Miyabi dan ”Kekerasan” Akhlaakul Kariimah

Saya ketinggalan berita perihal sosok Maria Ozawa. Ternyata, gadis Jepang yang populer dipanggil Miyabi itu adalah mantan bintang film porno. Beberapa hari terakhir, Miyabi bukan saja dikenal sebagai bintang film, tetapi seru dibicarakan, dinilai, didukung dan ditolak di Indonesia menyusul rencana kedatangannya. Tentu karena lebel ”porno”nya ia ditolak.

Siapapun bisa mengambil jalan seperti yang ditapaki Miyabi. Apalagi kabarnya, menjadi bintang film seperti yang dilakoninya cepat membuat orang jadi kaya, sekaya Miyabi yang sanggup membayar apartemen mewahnya di Tokyo seharga enam belas juta rupiah perbulan, asalkan ia tega membuang iman dan sisi kemanusiaannya yang paling dasar. Biarlah Miyabi dengan jalan hidupnya dan terserahlah siapapun memilih jalan seperti hidupnya. Tetapi bagi seorang muslim, fenomena aktivitas label filmnya itu adalah bagai sebuah ancaman kekerasan atas akhlakul kariimah.

Kekerasan tidaklah sepenuhnya menyangkut fisik yang terwakili oleh luka, darah dan kematian. Tetapi juga dapat menyentuh ranah psikis dan keyakinan. Apapun aktivitas yang dapat merusak sendi-sendi akhlak, iman, muru’ah atau kehormatan serta hilangnya budaya malu harus pula dipahami sebagai tindakan kekerasan. Sebab dampaknya tidak kalah hebat dari sekedar kekerasan secara fisik. Karenanya wajar, apabila orang-orang yang masih punya i’tikad atas keselamatan generasi rabbani menolaknya, tanpa melihat semata-mata sisi bisnis dan keuntungan materi. Sebab rusaknya moral remaja karena budaya pornografi sudah bukan sekedar asumsi, tetapi telah menjadi fakta empiris.

Namun kenyataannya, orang yang berusaha teguh atas keyakinan dan masih menyimpan banyak energi rasa malu terhadap masalah ini, sering dianggap munafik dan sok suci. Dianggap munafik karena mereka dinilai menyalahi kodrat bahwa dirinya juga diam-diam menyukai segala hal yang berbau aktivitas porno dan keindahan tubuh telanjang wanita. Hanya karena dia malu maka ia menolaknya, menjadi alasan mereka dicap munafik. Jadi mereka yang malu menonton film porno atau melihat gambar porno adalah munafik. Begitu kira-kira logika para penuduh.

Padahal siapa sebenarnya yang munafik justru adalah mereka yang setia kepada nafsu dan mengabaikan hati nurani serta rasa malunya. Orang yang setia kepada rasa malu, adalah cermin dari keimanannya. Lalu, apa logis orang yang setia kepada iman dicap sebagai munafik?

Saya pernah membaca sebuah artikel yang menggelitik, saya lupa di mana membacanya, menurut yang saya pahami menggambarkan bahwa setiap wanita pada dasarnya tetap menyimpan rasa malu sebagai kodratnya. Kalaupun suatu waktu ia bertingkah di luar kodratnya, sesungguhnya ia tengah menabrak hati nuraninya sendiri walaupun di belakang hari baru disadarinya.

Dengan bahasa saya, begini lebih kurang cerita tersebut :

Seorang lelaki duduk di ruang tunggu sebuah apotek untuk menebus obat. Beberapa saat kemudian masuk seorang wanita dengan pakaian ketat dan setengah terbuka bagian (maaf) dada dan pahanya. Si lelaki merasa risih bersebelahan duduk di ruang tunggu itu. Namun entah karena apa, laki-laki tersebut berujar:

”Mba, tarifnya berapa?”

Mendengar ucapan laki-laki tersebut, spontan wanita itu menjawab dengan nada tinggi.

”Hei, kalo ngomong yang sopan ya. Jangan asal bicara. Saya bukan pelacur. Saya wanita baik-baik!”. Nampak sekali bahwa ia tersinggung.

”Loh, yang bilang Mba pelacur siapa? Saya juga tidak menuduh Mba wanita tidak baik-baik? Saya hanya bertanya tarifnya berapa. Sebab cara berpakaian dan berdandan Mba ini seperti itu”. Laki-laki ini meladeni dengan logikanya sendiri. Orang di samping kiri kanan mulai memperhatikan mereka.

”Hei, dengar ya!”, kata wanita itu semakin tinggi. ”Tubuh, tubuh saya. Pakaian, pakaian saya. Terserah saya mau memakai pakaian yang bagaimana suka-suka saya. Mau setengah terbuka, mau ketat terserah saya. Dasar mata Anda saja yang jelalatan. Pikiran anda saja yang kotor!”. Wanita itu puas berlogika kata. Nampaknya ia merasa menang dengan argumennya. Dengan wajah ketus Ia terus menatap laki-laki di sebelah yang sudah membuatnya berang.

