Selagi Masih Ada Asa

“Semalam aku nangis tersedu-sedu di depan suami, gak tahu deh kenapa. Sudah beberapa hari ini hatiku gak karuan rasanya, apalagi jika mengingat sebentar lagi anak gadisku harus pindah jauh berpisah denganku”. Begitulah kira-kira rangkaian kata-kata yang diutarakan sahabatku sepekan silam.

Setiap ada perjumpaan pasti ada perpisahan. Walaupun perpisahan itu bersifat sementara selalunya ia diikuti dengan kesedihan apalagi perpisahan antara seorang ibu dengan anaknya, buah hatinya, darah dagingnya. Itulah cerita dari sahabatku yang anak gadisnya kini duduk di kelas 3 SMA. Ia mendapat kabar gembira telah diterima di institut terkemuka di kota hujan melalui jalur undangan (tanpa tes).

Rasa gembira meliputi mereka sekeluarga namun tak dapat dipungkiri dalam hati seorang ibu tentu ada sebersit rasa sedih karena harus berpisah dengan buah hatinya yang akan pergi menyeberangi lautan, melampaui berbagai pulau dan melintasi beberapa negara, bukan jarak yang dekat.

Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin kita masih memakai seragam sekolah, kini sudah menjadi orang tua. Rasanya baru kemarin anak-anak kita lahir menyapa dunia, kini mereka sudah dapat melangkah dan berlari meraih cita. Rasanya belum puas hati ini membelai dan mendekap mereka dalam buaian namun ternyata mereka telah beranjak dewasa dan tibalah masanya kita harus siap berpisah dengan mereka.

Indahnya kebersamaan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Cinta yang tulus tak akan lekang oleh waktu. Walaupun jauh di seberang samudra, rasa sayang dan rindu tetap menyala dalam dada. Naluri keibuan yang dicurahkan oleh Sang Pemilik Cinta deras mengalir dalam darah orang tua dan anak. Maha Suci Engkau yang telah memberikan nikmat ini kepada hamba-hamba pilihan-MU.

Kebahagiaan, itulah yang dirasakan anak-anak yang jiwa raganya penuh oleh kasih sayang. Namun sayangnya tidak semua orang tua yang dapat memanfaatkan dengan baik kebersamaan mereka dengan anak-anaknya bahkan tak sedikit yang menyia-nyiakannya. Bukannya kata-kata lembut, dekapan sayang dan belaian penuh cinta yang diberikan namun justru omelan, bentakan, dan pukulan yang kerap diterima anak-anak.

Anak adalah “amanah yang mulia” yang dititipkan kepada kita. Seharusnyalah diisi dengan kelembutan, keikhlasan dan penuh rasa syukur. Ini semua yang akan selalu membawanya untuk kembali pulang, menemui kita saat rindu menerpa. Sebaliknya, orang tua yang menganggap anak adalah beban hidup dan mengisinya dengan kekerasan dan jauh dari keikhlasan, maka perpisahan justru membuat anak merasa bebas dari kita, bagai burung yang lepas dari sangkarnya. Entah kapan akan kembali pulang. Marilah kita berkaca pada diri sendiri, bertahun-tahun telah berlalu, apa sajakah yang telah kita lakukan dan berikan kepada anak-anak kita?

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) ALLOH (QS 33:21)

Ya, Rasulullah telah mencontohkan kepada kita bagaimana harus bersikap kepada anak-anak. Dari Aisyah r.a, ia berkata : “Suatu ketika beberapa anak kecil pernah dibawa ke hadapan Rasulullah, lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera meminta air lalu memercikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR. Al-Bukhari).

Pada saat anak tersebut kencing di pangkuan Rasulullah, beliau tetap dalam keadaan tenang dan membiarkan sampai anak itu menyelesaikan kencingnya, namun sang ibu berteriak kaget seraya ingin mengambil kembali anaknya dari pangkuan Rasulullah. Rasul mencegahnya dan kemudian beliau berkata serta mengingatkan kepada ibu sang anak bahwa air kencing ini bisa dihilangkan, namun luka dalam hati anak akan membekas sampai sekian tahun (menginjak dewasa).

Para orang tua, bagaimana jika hal itu terjadi pada kita. Apakah kita dalam keadaan tenang (seperti yang dicontohkan Rasulullah), berteriak karena kaget, menjauhkan anak itu dari pangkuan kita atau bahkan memarahinya?

Ternyata anak yang sering kita anggap tidak tahu apa-apa, sebetulnya tidaklah demikian. Ia sudah punya hati dan perasaan bahkan sejak bayi dalam kandungan. Rasulullah sangat paham bagaimana harus bersikap kepada anak. Beliau berhati lembut dan penuh kasih sayang, beliau begitu peka dan sangat menghargai perasaan anak-anak. Beliau berakhlak mulia laksana Al-Qur’an yang berjalan. Bagaimanakah dengan kita, sudahkah kita meneladani pemimpin umat sepanjang jaman ini?

Sebelum perpisahan itu datang, sebelum muncul kata penyesalan, marilah kita rubah sikap kita. Selagi hayat masih dikandung badan, selagi jantung masih berdenyut, marilah kita lakukan yang terbaik untuk anak-anak kita calon kholifah di muka bumi, pengganti kita kelak. Selagi masih ada kebersamaan, marilah kita isi kebersamaan ini dengan keindahan dan curahan kasih sayang yang murni serta cinta yang tulus kepada anak-anak kita sesuai dengan tuntunan Rasul kita Muhammad SAW. Selagi masih ada asa.

Wallohu’alam bishshowaab.

(mkd/bkk/21.02.10)