aku harus mengira-ira maksudnya lantaran artikulasi yang lebih didominasi oleh sengau yang kacau. Aku menajamkan telinga.

"Alhamdulillah." Dia berhenti sejenak, mungkin sedang berusaha menciptakan bunyi yang sempurna berikutnya. Susah kuulang susunan kata yang terbata-bata itu. Aku mengingat perjalanan hidupnya. Dia yang lama terpuruk akhirnya menemukan hidayah, keindahan Islam lewat sahabatnya. Dia ceritakan tentang masa indah itu. Tapi kini sahabatnya pergi. Dia tergagap. Aku tak begitu jelas mendengar katanya lagi. Mata dan telinga semakin berusaha kutajamkan dalam gelap dan riuh isak tangis. Tak ada bunyi yang bisa keluar dari mulutnya. Bibirnya bergerak-gerak tanpa menghasilkan suara dengan nafasnya yang tersengal. Ah, aku pun sering merasakan tertekan yang sangat hingga tak mampu mengungkap kata. Teman dibelakangnya terus menyemangati untuk menuntaskan bongkahan di dadanya.

Dia telah menulis novel selama dua tahun. Alhamdulillah katanya (dia sering mengatakan ini), komputernya rusak dan novelnya hilang. Ruangan semakin hening. Tulisan tangannya tak begitu rapi karena pegangan tangannya yang tidak kokoh. Betapa susahnya dia menekan tombol-tombol key board komputernya, dan sekarang semuanya hilang. Tentu ini sebuah perjuangan yang hebat. Huaaa! Aku tak tahan. Tapi aku terus menyimaknya.

Dia tak menyerah dan terus belajar menulis. Hingga dia menemukan FLP dan mengikuti seluruh rangkaian seleksi untuk menjadi anggota baru FLP Yogya. Dia terisak. Dan kami pun semakin sesak. Bahagia katanya, memiliki teman yang menyenangkan, yang menerimanya apa adanya untuk bersamanya belajar Islam dan menulis. Dia dulu menganggap miring orang-orang berjilbab, tetapi saat ini semuanya telah berubah. Ternyata teman-teman FLP begitu menyenangkan.

"Aku tak kan melupakan ini, FLP adalah keluarga bagiku."

Waktu itu dia kelas 2 SMA. Dia divable, tapi semangatnya menjadikan kami ciut, malu yang tak terkira. Ia pernah aktif berkeliling Yogya, bergiliran dari SMA ke SMA, membentuk kelompok diskusi kepenulisan untuk pelajar, bersama anggota FLP Yogya lainnya. Dia termasuk siswa yang cerdas di sekolahnya. Kami terdiam ketika mendengar dia belum lulus UAN. Saya sempat curiga, ada kontribusi "gangguan teknis" karena tangannya yang sulit menghitamkan lembar jawaban dengan sempurna. Tetapi saya malu ketika bertemu dengannya dan tak ada gundah dalam semangatnya untuk terus berkarya. Dia yang bercita-cita menjadi guru setelah kuliah di jurusan Pendidikan SLB di UNY Yogya saya temui di antara para mahasiswa yang sedang asyik berdiskusi di Forum Kepenulisan FLP Yogya, di selasar Balairung UGM.

“Aku pingin cari pesantren yang ada pelajaran ketrampilan. Trus belajar lagi supaya lulus. Aku ditawari masuk lembaga non Islam yang di sana ada materi ketrampilan. Tapi aku nggak mau. Do’ain ya mbak…”

Kalimat terakhirnya ini terlalu sering saya dengar darinya. Selalu begitu dia menutup kalimat citanya kepada kami. Dan selalu ada makna setiap bertemu dengannya. Kami tersenyum mengangguk sambil berfikir keras di mana kami bisa membantunya menemukan tempat itu? Apakah Anda tahu?

***

Dek, kami selalu bersamamu…