Rupanya lelaki yang dihadapinya itu bukanlah orang yang bermental kerupuk. Dia tetap santai meladeni mulut wanita itu.

”Mata, mata saya. Pikiran, pikiran saya. Saya bebas mau melihat apa saja. Saya juga bebas memikirkan apa saja. Anda saja yang kegeeran”. Rupanya jawaban laki-laki itu semakin membuatnya marah. Spontan dia berdiri.

”Tidak sopan!. Saya bisa menuntut Anda atas perlakuan tidak menyenangkan. Saya bisa menyeret Anda ke polisi”, katanya dengan nada tegas.

”Silahkan. Saya juga bisa menuntut dan melaporkan Anda ke polisi atas perlakuan tidak menyenangkan. Anda datang ke sini telah mengganggu ketenangan ”adik” saya. Tujuan Anda datang ke sini mau menebus obat atau membangunkan ”adik” saya?”.

Tanpa tengok kiri-kanan wanita tersebut keluar meninggalkan apotek tanpa memperdulikan resepnya. Entah apa yang ada di benaknya. Laki-laki tersebut pun bergegas setelah mendapatkan obatnya. Dan entah apa pula maksud di balik aksinya tadi.

***

Banyak pendapat dari anak bangsa ini gigih membela kebebasan berekspresi. Tapi hampir-hampir dengan logika tanpa hati nurani. Sengaja atau tidak, nilai-nilai rendah seperti pornografi dikemas dengan argumentasi seni. Manusia yang risih dengan keterbukaan aurat dianggap orang yang ”bebal” seni dan tidak paham estetika. Dituduh berotak ngeres dan tidak pernah jauh dari berfikir tentang seks. Sementara wanita-wanita berjilbab dianggap mengancam pluralitas bangsa dan Pancasila. Mereka dicurigai sebagai agen Arabisasi publik dan Talibanisme. Lucunya, diantara pengeritik itu ada yang namanya ”Muhammad” yang merupakan idiom dari bahasa Arab. Lah, piye iki? Sebaiknya sebelum ngomong ganti nama dulu, ”Memet” kek, atau ”Puji” atau apalah yang khas budaya Indonesia. Bagi seorang muslim yang taat, kata Muhammad bukan sekedar nama dan sebutan tapi juga lambang keluhuran budi pekerti dan akhlak mulia. Sampai ada seorang tokoh yang amat berang dan mengatakan :

”Tidak pantas orang itu menyandang nama ”Muhammad”.   

Sebagai sebuah bangsa besar, kita tidak tengah mengalami musibah fisik tetapi juga ruhani kita porak-poranda. Bencana banjir, longsor, gempa dan kekerasan terorisme membuat lelah, mengalirkan air mata, darah dan tebusan nyawa. Namun tidak semua menjadikannya sebagai ibrah dan bahan renungan supaya kita menjadi lebih hati-hati dan santun di hadapan Tuhan. Di antara hal itu adalah sikap naif di tengah air mata duka gempa Padang. Rencana mengundang Miyabi dengan harga miliaran, adalah contoh kecil dari ketidakpekaan pihak tertentu atas duka bangsa kita. Seolah menantang keluhuran akhlakul kariimah dengan mempromosikan mantan bintang porno di tengah himpitan duka yang menjepit.

Namun sekali lagi, orang memang diberi kebebasan untuk memilih jalan sendiri. Tapi juga harus diingat, jalan yang kita pilih juga menyangkut nasib orang lain.

Kita diberi bentuk tubuh yang indah bukan untuk eksploitasi seni atau apapun namanya. Kita tidak bisa seenaknya menyatakan sebagai milik sendiri serta bebas mau diapakan terserah kita. Hanya seonggok daging hilanglah kemuliaannya tanpa hati dan akal budi. Apalagi tangan, kaki, penglihatan dan pendengaran bukan semata-mata instrumen hidup gratis yang diberikan Tuhan. Apakah kita tidak peduli dengan datangnya suatu hari di mana mulut dikunci, tangan berbicara dan kaki memberikan kesaksian? Lalu hati, penglihatan dan pendengaran dimintakan pertanggungjawabannya? Bisakah kita mengelak dari Tuhan?

Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi sampai orang-orang bersetubuh di jalan-jalan seperti layaknya keledai.” Aku (Ibnu ‘Umar) berkata, “Apa betul ini terjadi?”. Beliau lantas menjawab, “Iya, ini sungguh akan terjadi”.

Tegaknya suatu bangsa, karena tegaknya akhlak pemudanya. Hancurnya peradaban suatu bangsa, karena rusaknya akhlak pemudanya.  Allahu a’lam.

 

Respons diam atas status siswa tentang Miyabi.  

Ciputat, Oktober 2009.