Sebuah Perubahan

Bismillah,

Gadis kecil berambut ikal, anak ketiga dari empat bersaudari. Ia adalah adikku yang hanya terpaut 11 bulan denganku. Perbedaan umur yang cukup dekat ini membuat kami merasa seperti teman sebaya. Kami sering bermain bersama namun kami berdua memiliki wajah dan sifat yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya.

Aku adalah tipe anak yang serius, senang mendominasi suatu permainan dan ingin menang sendiri. Lain halnya dengan adikku yang cenderung pengalah dan senang meniru apa yang aku lakukan. Selain itu, adikku juga istimewa, ia pandai bergaul dan sangat humoris, tak jarang ia bertingkah laku layaknya seorang pelawak dan kami sering dibuatnya tertawa terbahak-bahak. Itulah sebabnya kami senang berlama-lama berada di dekatnya.

Masa kanak-kanak kami lalui bersama demikian pula dengan masa remaja. Masih dengan perbedaan karakter yang mencolok di antara kami berdua, perlahan aku tumbuh menjadi remaja yang idealis yang selalu ingin terlihat rapi dan sempurna namun di sisi lain adikku justru menjadi sosok yang sering terlihat santai dan tanpa beban.

Salah satu kenangan masa lalu yang lucu dan berkesan buatku adalah rutinitas pagi hari menjelang berangkat sekolah. Pada masa-masa itu entah kenapa rasanya jarum jam bergerak seakan berlari menuju tepat ke angka tujuh tanda masuk sekolah. Di sisi lain hampir setiap pagi aku dan kakak yang sudah duduk rapi di dalam mobil terpaksa harus “bersabar” dan berharap jarum jam bergerak lebih lambat demi menunggu adik kami yang selalu terlihat repot dan belum siap dengan perlengkapan sekolahnya.

Sambil berlari tergopoh-gopoh menuju mobil, tangan kanan adikku memegang piring berisi sarapan paginya yang belum sempat disentuh di rumah untuk dimakan selama di perjalanan menuju ke sekolah. Tak mau kalah, genggaman tangan kirinya pun terlihat penuh dengan ikat pinggang dan kaos kaki yang belum sempat dipakainya. Bahkan tas sekolahnya tak jarang terlihat masih menganga lebar menunggu buku-buku pelajaran lepas dalam dekapannya karena belum sempat dimasukkan ke dalam tas sekolah.

Keadaan seperti ini membuat “seru” suasana pagi mengawali hari-hari kami menimba ilmu di bangku SMA. Namun adikku terlihat nyaman-nyaman saja dengan keadaan seperti ini sehingga rutinitas yang menegangkan urat syaraf kerap dilakukannya berulang kali. Kami kakak-kakaknya yang panik hanya mendapat balasan dengan senyuman lebar yang tersungging di wajahnya. Ya, sekali lagi tetap santai dan tanpa beban.

Menginjak bangku perkuliahan kami mulai jarang bersama lagi. Kami disibukkan dengan urusan kami masing-masing. Aku melanjutkan sekolah di kota hujan sesuai pilihanku sedangkan adikku melanjutkan sekolah di Jakarta sesuai keinginannya. Satu-dua minggu sekali aku pulang ke Jakarta melepas rindu dengan ayah, ibu, kakak, dan adik-adikku tercinta. Sebelum tidur kami sering bercerita berbagi pengalaman selama kami berpisah sehingga jalinan kedekatan dan keeratan hati kami tetap mesra bersemi walau jarak memisahkan kami. Tak terasa, lima tahun berlalu kami berdua diwisuda di tahun yang sama, di tempat yang berbeda.

Sebulan setelah wisuda aku membuka lembaran baru mengarungi bahtera rumah tangga dengan pemuda idamanku. Tak disangka, dua bulan kemudian, adikku menyusul jejakku menerima lamaran kakak kelasnya untuk menyempurnakan setengah diennya. Kami bahagia dengan kehidupan kami masing-masing. Sejak menikah, jarak kami semakin menjauh bahkan kini terpisahkan oleh daratan dan lautan namun hati kami tetap erat bertaut.

Tak terasa detik demi detik berjalan, tahun demi tahun terlewati. Empat belas tahun sudah adikku menjadi seorang istri yang seorang ibu dari dua anak yang sholeh dan sholeha. Adikku yang dulu kini berbeda dengan adikku yang sekarang. Ia telah menjelma menjadi wanita dewasa yang berakhlakul kharimah. Ia telah bermetamorfosa. Ulat kecil yang dulu senang makan dan tidur kini telah berubah menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah menawan hati.

Adikku telah berubah menjadi seorang wanita yang cekatan dan gemar menolong. Segudang aktivitas dilakoninya seperti rajin bersedekah, mengaji, menolong tetangga yang lemah, mengurus apotek, kontrakan, suami, anak-anak, dan lain-lain hal urusan rumah tangga yang tak dapat aku sebutkan satu per satu. Walaupun dalam keadaan lelah senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

Satu hal yang membuatku kagum, di sela-sela kesibukannya yang luar biasa ini, perhatian adikku terhadap keluarga terutama kepada orang tua tetap menjadi nomor satu. Tak ada satu hari pun yang ia lewati tanpa menelepon ayah dan ibu kami untuk menyapa dan menanyakan keadaan mereka. Kunjungan akhir pekan ke rumah orang tua rutin ia jalankan.

Hari ini adalah miladnya yang ke-38 tahun. Selamat ulang tahun adikku sayang, aku do’akan semoga rahmat dan berkah Alloh SWT selalu menyertaimu dan keluargamu. Tiada yang lebih indah dan berharga selain menjadi seorang wanita yang sholeha seperti dirimu. Terima kasih karena telah memberikan banyak teladan kepada kami khususnya kepada aku (kakakmu). Tetaplah bersinar laksana permata yang kilaunya mengagumkan hati setiap manusia.

“Dunia adalah kesenangan sementara, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita (istri) yang sholeha”. (HR Muslim, An-nasa’i).

Wallohua’lam bishshowaab.

(mkd/bkk/31.03.2010)