Mimpi di Taman Ilmu

Lagi-lagi Hamdi. Kulihat dia melintas di depan rumahku, dengan makanan ringan di tangan. Ini sudah yang ketiga kalinya siang ini. Makanan ringan, dengan mosodium glutamat atau MSG yang bertebaran di dalamnya. Konon para ahli telah memvonis bahwa makanan yang mengandung MSG diduga sebagai penyebab bodohnya otak orang yang mengonsumsinya.

Kembali ke Hamdi. Bayangkan berapa rupiah yang sudah dia keluarkan dalam rentang 2 jam saat aku baca buku di teras? Bila yang dia makan snack ringan seharga Rp 1000 plus minuman ringan seharga sama, sudah dua ribu rupiah. Kalikan tiga, sudah enam ribu rupiah. Kalikan lagi sebulan, jadi 180 ribu rupiah. Kali setahun? Ah, otakku tak kuasa menghitungnya. Tapi, sebagai orang tua, aku memang peka untuk menghitung hal-hal kecil seperti itu. Hal-hal kecil yang ternyata jika diakumulasi bisa menjadi besar juga.

Apa yang dapat kita peroleh dengan uang 180 ribu rupiah? Setahuku, itu kira-kira sama dengan uang SPP bulanan di Sekolah Dasar Islam Terpadu.

Berapa banyak anak yang seperti Hamdi? Mendadak aku jadi tertarik mengamati. Beberapa anak memang aku lihat sering lalu lalang di depan rumahku menuju warung sebelah. Di tangan mereka selalu ada makanan entah apa. Nah, itu dia! Lana dan Danti. Sebelumnya ada Oman dan Adnan. Dapatkah kusimpulkan sebagian besar mereka mempunyai pola jajan yang sama?

Aku jadi berandai-andai. Jika uang yang mereka keluarkan untuk makanan yang tak bergizi itu bisa dialihkan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat, bukankah lebih baik? Misalnya, untuk membeli buku yang akan mengisi gizi rohani dan akal mereka. Ah… Betapa indahnya kondisi itu. Uang yang 180 ribu rupiah itu kalau dibelikan buku Seri Tokoh Dunia Islam yang kata teman-teman saya hanya 5000 rupiah, bisa 36 buku yang dikoleksi oleh Hamdi. Wow!…

Anganku semakin melaju. Bayanganku ingin mencerahkan orang-orang di sekitarku semakin mendesak akal dan mungkin jiwaku. Kucoret-coret di secarik kertas ide untuk membuat semacam Taman Bacaan Anak, di mana anak-anak di sekitarku dapat berkreativitas. Apa nama Taman Bacaan ini ya?! Ah… Ya Taman Ilmu. That’s right…! Itu nama yang pas!

Tiba-tiba sebuah mobil bak terbuka berhenti di depan rumahku. Siapa ya? Ternyata kiriman rak-rak buku berwarna-warni indah. Kata si pengirim, ini pesanan temanku. Aku tanda tangani saja faktur tanda terima barang yang tertera sudah dibayar lunas oleh temanku itu.

Malamnya temanku mengabarkan via telpon, menjelaskan bahwa rak-rak tadi adalah bantuan dari pengurus masjid kantor tempatnya bekerja. Akupun bergegas menyusun proposal permohonan bantuan dana. Akan kuajukan ke teman-teman yang sekarang banyak yang sudah ‘jadi orang’. Ya, banyak di antara mereka yang sudah menduduki posisi kunci di berbagai perusahaan. Dana itu akan kugunakan untuk membeli buku-buku anak-anak. Mulai dari seri sejarah nabi, sejarah Rasulullah, kisah sahabat, seri ilmu pengetahuan, komik-komik bergambar, novel-novel kecil untuk remaja, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sebagai modal awal, akan kami pajang dulu koleksi buku-buku yang sudah kami miliki. Jumlahnya lumayan sebagai awalan.

Esoknya, proposal itu segera kukirimkan. Sebagian via email, sebagian lagi lewat titipan kilat. Tak lupa kukirimkan terlebih dahulu SMS sebagai kata pengantar.

