Renungan Bulan Puasa Seorang Non-Muslim

Ramadhan KariemSaya hanya mengcopy paste artikel buatan teman saya yang non-muslim. Setelah membaca tulisannya, saya ingin membaginya kepada saudara2ku seiman. Mudah2an kita semua selalu diberi petunjuk ke jalan yang lurus amin.

***

Pagi-pagi saya sudah dibuat gemas dengan sebuah spanduk yang saya lihat dalam perjalanan ke kantor, di daerah Karet Setiabudi, Jakarta. Spanduk itu kurang lebih berisi tulisan “Dilarang keras makan, minum, dan merokok di tempat umum (selama bulan Ramadhan).” Entah sengaja atau tidak, spanduk itu dipasang di depan sebuah gereja.

Sebagai seorang non-Muslim saya sangat menghargai rekan-rekan Muslim yang berpuasa. Saya kagum pada keteguhan dan kemampuan mereka untuk menahan lapar,dahaga dan amarah sepanjang hari sebagai perwujudan ketaatan mereka pada Allah. Saya sendiri pernah mencoba berpuasa, namun baru tengah hari sudah kelaparan dan akhirnya membatalkan niat tersebut. Oleh karenanya, secara pribadi saya selalu berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang sekiranya dapat mengganggu puasa seseorang.

Namun upaya-upaya tersebut tentu saja tak dapat disamaratakan dalam setiap keadaan, bahkan sangat tergantung konteksnya. Ketika saya masih duduk di bangku SMA (milik Yayasan Katolik), jumlah murid yang berpuasa tidak banyak dan mereka adalah teman-teman baik saya. Seringkali saya dan teman-teman yang tidak puasa justru bercanda dan menggoda mereka yang puasa dengan menawarkan makanan atau minuman gratis. Namun tidak ada satupun dari mereka yang tersinggung. Mereka menanggapinya dengan tertawa dan hanya menggoda kami balik. Satu dua orang yang “lebih bijaksana” menanggapi kami, “Biarin aja, pahala gue jadi lebih banyak karena digodain kalian”. Lalu kami semua pun tertawa. Pada saat Lebaran tiba kami mendatangi rumah kawan-kawan Muslim untuk mengucapkan selamat dan berbagi kebahagiaan (dan tentu saja makan ketupat gratis).

Pada konteks lain, yaitu bulan Ramadhan beberapa tahun lalu, saya bertugas ke suatu desa di Kecamatan Werinama, Seram Bagian Timur; yang (hampir) seluruh penduduknya Islam. Mengingat bahwa pada saat itu adalah bulan puasa dan kawasan itu sempat didera konflik sektarian beberapa tahun sebelumnya, saya memutuskan untuk sangat berhati-hati (bahkan bersembunyi) ketika hendak makan pada siang hari. Jangan sampai ada yang melihat dan tersinggung melihat saya makan. Kami tiba di suatu penginapan dan diterima oleh seorang Pak Haji berjanggut tipis, berkopiah, pemilik penginapan tersebut. Dekorasi penginapan tersebut sangatlah Islami. Dinding-dindingnya dipenuhi kutipan ayat-ayat Al-Quran berbahasa Arab serta lukisan-lukisan bernuansa Islami. Tampaknya Pak Haji adalah seorang tokoh di desa itu yang cukup disegani.

Mengingat kami akan menghabiskan beberapa malam di sana, saya mem-briefing teman-teman saya (salah satunyaorang asing) untuk sangat berhati-hati jika hendak makan, merokok, atau minumpada siang hari. Jangan sampai warga di situ, khususnya tuan rumah kita,tersinggung. Selesai meletakkan barang di kamar saya, Pak Haji menghampiri dan berbisik pelan, “Selain yang orang asing, ada lagikah yang tidak berpuasa?” Saya jawab bahwa kebetulan semuanya tidak puasa. Mendengar jawaban saya, Pak Haji berkata “Oh, baiklah” dan dengan sigap menuju dapur dan meminta istrinya untuk segera menyiapkan teh hangat dan roti bagi kami. Secara refleks, saya langsung bilang bahwa itu tidak perlu karena kami akan segera pamit keluar untuk menjalankan tugas. Namun, ia langsung memotong, “Jangan! Kalian adalah tamu saya dan karenanya saya harus menjamu kalian. Ini ajaran agama, apalagi sekarang adalah bulan suci. Lagipula, makanan itu sudah termasuk dalam paket menginap di sini.” Alhasil, saya sangat terkejut dan tidak berani menolak keramah-tamahan beliau. Pada malam terakhir sebelum kami pulang, kami berbuka puasa bersama. Pak Haji dan istrinya memasakkan kami ikan tongkol dan daging kijang yang sangat lezat. Katanya baru terjerat di hutan tak jauh dari desa dan dipotong secara Islami maka dagingnya lebih empuk. Sambil makan ia menceritakan sejarah Islam dan beberapa tokoh-tokoh besar Islam. Sangat mencerahkan.

Kembali ke masa sekarang. Mungkin pengalaman-pengalaman inilah yang membuat saya merasa sangat gerah dengan spanduk tersebut. Sebagai warga negara Indonesia -yang bukan negara agama-; saya memiliki hak untuk makan, minum, dan merokok di mana pun saya kehendaki selama tidak melanggar peraturan hukum (misalnya: merokok di areal rumah sakit). Namun apabila saya membatasi penggunaan hak tersebut selama bulan Ramadhan, seharusnya itu menjadi keputusan pribadi saya sebagai perwujudan toleransi saya terhadap pihak-pihak yang berpuasa; dan bukan karena larangan atau paksaan dari pihak-pihak tertentu seperti yang dituliskan pada spanduk itu. Apalagi jika larangan itu dibuat oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan hukum untuk membuat larangan publik. Apabila hal ini dibiarkan, saya khawatir makna dari toleransi beragama itu sendiri akan tereduksi menjadi hanya sebuah kewajiban yang dipaksakan.

Pada akhirnya, menurut saya kunci utama dari toleransi yang sesungguhnya adalah kesadaran dan kesediaan satu kelompok untuk merelakan sebagian haknya demi kelompok lainnya. Dengan demikian, dalam konteks bulan puasa, sudah selayaknya orang yang tidak berpuasa menghargai orang yang berpuasa. Namun juga sebaliknya, sudah selayaknya orang yang berpuasa menghargai yang tidak berpuasa; seperti contoh yang diberikan guru saya, Pak Haji pemilik penginapan di Werinama. Saya yakin dunia kita akan sedikit lebih indah dengan hadirnya toleransi yang sejati.