Sambil menunggu jawaban (dan kiriman dana, tentunya) dari mereka, aku mulai menyusun strategi marketing. Mula-mula kubuat pamflet kecil yang menjelaskan keberadaan Taman Ilmu. Di pamflet itu kujelaskan apa itu Taman Ilmu, apa saja yang dapat diperoleh di sana, siapa saja yang boleh ke sana, kenapa anak-anak perlu ke sana, dan berbagai program lain yang sudah terlintas di kepalaku, tak lupa kutuangkan ke pamflet itu. Kutulis pula bahwa semua itu gratis.

Aku dan isteriku menjelaskan rencana itu ku Pak Erte dan Bu Erte, yang – seperti kuharapkan – menyambut dengan antusias. Langsung saja dia meminta pamflet yang kubawa, dan beserta beberapa ibu pengurus posyandu lainnya, bergegas menyebarkannya ke tetangga-tetangga. Aku sendiri menempel pamflet di salah satu warung yang sering dikunjungi anak-anak. Si Pemilik Warung sama sekali tidak keberatan warungnya dijadikan salah satu tempat promosi. Itung-itung amal, katanya sambil tersenyum.

Beberapa hari berikutnya Taman Ilmu belum mendapatkan tanggapan antusias. Anak-anak kelihatannya masih ragu-ragu untuk datang. Akhirnya aku memasang strategi baru. Kuminta anak-anakku yang memulai, duduk di teras yang kini telah kusulap menjadi Taman Bacaaan, dan ramai-ramai membaca berbagai buku. Ini untungnya punya anak banyak, pikirku.

Tidak hanya itu, setiap anak yang lewat dipanggil oleh isteriku dan diajak masuk. Ditangan mereka diselipkan permen (walau isteriku agak merasa bersalah melakukan ini), kemudian kuajak melihat-lihat buku yang penuh gambar warna-warni dan sedikit kata. Cara ini ternyata lumayan efektif. Teman-teman mereka mulai tidak malu-malu lagi untuk masuk.

Setiap akhir pekan, aku membacakan cerita. Kadang-kadang kami meminta teman isteriku yang guru-guru TK sekitar untuk mendongeng. Sebagai pelengkap, kusediakan sirup manis dan dingin, lengkap dengan kue-kue (aku juga merasa agak bersalah melakukan ini, takut merusak gigi mereka).

Program lainnya yang menjadi favorit anak-anak adalah pemutaran film. Dengan bantuan seorang teman, aku berhasil mendapatkan pinjaman LCD Proyektor gratis (kalau harus nyewa, harganya ratusan ribu!). Aku memperkenalkan VCD-VCD Islami kepada mereka. Lumayan, mereka jadi punya alternatif tontonan, di luar tayangan-tayangan cengeng, berbau porno, dan pekat dengan kekerasan.

Ternyata yang tertarik untuk berkunjung tidak hanya anak-anak, namun juga orang tua mereka. Mereka mulai ‘menuntut’ kami menyediakan buku-buku yang lebih serius, yang cocok untuk orang dewasa.
Aku gembira tentunya. Kususun lagi proposal, dilampiri dengan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana. Hampir semua temanku yang kemarin aku kirimkan proposal merespon dengan baik, bahkan ada yang dengan tambahan kata-kata, ‘kalau ada lagi yang bisa gue bantu, jangan segen-segen kontak gue ya!’

Namun, satu ketika, terjadi musibah Taman Ilmu kami. Hujan deras datang tiba-tiba. Cuaca yang semula terang tiba-tiba tertutup awan pekat. Tanpa ditunda-tunda lagi, hujan turun begitu lebatnya, disertai angin kencang. Air hujan menerjang rak-rak bukuku. Aku kalang kabut menyelamatkan semua yang ada. Karena tergesa-gesa, aku tak melihat genangan air di lantai, dan tergelincir.

Duk!

Aku pun terbangun! Astaghrifullah, ternyata cuma mimpi! Rupanya aku tertidur di kursi teras, dan sekarang mendarat di lantai. Untung tidak ada yang melihat, pikirku sambil melirik kiri kanan.
Tapi, ah, mimpi itu seolah begitu nyata. Dan aku tak ingin mimpi itu hanya sekedar mimpi.